Kisah Mbah Maridjan, Sang Juru Kunci yang Cari Nafkah Sebagai Pengolah Ladang di Lereng Merapi

Mbah Maridjan sehari sebelum wafat, 25 Oktober 2010
Sumber :
  • Antara/ Regina Safri

VIVA Nasional – Baru-baru ini Gunung Merapi kembali bererupsi di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta, tepatnya pada Sabtu 11 Maret 2023. Hingga saat ini awan panas masih bercucuran di sekitar lokasi. Namun untuk tingkat aktivitasnya sendiri, masih berada di level siaga alias level III.

Untuk korban jiwa sendiri belum diketahui hingga saat ini. Namun jika mengingat kembali ke belakang, dengan adanya kejadian erupsi Gunung Merapi membuat publik jadi kembali terkenang pada peristiwa besar yang pernah terjadi pada 26 Oktober 2010 yang lalu. 

Mbah Maridjan.

Photo :
  • YouTube

Di mana, terdapat banyak orang yang menjadi korban jiwa akibat bencana erupsi yang terjadi pada Gunung Merapi pada beberapa tahun silam. Bicara korban jiwa, sang juru kunci Gunung Merapi saat itu yakni Mbah Maridjan juga masuk ke deretan salah satu korban yang meninggal dunia imbas dari peristiwa tersebut.

Tidak heran, jika sejumlah publik dibuat teringat kembali dengan kisah sang legenda juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan sebelum kepergiannya. Penasaran dengan kisah hidup Mbah Maridjan? Yuk scroll artikel selengkapnya berikut ini.

Kisah Mbah Maridjan, Sang Juru Kunci Gunung Merapi

Gunung Merapi kembali meletus.

Photo :
  • Twitter @bpptkg

Jika mengingat erupsi Gunung Merapi tentu nama Mbah Maridjan tak boleh dilupakan begitu saja. Keberadaan gunung tersebut yang lokasinya berada di perbatasan empat kabupaten di Yogyakarta dan Jawa Tengah ini rupanya tak bisa dilepaskan begitu saja dari kisah hidup sang juru kunci.

Mbah Maridjan yang berusia 83 tahun itu masuk ke dalam daftar 32 korban yang meninggal dunia saat erupsi Merapi pada 26 Oktober 2010 yang lalu.

Gantikan Ayah Jadi Juru Kunci Merapi

Mbah Maridjan sehari sebelum wafat, 25 Oktober 2010

Photo :
  • Antara/ Regina Safri

Mbah Maridjan atau Penewu Surakso Hargo lahir di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman pada tahun 1027.  Sosoknya diangkat menjadi sang juru kunci Gunung Merapi pada tahun 1982, untuk menggantikan posisi sang ayah yang telah lebih dulu berpulang ke pangkuan Allah SWT.

Sebelumnya, Mbah Maridjan di usia muda diberi tanggung jawab untuk menjadi wakil juru kunci dengan pangkat mantri juru kunci. Di mana, mendiang Mbah Maridjan pada saat itu pernah mendampingi sang ayah untuk menjabat sebagai juru kunci Merapi.

Lebih lanjut, Mbah Maridjan pernah diangkat menjadi Abdi Dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta oleh Sultan Hamengku Buwono XI dengan nama baru Mas Penewu Suraksohargo. Dalam tulisannya yang berjudul Manusia Sejati dalam Falsafah Mbah Maridjan dan Abdul Karim Al Jill, M Baharudin dari Fakultas Islahudin IAIN Raden Intan menjelaskan jika sejak lahir hingga wafat, Mbah Maridjan hanya bermukim di satu tempat yakni Gunung Merapi.

Tak heran, jika secara emosional dirinya begitu memiliki kedekatan yang berlebih dengan Gunung Merapi dan secara kultural, Mbah Maridjan kerap menjalani tirakat dan meyakini bahwa Gunung Merapi dikuasai yang disebut Bahureksa.

Diangkat sebagai juru kunci Gunung Merapi, mendiang Mbah Maridjan melihat adanya fenomena alam melalui kacamata naluriah yang merujuk pada kebiasaan niteni (mengamati).

Hanya Pengolah Ladang di Lereng Merapi

Mungkin tak banyak yang tahu, jika dalam kesehariannya Mbah Maridjan ini merupakan sosok pria yang mencari nafkah hidup dengan mengolah ladang di lereng Merapi.

Selama masa hidupnya, sosoknya sangatlah sederhana, rendah hati, bersahaja dan jauh dari kesan seorang tokoh. Pada saat itu nominal gaji sebagai Abdi Dalem Juru Kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan mendapatkan gaji sebesar Rp 3.710 per bulan. Namun sejak pangkatnya naik menjadi Penewu, gajinya meningkat menjadi Rp 5.600 per bulannya.

Ditemukan Meninggal saat Beristirahat

Kronologi kejadian meninggalnya sang juru kunci, Mbah Maridjan itu berawal saat pukul 17.30 WIM di mana ada tim SAR dan beberapa sekumpulan orang yang menyambangi rumah sang juru kunci. 

Pada saat itu sejumlah orang berusaha untuk membujuknya untuk turun dari kediamannya. Namun sayang, Mbah Maridjan bersikeras untuk tetap tinggal di rumahnya dan enggan untuk pergi.

Upaya bujukan tersebut pun gagal begitu saja usai bunyi sirine tanda gunung meletus pun akhirnya berbunyi. Sedangkan, untuk anak Mbah Maridjan, Mbah Murni dan Asih bersedia untuk turun bersama rombongan tim SAR.

Hingga akhirnya, panasnya api Gunung Merapi merenggut nyawa sang juru kunci. Dirinya tewas dihantam awan panas mencapai 600 derajat celciu. Mengutip laman ANTARA, seorang anggota Taruna Siaga Bencana (Tagana) Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman Slamet mengatakan, saat dilakukan penyisiran pada Rabu 27 Oktober 2010 pagi ditemukan sesosok mayat dalam posisi sujud di dalam kamar mandi rumah Mbah Maridjan. 

Menurutnya, mayat tersebut ditemukan di dalam kamar mandi rumah dengan posisi sujud dan tertimpa reruntuhan tembok dan pohon. Lebih lanjut, kata dia, kondisi di dusun sekitar tempat tinggal Mbah Maridjan mengalami kerusakan yang cukup parah. Bahkan hampir semua rumah dan pepohonan roboh.

Ahli Forensik Buka Suara soal Posisi Tubuh Mbah Maridjan

Berbicara sosok mendiang Mbah Maridjan, dokter ahli forensik, Kombes Pol. Dr.Summy Hastry Purwanti dalam percakapannya dengan Denny Darko pun mengungkpakan fakta baru perihal posisi Mbah Maridjan saat peristiwa besar tersebut merenggut nyawanya.

Alih-alih bersujud seperti yang dikatakan orang banyak, namun pada kenyataannya sang juru kunci Gunung Merapi meninggal dengan posisi sedang beristirahat.

“Mbah Maridjan waktu itu sih posisi memang sedang istirahat. Karena posisi tidur, jadi kesannya seperti bersujud. Tapi sebetulnya dia kayak menahan atau menekuk dengan ketegangan otot tubuhnya. Jadi kesannya kayak sujud. Padahal ya tidak, posisi tidur aja,” kata ahli Forensik, dikutip kanal YouTube Denny Darko, Jumat, 17 Maret 2023.