Hakim Perlu Pertimbangkan UU Cipta Kerja dalam Kasus Duta Palma
- ANTARA
VIVA Nasional – Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda mengatakan pemerintah harus mengingatkan Jaksa Agung RI, ST. Burhanuddin konsisten menjalankan Undang-undang Cipta Kerja dan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Bahkan, kata dia, UU Cipta Kerja bisa diterapkan dalam kasus dugaan korupsi alih fungsi lahan oleh PT. Duta Palma Grup.
“Mestinya jika pemerintah konsisten dengan Perppu Ciptaker, mesti mengingatkan Jaksa Agung bahwa sikap Kejaksaan berlawanan dengan legal policy pemerintah,” kata Huda saat dikonfirmasi wartawan pada Selasa, 21 Februari 2023.
Menurut dia, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi perlu menjadikan pertimbangan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Maka dari itu, biarkan saja jaksa penuntut umum (JPU) berspektif lain.
“Ya harus pakai Perppu Ciptaker. Biar saja (jika JPU berkeras tidak menggunakan UU Ciptaker), itu kan perspektif jaksa,” ujarnya.
Sementara Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan majelis hakim dapat menjadikan pertimbangan pakai Undang-undang Cipta Kerja dalam perkara dugaan korupsi alih fungsi lahan Duta Palma Grup.
“Soal UU Cipta Kerja juka memang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan, bisa dijadikan dasar hukum bagi terdakwa baik untuk pertimbangan meringankan maupun memberatkan. Sepenuhnya menjadi kewenangan hakim,” jelas Fickar.
Adapun, Ahli Manajemen Hutan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Sudarsono Soedomo mengatakan, PT Duta Palma Group milik Surya Darmadi sudah berusaha untuk memenuhi semua ketentuan yang berlaku terkait perizinan perkebunan kelapa wasit di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
“Duta Palma termasuk yang paling segera mengurus penyelesaian arealnya, yang dianggap bermasalah sesuai dengan Pasal 110A UU Cipta Kerja,” kata Sudarsono pada Sabtu, 18 Februari 2023.
Seandainya terjadi pelanggaran, kata Sudarsono, harusnya diselesaikan secara administrasi. Atau paling berat menggunakan Pasal 110A UU Ciptakerja yang telah dikeluarkan Perpunya oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 30 Desember 2022 lalu.
“Kembalilah kepada konstitusi yang mengamanatkan sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagai tujuan penggunaan sumber daya alam. Jangan apa-apa penjara, apa-apa pidana. Nanti dulu lah. Kalau saya, sudah jelas itu tidak perlu ke arah pidana. Cukup Pasal 110 A. Itu pun bagi saya sudah terlalu berat. Karena sebetulnya, tidak ada penanggaran,” ucapnya.
Sementara Bos PT Duta Palma Group, Surya Darmadi mengaku heran dengan tindakan pidana yang ditudingkan kepadanya karena apa yang dituduhkan tidak pernah dilakukannya. Ia merasa diperlakukan tidak adil dan didiskriminasi.
Surya Darmadi mengaku bingung di mana letak kesalahannya sehingga dipermasalahkan oleh Kejagung. Terlebih, perkebunan yang ia kelola sudah berjalan kurang-lebih 26 tahun dan tidak pernah bermasalah. “Pada saat perkara ini terkena pada diri saya, dari awal saya bertanya, di mana salah saya?” katanya.
Padahal, kata dia, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Di mana, UU itu menyatakan bahwa penyelesaian keterlanjuran kegiatan di kawasan hutan telah diatur secara jelas di Pasal 110A dan 110B.
Di mana, Pasal 110A dan 110B menyebutkan, diberikan waktu selama tiga tahun bagi perusahaan untuk menyelesaikan perizinan. Kemudian pelanggaran atas ketentuan tersebut hanya dikenakan sanksi administratif.
“Yang menjadi pertanyaan saya, apakah UU Cipta Kerja yang digagas dibuat dan diundangkan oleh Presiden dan DPR masih berlaku? Ataukah Kejaksaan yang menganggap menyatakan ini tidak mengikat kepada Kejaksaan?” kata Surya Darmadi.
Sementara Penasihat Hukum Surya Darmadi, Juniver Girsang menjelaskan persoalan kawasan hutan itu sudah diatur secara eksplisit di dalam Undang-Undang Ciptaker atau Omnibus Law. Menurut dia, dalam aturan itu disebutkan, apabila ada perusahaan memasuki kawasan hutan dapag mengurus izinnya dengan kepada mereka tidak dikenakan sanksi pidana, hanya administratif dan membayar denda.
“Sebetulnya kalau ini praperadilannya maju, hakim lebih bijak menilai dan menyatakan bahwa perkara ini memang tidak layak untuk diproses secara pidana. Namun sebagaimana SD katakan tadi, bahwa lawyernya dan direkturnya dipaksa untuk mencabut agar proses apa yang mereka maksudkan, praperadilan itu tidak dilanjutkan. Itu yang disampaikan SD dalam pembelaannya,” kata Juniver.