LSF RI Menyensor 36.514 Film di Tahun 2022, 2 di Antaranya Dikembalikan ke Sineas
- Dokumentasi VIVA: Dedi
VIVA Nasional – Sepanjang tahun 2022, Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia sudah berupaya untuk menjalankan fungsinya dalam melaksanakan sensor dan pengawasan untuk materi digital yang berupa film/iklan dalam layanan siaran Tanah Air.
LSF menerima total materi sensor yang didaftarkan sebanyak 36.514 atau sekitar 90,16 persen dari target sebesar 40.500 judul film. Hal ini disampaikan saat konferensi pers laporan kinerja LSF 2022 di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, pada Selasa, 14 Februari 2023.
Dari jumlah 36.514 materi sensor, yang dinyatakan lulus sebanyak 36.512 judul. Dengan kata lain, ada dua film yang dikembalikan ke pemilik film. Data tersebut disampaikan langsung oleh Nasrullah selaku Ketua Komisi 1 Lembaga Sensor Film RI.
“Gak ada film yang tidak lulus, ada dua yang dikembalikan. Satu film bioskop satu film festival dan keduanya film impor (luar negeri),” kata Ketua Komisi I LSF RI, Nasrullah saat konferensi pers di Jakarta pada Selasa, 14 Februari 2023.
Lebih lanjut, Rasulullah mengatakan bahwa film pertama menceritakan kisah pasangan anak muda yang mengalami broken home atau keluarga yang tidak menggambarkan harmonis. Keduanya saling jatuh cinta, tapi ada kelainan seksual yang cukup ekstrem.
Sementara itu, film kedua ini adalah film festival dan menceritakan kisah seorang laki-laki yang memiliki banyak anak. Namun, anak-anak tersebut malah dimanfaatkan untuk hal-hal tidak baik yaitu diperdagangkan dan laki-laki itu menjadi gigolo. Karena adegan ekstrem, kedua film itu dikembalikan oleh LSF.
Kemudian, dari jumlah film/iklan yang mengajukan sensor ke Lembaga Sensor Film (LSF) RI sepanjang tahun 2022, 278 di antaranya adalah film bioskop. Film itu terbagi atas 179 judul adalah film impor dan 99 judul lainnya adalah film nasional.
"Film impor paling banyak dari Amerika Serikat, India, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Inggris, dan Finlandia. Adapun klasifikasi usianya, yang paling banyak beredar golongan 13 tahun ke atas," ungkap Rommy.
Rommy mengaku, selama proses penyensoran, banyak pemilik film maupun iklan yang merasa keberatan. Hal ini karena adanya perubahan penggolongan usia maupun konten film. Misalnya, pemilik film mempertanyakan alasan filmnya diklasifikan untuk usia tertentu. Meski begitu, LSF menegaskan bahwa pihaknya berpedoman dengan aturan yang berlaku.
"Pemilik film atau iklan film juga keberatan atas rekomendasi LSF yang menyarankan agar filmnya direvisi, karena LSF menilai ada unsur-unsur atau salah satu unsur menyangkut tema, gambar, adegan, dialog/monolog, suara, teks terjemahan dalam film atau iklan film tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Permendikbud 14/2019," jelasnya.