Rektor Universitas Udayana Bantah Tilep Dana Sumbangan Mahasiswa

Rektor Udayana Prof. I Nyoman Gde Antara usai diperiksa Kejaksaan Tinggi Bali
Sumber :
  • ANTARA/Rolandus Nampu

VIVA Nasional – Rektor Universitas Udayana (Unud) Bali Prof. I Nyoman Gde Antara buka suara terkait statusnya sebagai tersangka kasus korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) bagi mahasiswa baru Universitas Udayana. Ia membantah dana SPI itu mengalir ke rekening milik tiga staf rektorat Unud yang kini statusnya sebagai tersangka oleh Penyidik Kejaksaan Tinggi Bali.

"Sebetulnya SPI dibikinkan sesuai regulasi, yang kedua sistem itu tidak menentukan kelulusan dan yang paling penting adalah tidak ada mengalir ke para pihak atau staf kami. Kami yakin ke staf kami tidak ada. Itu semuanya mengalir ke kas negara," kata Gde Antara menjawab pertanyaan wartawan usai keluar dari ruangan penyidik Pidana Khusus Kejati Bali, di Denpasar, Senin.

Prof Antara mengklaim pungutan sumbangan pengembangan institusi di lingkungan Universitas Udayana berjalan sesuai dengan prosedur hukum yang ada. Dia menyatakan pada prinsipnya penarikan SPI merupakan sesuatu yang sah, juga berlaku di beberapa Universitas Negeri di Indonesia yang telah diatur dalam peraturan menteri.

"Memang ada dan itu dilakukan oleh teman-teman perguruan tinggi negeri di Indonesia. Dan ada regulasi-nya, Permenristekdikti, kemudian PMK sebagai BLU," ujarnya.

Rektor Udayana Prof. I Nyoman Gde Antara

Photo :
  • Unud TV

Gde Antara juga mengatakan pungutan SPI di Universitas Udayana telah memiliki dasar hukum yang telah diatur dalam Surat Keputusan Rektor dan dirinya akan membuktikan dalam tahap selanjutnya, sehingga tidak ada alasan bagi dia untuk menghindari panggilan penyidik.

Dalam kesempatan tersebut, Gde Antara menyatakan dirinya akan tetap menghormati proses hukum yang tengah berjalan, meskipun dirinya kini berstatus sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dana sumbangan pengembangan institusi seleksi penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri.

"Pada prinsipnya, kami Universitas Udayana menghormati proses hukum dan kewenangan penyidik. Saya pelajari dulu status saya," ujar Gde Antara.

Rektor Unud tersebut diperiksa selama sembilan jam oleh penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali terkait dugaan korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) penerimaan mahasiswa baru seleksi jalur mandiri tahun akademik 2018/2019 sampai dengan tahun akademik 2022/2023.

Gde Antara menghadiri panggilan penyidik Kejati Bali, Senin sekitar pukul 09.00 WITA dan keluar dari ruangan penyidik sekitar pukul 16.00 WITA. Rektor Unud yang datang memenuhi panggilan penyidik terlihat ditemani oleh beberapa orang tim kuasa hukum.
 
Meskipun sudah berstatus sebagai tersangka, Rektor Unud tersebut tidak ditahan dan mendatangi Kejati Bali untuk memberikan keterangan sebagai saksi untuk ketiga tersangka lainnya. "Saya diberikan 48 pertanyaan dan sudah saya jawab semua untuk memberikan keterangan sebagai saksi untuk tiga staf kami," kata dia. 

Sebelumnya, Rektor Udayana Prof. I Nyoman Gde Antara (IGNA) ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali dalam kasus dugaan korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI). 

Penetapan Prof Gde Antara sebagai tersangka berdasarkan hasil penyidikan penyidik Pidana Khusus Kejati Bali sejak 24 Oktober 2022. Rektor Udayana ditetapkan sebagai tersangka baru berdasarkan Sprindik tanggal 8 Maret 2023. 

Berdasarkan alat bukti, hasil audit dan pemeriksaan saksi-saksi, penyidik menyimpulkan Rektor Universitas Udayana diduga ikut berperan dalam tindak pidana korupsi dana SPI mahasiswa baru Seleksi Jalur Mandiri Universitas Udayana Tahun Akademik 2018 sampai dengan 2022. 

"IGNA berperan dan menjabat sebagai Ketua Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru Jalur Mandiri Tahun 2018—2022," kata Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Bali Agus Eko Purnomo saat mengadakan konferensi pers di halaman Gedung Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Bali, Denpasar, Senin, 13 Maret 2023. 

Perbuatan Rektor Udayana diduga merugikan negara sebesar Rp105,39 miliar dan Rp3,94 miliar. Selain itu, tersangka juga merugikan perekonomian negara hingga mencapai Rp334,57 miliar. Dengan demikian total kerugian negara mencapai Rp 443 miliar. (Ant)