Jaksa Sebut Pledoi Hendra Kurniawan Hanya Pamer Karir saat Jadi Polisi
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA Nasional – Jaksa Penuntut Umum (JPU) ogah menanggapi nota pembelaan atau pleidoi pribadi Hendra Kurniawan dalam kasus obstruction of justice atau perintangan penyidikan kasus tewasnya Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Hal itu karena pleidoi Hendra hanya berisi pamer perjalanan karirnya selama menjadi anggota Polri, tidak terkait dengan perkara yang didakwakan.
"Setelah penuntut umum menerima, membaca, dan memahami apa yang disampaikan terdakwa dalam pembelaan pribadinya, pada pokoknya terdakwa dalam pembelaannya sebanyak empat lembar tersebut hanya memuat kisah perjalanan hidup dan karier terdakwa di kepolisian yang hampir selama lebih kurang 27 tahun mulai dari Akpol 1995 hingga menjadi Karopaminal," ujar jaksa di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin 6 Februari 2023.
Selain itu, jaksa juga menerangkan soal pengakuan Hendra dalam pleidoi pribadinya bahwa perbuatannya dalam kasus perintangan penyidikan tewasnya Brigadir J hanya menjalankan kewenangan sesuai prosedur. Selebihnya, jaksa tidak mau menanggapi pleidoi pribadi Hendra tersebut.
"Atas pembelaan pribadi terdakwa terkait kisah hidup dan kariernya tersebut, kami penuntut umum tidak akan menanggapinya karena apa yang disampaikan oleh terdakwa bukan terkait alat bukti maupun elemen unsur pasal yang kami dakwakan dan telah kami tuntut pada persidangan sebelumnya," kata jaksa.
Jaksa menuntut agar majelis hakim tetap menjatuhkan hukuman 3 tahun pidana penjara terhadap Hendra Kurniawan. Jaksa meyakini, terdakwa terbukti terlibat dalam perintangan penyidikan tewasnya Brigadir J.
Tak hanya itu, JPU juga menjatuhkan pidana denda terhadap terdakwa Hendra Kurniawan sebesar Rp 20 juta subsider 3 bulan kurungan.
Dalam perkara ini, Hendra Kurniawan diyakini melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang No.19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Hendra Kurniawan adalah orang pertama yang termakan skenario Sambo. Dia memerintahkan Agus Nur Patria dan Ari Cahya alias Acay yang merupakan tim CCTV pada kasus KM 50 untuk mengecek serta mengganti rekaman CCTV asli yang berada di rumah dinas Sambo di Duren Tiga.
Hendra juga menerima perintah dari Sambo perihal pemeriksaan saksi-saksi agar dilakukan di tempatnya. "Bro.. untuk pemeriksaan saksi - saksi oleh Penyidik Selatan di tempat bro aja ya..! Biar tidak gaduh karena ini menyangkut Mbakmu masalah pelecehan dan tolong cek CCTV komplek," kata Jaksa.
Kemudian, Hendra juga menunjuk Agus Nur Patria jadi koordinator pengamanan CCTV bersama dengan anak buah dari Ari Cahya, yaitu Irfan Widyanto. Pada momen itu, Ari Cahya tak bisa mengikuti perintah Hendra lantaran sedang berada di luar kota.
Hendra memerintahkan Arif Rachman untuk menemui penyidik Polres Jakarta Selatan. Tujuannya untuk membuat satu folder khusus yang berisi file-file dugaan pelecehan Putri Candrawathi, yang mana itu cerita Sambo kepada Hendra Kurniawan.
Hendra juga menuruti perintah Ferdy Sambo untuk menghilangkan file CCTV rumah dinas yang asli. Pada saat itu, Hendra menenangkan Arif Rachman untuk tidak banyak bertanya kepada Sambo.
Dia juga meminta kepada Arif agar percaya pada Sambo, meskipun ada kejanggalan yang dirasakannya saat mendapat cerita dari Arif soal rekaman CCTV yang memperlihatkan Brigadir Yosua masih hidup dan tidak ada peristiwa tembak menembak antara Bharada E dengan Brigadir J.