Konsisten Tolak Hukuman Mati, Todung Mulya Lubis Ungkap Alasannya
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
VIVA Nasional – Salah satu terobosan yang dibawa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah pengaturan baru mengenai pidana mati.
Terkait hal ini, tokoh senior HAM dan praktisi hukum Todung Mulya Lubis menceritakan awal mula dirinya menolak hukuman mati dengan mendatangi wakil presiden saat itu, Adam Malik bersama para seniornya Yap Thiam Hien dan sejumlah rekan untuk menolak hukuman mati. Gerakan hapus hukuman mati (HATI) yang dipeloporinya menjadi kian vokal.
"Sikap saya terhadap hukuman mati masih sama, sejak awal menjadi penggiat HAM sampai hari ini. Saya menolak hukuman mati. Dalam kasus apa saja, kepada siapa saja," kata dia kepada wartawan, Sabtu 20 Mei 2023.
Perubahan pidana mati dalam UU 1 Tahun 2023, menurutnya merupakan langkah positif dari sejarah panjang Indonesia yang menolak penghapusan pidana mati.
“Pasal 100 KUHP Baru ini wujud nyata dari jalan tengah yang mengompromikan pihak yang setuju dan menentang hukuman mati,” kata dia.
Todung menjelaskan, ide awal dari adanya pidana percobaan selama 10 tahun dicetuskan oleh Mardjono Reksodiputro dalam kapasitasnya sebagai ahli dalam pengujian konstitusionalitas hukuman mati di tahun 2007 silam. Dalam perjalan, dia mengaku tak lepas dari cibiran rekannya yang menilai bahwa hukuman mati pada dasarnya pun diperbolehkan dalam hukum islam. Kini, lanjutnya, narasi tersebut laik dipertanyakan kembali sebab negara tetangga Malaysia dalam konstitusinya mengaku sebagai negara muslim pun kini menghapus hukuman mati yang mandatory.
“Baru-baru ini, Malaysia menghapus hukuman mati yang bersifat mandatory sebagai janji dari Perdana Menteri baru Malaysia, Anwar Ibrahim. Bahkan, mereka telah bergerak lebih jauh dari itu dengan menghapus pidana penjara seumur hidup. Hal ini tentu meruntuhkan dalil pendukung hukuman mati yang menggunakan hukum Islam sebagai justifikasinya. Buktinya, Malaysia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan dalam konstitusinya menyatakan sebagai negara Islam bisa melakukan itu,” katanya Todung.
Senada dengan Todung, Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala pun menilai kalau masa percobaan hukuman mati sebagai langkah positif untuk merehabilitasi terpidana. Apalagi menurutnya ada banyak terpidana yang melakukan perbuatannya dalam kondisi ‘kalap’ (tidak tenang).
“Masa percobaan ini dapat memberikan efek jera dan rehabilitasi kepada pelaku tindak pidana yang tergolong sebagai pelaku tergelincir," kata Adrianus menambahkan.
Pria yang juga guru besar Universitas Indonesia ini melanjutkan bahwa masa percobaan ini juga bisa jadi obat bagi masalah unfair trial dan miscarriage of justice yang selama ini mewarnai dunia hukum Indonesia karena bisa memberikan cukup waktu untuk mengungkap kebenaran.
“Jangan sampai menghukum orang yang tidak pantas dihukum, apalagi sampai menghukum mati,” kata Adrianus lagi.