Amnesty Internasional Puji Pemberian Grasi ke Merry Utama oleh Presiden Jokowi

Pemindahkan terpidana mati kasus narkotika, Merry Utami, ke Lapas Nusakambangan. ANTARA FOTO/Idhad Zakaria.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Idhad Zakaria.

VIVA Nasional – Amnesty Internasional Indonesia menyoroti pemberian grasi oleh Presiden Joko Widodo kepada Merry Utami terpidana mati kasus peredaran narkotika. Pemberian tersebut dinilai sebuah keputusan yang tepat.

Manager Kampanye Amnesty International Indonesia, Nurina Savitri, mengatakan pemberian grasi kepada Merry Utami adalah langkah tepat yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Jokowi. 

"Bagi kami, selain tidak manusiawi, pemberian hukuman mati juga bukan solusi untuk memberikan efek jera dalam kasus narkotika," kata Nurina dalam keterangannya, Jumat 14 April 2023.

Menurutnya, grasi yang diberikan kepada Merry seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengalihkan hukuman bagi semua terpidana mati yang masih menunggu eksekusi, menjadi penjara seumur hidup.  

"Mereka yang berada di deret tunggu eksekusi mengalami penyiksaan ganda. Bahkan mantan Dirjen PAS terdahulu pernah mengatakan ada warga binaan yang melukai diri sendiri karena tekanan psikis dan mental," katanya.

Oleh sebab itu, Nurina mengapresiasi langkah pemberian grasi tersebut. Namun sekaligus mendesak agar segera dibuat peraturan yang mengalihkan hukuman mati untuk mereka yang berada di deret tunggu menjadi hukuman seumur hidup. Amnesty International juga mendesak pemerintah agar segera menghapuskan hukuman mati. 

Sebagai informasi, pengacara Merry Utami, Aisyah Humaida  menyebut bahwa kliennya menerima grasi pada 24 Maret 2023, yang mengubah status hukuman mati menjadi hukuman penjara seumur hidup melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1/G Tahun 2023. 

Merry dijatuhi hukuman mati setelah dinyatakan bersalah atas kasus peredaran narkotika jenis heroin seberat 1,1 kg oleh Pengadilan Tingkat Pertama pada tahun 2002. Dia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan peninjauan kembali (PK) pada 2014, tetapi ditolak. 

Menurut Amnesty International, hal itu adalah kali pertama terpidana mati kasus narkotika mendapatkan grasi dari Presiden.  

Menurut data yang dihimpun oleh Amnesty International Indonesia, ada setidaknya 114 vonis hukuman mati yang dijatuhkan di Indonesia pada tahun 2021, tidak jauh berbeda dengan vonis pada tahun 2020 (117 vonis). Sebanyak 94 atau 82 % vonis mati tersebut dijatuhkan untuk kejahatan narkotika.  

Hingga 31 Desember 2022, data pemantauan Amnesty International menunjukkan setidaknya 452 terpidana mati berada di deret tunggu eksekusi hukuman mati.  

Berdasarkan pernyataan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komjen Polisi Petrus Reinhard Golose pada Februari 2022, prevalensi pengguna narkotika di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 2021 menjadi 3,66 juta. Sedangkan tahun 2019 sebanyak 3,41 juta. Hal ini menunjukkan bahwa asumsi menimbulkan efek jera, setidaknya untuk kasus narkotika, menjadi tidak terbukti. 

Penelitian Amnesty International terhadap kasus hukuman mati di dunia menunjukkan jumlah vonis hukuman mati yang dijatuhkan di Indonesia pada tahun 2021 sebagai salah satu yang terbanyak di kawasan Asia Pasifik. Padahal, di saat yang sama, semakin banyak negara termasuk negara-negara tetangga, telah mengambil langkah-langkah untuk menghapus penggunaan hukuman mati. 

Amnesty International dengan tegas menentang hukuman mati untuk segala kasus tanpa terkecuali  - terlepas dari siapa yang dituduh melakukan kejahatan, sifat kejahatan, bersalah atau tidak bersalah, ataupun metode eksekusi yang digunakan. 

Meski demikian, Amnesty International tidak menolak penghukuman terhadap pelaku tindak kejahatan. Apa pun jenis kejahatannya, apa pun latar belakang identitas pelakunya, bentuk hukuman kepada mereka harus bebas dari segala bentuk penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan derajat dan martabat manusia.