Kisah Mbah Maridjan, Kuncen Gunung Merapi yang Juga Abdi Dalem dengan Gaji Rp5 Ribu
- YouTube Image Bali Vlog
VIVA Trending – Nama Mbah Maridjan memang masih melekat dengan gunung Merapi, meski dirinya sudah lama tiada.
Mbah Maridjan mengaku lahir di tahun 1927 tetapi ia selalu berkata tak tahu persis tanggal dan bulan kelahirannya. Namun, ia dapat memastikan bahwa dirinya lahir di Yogyakarta.
Saking melekatnya namanya dengan gunung yang "rajin" erupsi tersebut, tak banyak yang tahu bahwa Mbah Maridjan sebenarnya termasuk seorang Abdi Dalem di Keraton Yogyakarta.
Ayah Mbah Maridjan bernama Raden Ngabehi Mas Penewu Surakso Hargo adalah seorang Abdi Dalem Keraton Yogyakarta dengan jabatan Juru Kunci Gunung Merapi. Setelah Surakso Hargo wafat pada 1982, Mbah Maridjan tidak hanya mewarisi jabatan ayahnya tersebut, tapi juga memakai nama Surakso Hargo yang artinya yaitu "menjaga gunung".
Ia pun memiliki nama lengkap Maridjan Raden Ngabehi Mas Penewu Surakso Hargo. Namun, nama belakang “Raden Ngabehi Mas Penewu Surakso Hargo” adalah pemberian dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada 1982.
Dalam buku “Negeri Para Pemberani: Mbah Maridjan Gareng dari Gunung Merapi” karya Aguk Irawan MN yang terbit pada 2008, Mbah Maridjan pada 1970 diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Mas Penewu Surakso Hargo.
Namun, ia jarang berada di keraton. Ia lebih sering mewakili ayahnya untuk memimpin upacara ritual di Puncak Merapi. Ia pun diberi jabatan sebagai wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci, mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai Juru Kunci Gunung Merapi.
Setelah 13 tahun pangkat Mbah Maridjan dinaikkan menjadi Mas Penewu Juru Kunci. Pengangkatan tersebut tertulis dalam Serat Kekancingan Keraton Yogyakarta yang ditandatangani langsung oleh Sultan Hamengkubuwono X pada 3 Maret 1995.
Ia bercerita bahwa di awal menjadi abdi dalem Juru Kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan "hanya" diberi gaji sebesar Rp3.700 perak per bulan. Ketika jabatannya naik menjadi panewu, gajinya juga ikut bertambah menjadi Rp5.600 per bulan.
Cinta dan pengabdian Mbah Maridjan kepada Gunung Merapi memang tak pernah tergoyahkan. Bahkan ketika Gunung Merapi meletus pada 2010 silam, dirinya tak mau meninggalkan gunung dan memilih menghabiskan sisa hidupnya di sana.
Ia ditemukan meninggal tiga hari pasca erupsi, bersama dengan 16 orang lainnya. Keadaan korban yang ditemukan rata-rata mengalami luka bakar serius.
Pada 28 November 2010, Mbah Maridjan dimakamkan di Pemakaman Umum Dukuh Srunen, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Yogyakarta.
Karena jasa-jasanya yang tak kenal pamrih, pada 29 November 2011, Mbah Maridjan mendapat Penghargaan Anugerah Budaya dari Pemerintahan Provinsi DIY dalam kategori pelestari adat dan tradisi, yang diberikan oleh Sekretaris Daerah Provinsi DIY kepada ahli warisnya di Bangsal Kepatihan Kota Yogyakarta.