Suciwati Soroti Revisi UU TNI, Ini Kata Dia
- Istimewa
VIVA Nasional – Revisi undang-undang Nomor Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) tengah dibahas oleh Mabes TNI. Ada beberapa perubahan yang tertera dalam revisi UU tersebut, salah satunya dwifungsi TNI, di mana prajurit aktif bisa menduduki jabatan di Kementerian/lembaga.
Direktur LBH Pos Malang Daniel Siagian mengkritik revisi ini. Dia menyebut, revisi tersebut sama saja kembali membuka trauma historis Dwifungsi ABRI dulu dijalankan di zaman rezim Orde Baru.
Dari Catatannya, dulu jabatan Rektor, Bupati sampai Gubernur itu diisi oleh kalangan militer aktif. Dwifungsi tersebut kemudian ditolak oleh gelombang gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil melalui Gerakan Reformasi 98 karena pelanggaran HAM terbesar zaman Orde Baru dilakukan oleh kalangan ABRI. Amanat penghapusan Dwifungsi ABRI itu kemudian ada di TAP MPR nomor 6 dan Nomor 7 Tahun 2000.
“Penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil itu sudah terjadi sebelum beredarnya draft revisi undang-undang TNI ini, seperti beberapa Kepala Daerah dijabat oleh anggota TNI aktif. Jadi sebenarnya infiltrasi dari prajurit ataupun aparat militer aktif itu sudah terjadi bahkan sebelum UU TNI ini direvisi. Apa jadinya nanti ketika RUU TNI ini direvisi dengan segala macam penambahan kewenangannya, yang pasti pelanggaran HAM oleh TNI akan semakin meningkat,” ucap Daniel da?am keterangannya, Kamis, 1 Juni 2023.
Dia menambahkan, rencana penguatan atau penambahan kodam-kodam di setiap provinsi di Indonesia yang itu justru berpotensi terjadinya eskalasi pelanggaran hak asasi manusia.
“Secara de facto bisa kita lihat sudah banyak TNI terlibat dalam pengamanan konflik, seperti penggusuran, konflik pengamanan, demonstrasi, menjaga Kawasan Industri, tambang, bisnis agraria dan lain sebagainya. Itu semua illegal, kalau kita merujuk pada pasal 7 ayat 3 UU TNI, dimana pelibatan TNI dalam OMSP atau operasi militer selain perang ini perlu keputusan politik negara,” ucap dia.
Daniel menjelaskan, revisi UU TNI ini menjadi satu yang "tricky” karena ingin melegalkan hal yang sebelumnya illegal.
“Revisi UU TNI ini merupakan infiltrasi masuknya militer ke ranah sipil. Maka setelah direvisi itu peran TNI akan semakin meluas dan kita tidak akan heran nanti ketika ada Kopkamtibmas seperti zaman Orde Baru,” tegas dia.
Pegiat Ham yang juga istri almarhum Munir, Suciwati menambahkan, belakangan ini dia melihat bahwa pemerintah sudah tidak mengindahkan lagi nilai-nilai hak asasi manusia. Kasus-kasus pelanggaran HAM seharusnya mereka selesaikan, dengan sengaja tidak mereka selesaikan.
“Justru Pemerintah memecah-belah korban dengan membentuk proses non-yudisial kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu,” kata dia.
Suciwati juga heran, mengapa Pemerintah cepat membikin revisi undang-undang TNI, sama seperti pelanggaran HAM berat masa lalu yang tiba-tiba pakai mekanisme non-judicial.
“Sepertinya ini ada yang ingin dilindungi dan atau didorong oleh Jokowi. Setelah 25 tahun Dwifungsi ABRI ingin balik lagi melalui revisi UU TNI. Padahal kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu belum selesai. Kasus penculikan sampai sekarang belum selesai. Justru terduga pelakunya malah jadi menteri di era Pemerintahan ini,” kata dia.