Sepanjang 2022 KPAI Catat Ada 4683 Kasus Pelanggaran Hak Anak, Jawa Barat Tertinggi
- VIVA/Agus Setiawan
VIVA Nasional – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah mengeluarkan catatan tentang situasi dan kondisi perlindungan anak Indonesia tahun 2022.
Dalam catatan tersebut, selama tahun 2022 KPAI telah menerima 4683 aduan dengan rincian kasus pelanggaran Klaster Hak Sipil Kebebasan sebanyak 41 aduan. Klaster Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif sebanyak 1960 aduan, Klaster Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan 120 aduan, Klaster Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, Kegiatan Budaya dan Agama sebanyak 429 aduan, dan Klaster Perlindungan Khusus Anak (PKA) sebanyak 2133 aduan. Data-data aduan tersebut bersumber dari pengaduan langsung, pengaduan tidak langsung (surat dan email), online dan media.
Berdasarkan data pengaduan kasus perlindungan anak yang masuk ke KPAI, pelanggaran perlindungan anak berada dari seluruh Indonesia, tersebar di berbagai Provinsi, kota dan kabupaten se Indonesia.
Dari 10 provinsi dengan pengaduan kasus pelanggaran hak anak tertinggi adalah Jawa Barat sebanyak 929 kasus, Provinsi DKI Jakarta sebanyak 769 kasus, Provinsi Jawa Timur sebanyak 345 kasus, Provinsi Banten sebanyak 312 kasus, Provinsi Jawa Tengah sebanyak 286 kasus, Provinsi Sumatera Utara sebanyak 197 kasus, Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 62 kasus, Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 54 kasus, Provinsi Lampung sebanyak 53 kasus, dan Provinsi Bali sebanyak 49 kasus.
Dari data pengaduan tersebut, pengaduan yang paling tinggi adalah kluster 5 yakni Perlindungan Khusus Anak (PKA) yang menempati angka 2133 dengan jenis kasus tertinggi anak menjadi korban kejahatan seksual dengan jumlah 834 kasus. Data tersebut mengindikasikan bahwa anak Indonesia masih rentan menjadi korban kejahatan seksual, dalam berbagai latar belakang, situasi dan kondisi anak berada.
Kekerasan seksual terjadi di ranah domestik, berbagai Lembaga Pendidikan berbasis keagamaan maupun umum. Selama tahun 2022, Provinsi yang memberikan pengaduan tertinggi pada kasus-kasus anak korban kekerasan seksual adalah sebanyak 108 pengaduan kasus, DKI Jakarta sebanyak 56 kasus dan Provinsi Jawa Timur sebanyak 39 kasus.
Berikutnya data anak korban kekerasan fisik dan/atau fsikis sebanyak 502 kasus. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan fisik dan/atau psikis kepada anak diantaranya adalah adanya pengaruh negatif teknologi dan informasi, permisifitas lingkungan sosial-budaya, lemahnya kualitas pengasuhan, kemiskinan keluarga, tingginya angka pengangguran, hingga kondisi perumahan atau tempat tinggal yang tidak ramah anak.
Hal ini memperlihatkan bahwa posisi anak sangat rentan terhadap berbagai kekerasan karena ada banyak sekali faktor yang dapat menjadikan anak sebagai korban maupun pelaku. Selanjutnya anak berhadapan hukum sebanyak 184 kasus. Anak korban pornografi dan cyber crime sebanyak 87 kasus. Anak dalam situasi darurat sebanyak 85 kasus serta anak dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebanyak 85 kasus. Dan terakhir terdapat kasus-kasus pelanggaran hak anak lainnya, sebanyak 95 kasus.
Berikutnya kluster Pemenuhan Hak Anak (PHA) yakni kluster 2 Keluarga dan Pengasuahan Alternatif yang menempati pengaduan tertinggi kedua sebanyak 1960 pengaduan, angka tertinggi pengaduan kasus pelanggaran hak anak terjadi pada anak korban pengasuhan bermasalah/konflik orang tua/keluarga sebanyak 479 kasus.
Data tersebut menggambarkan bahwa keluarga yang merupakan institusi terkecil di masyarakat yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman dan nyaman bagi anak, namun justru sebaliknya kerap menjadi tempat pelanggaran hak anak, dengan penyebab keluarga tidak mampu menjalankan mandat selaku orang tua yang berkewajiban dalam memberikan pengasuhan, memelihara, mendidik, dan melindungi anak Berikutnya pada pendekatan kluster pelanggaran hak anak dalam kalster 4 yakni pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya, dan agama sebanyak 429 kasus. dan anak korban pemenuhan hak anak dalam klaster 3 yakni kesehatan dan kesejahteraan anak sebanyak 120 kasus.