Peneliti BRIN: Food Estate Butuh Waktu, Tidak Semudah Membalik Telapak Tangan
- Dok. Istimewa
VIVA Nasional – Peneliti dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Susilawati, menanggapi adanya kritik yang mengatakan bahwa food estate selama tiga tahun tidak berhasil. Menurutnya, lahan food estate merupakan lahan rawa dan mengolah lahan rawa tidaklah mudah, apalagi perbandingannya ialah lahan rawa di Kalimantan Tengah dikaitkan dengan lahan yang memang sudah bagus atau optimal seperti di Pulau Jawa.
"Kalau di lahan rawa tidak bisa kita samakan, tetapi progressnya tentu ada. Untuk produksi yang optimal di lahan yang baru dibuat tentu butuh waktu yang panjang atau tidak semudah membalik telapak tangan," kata Susilawati, dalam keterangan pers yang diterima, Kamis, 2 Februari 2023.
Namun dia mengajak semua pihak untuk bersyukur dengan adanya program Food Estate. Sebab, ke depan program tersebut dapat bermanfaat untuk menjaga ketahanan pangan baik tingkat regional, nasional hingga internasional.
"Lahan kita itu sangat luas dan potensial, pilihan Kalimantan Tengah sebagai salah satu tempat untuk Food Estate sudah tepat," kata Susilawati.
Selanjutnya, kata Susilawati, untuk memenuhi ketahanan pangan, maka perlu dilakukan berbagai penyesuaian, seperti seberapa besar jumlah kebutuhan pangan yang hendak dipenuhi. Jika berhitung dari betapa besarnya kebutuhan yang mesti terpenuhi maka lahan rawa yang luas di Kalimantan Tengah memang menjadi layak untuk dijadikan tempat lumbung pangan nasional.
Akan tetapi, lanjut, Susilawati, untuk menyiapkan lahan rawa menjadi lahan subur yang produktif bukan merupakan hal yang mudah, perlu adanya persiapan yang baik dan panjang.
"Pertama, lahan rawa mungkin dalam konteks persiapan tidak semudah membalik telapak tangan untuk membuatnya produktif, ada persiapan-persiapan yang kita harus lakukan yang kemudian ini menjadi bagian dari investasi kita," jelasnya.
Lahan Rawa
Susilawati mengutip data indoagropedia.pertanian.go.id yang mengklasifikasikan rawa menjadi tiga dengan dilihat dari penyebab genangannya, yaitu rawa pasang surut, rawa lebak dan rawa lebak peralihan.
"Terdapat beberapa jenis rawa, kebetulan yang kita garap di Food Estate ini didominasi oleh jenis lahan rawa pasang surut," katanya.
Lahan rawa pasang surut itu, lanjut Susilawati, sangat dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut. Ada tipe luapan A, tipe luapan B, tipe luapan C dan tipe luapan D. Menurutnya, untuk menyimpulkan apakah mudah atau tidaknya sebuah lahan rawa itu untuk pertanian, maka harus dilihat terlebih dahulu situasi luapan tadi.
"Petani lokal di kawasan food estate rata-rata sudah terbiasa mengelola lahan tersebut, terutama lahan tipe A dan tipe B yang dipengaruhi pasang surutnya air, terutama tipe B yang paling banyak dimanfaatkan untuk usaha tani padi," katanya.
Di tipe A atau B saat ini, kata Susi, petani sudah mampu untuk mengahasilkan dua kali panen dalam setahun, tentunya dengan dibantu oleh sistem pengelolaan tata air. Manajemen air di dalam pertanian lahan rawa sangat penting, oleh karenanya, petani tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada bantuan dari pemerintah.
"Sedangkan tipe C atau D baru banyak dimanfaatkan petani untuk tegalan, untuk berkebun, jadi di sini banyak kita temukan kebun karet, kebun buah-buahan," jelasnya.
Terkait manajemen air di lahan rawa, lanjut Susi, peran pemerintah sangat penting dalam menyelesaikan persoalan lahan rawa tersebut. "Jadi bantuan manajemen air berhubungan dengan irigasi atau tata air. Tata air makro, tata air mikro itu perlu," ujarnya.
Di level petani, pengelolaan tata air mikro dari kemalir, serta saluran tersier harus terkelola dengan baik, artinya ini soal pengelolaan air masuk dan keluar. Dalam program Food Estate terdapat banyak pintu air yang dibuat dan diperbaiki. Saluran air yang selama ini tidak terpelihara pun saat ini bisa berfungsi kembali.
"Food Estate membantu secara keseluruhan bukan hanya persoalan membuka lahan dan benih tetapi juga sistem tata air mikro dan makronya," tegasnya.