Pengamat: Terorisme Nyata Bukan Konspirasi Buatan Aparat
- AP Photo/Kholid Parmawinata
VIVA Nasional – Merespons Insiden ledakan Bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar yang dilakukan residivis teroris, pengamat terorisme, Ardi Putra Prasetya mengatakan bahwa kejahatan ini adalah fenomena nyata di Indonesia, bukan sekedar konspirasi.
“Peristiwa bom Astana Anyar menunjukkan bahwa terorisme adalah fenomena nyata di tanah Air. Kejahatan ini bukan sekedar konspirasi dan buatan aparat, melainkan permasalahan sosial yang selalu ada dalam setiap era,” ujar Ardi dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu 6 Desember 2022.
Ardi menyampaikan bahwa polisi merupakan sasaran utama pelaku terorisme, hal ini lantaran polisi dianggap sebagai penghalang bagi para pelaku untuk melancarkan aksinya.
“Semula, teror ditujukan kepada musuh jauh yang diasosiasikan kepada Amerika dan sekutunya. Namun, hal tersebut dirasa susah karena banyak obstacle yang dihadapi pelaku teror,” papar Ardi
Akibatnya, lanjut dia, target berubah menjadi siapa saja yang menghalangi mereka melakukan aksi teror dan polisi adalah target utamanya. Sampai saat ini, sudah tidak terhitung lagi berapa jumlah personil Polri yang gugur menjadi korban dari aksi teror.
Diketahui, Polsek Astana Anyar, Kota Bandung, Jawa Barat baru saja menjadi sasaran kelompok teror. Satu orang Bhayangkara meninggal dunia, sementara empat orang lainnya mengalami luka-luka.
Berdasarkan laporan Kapolrestabes Bandung, Kombes Pol Aswin Sipayung, aksi teror tersebut dilancarkan pada pagi hari ketika anggota sedang melakukan apel pagi sekitar pukul 08.20 WIB.
Sementara di sekitar lokasi kejadian ditemukan sebuah sepeda motor milik pelaku, pada bagian plat motor pelaku terdapat secarik kertas yang berisi seruan perang terhadap hukum setan. Tertulis juga nomor salah satu surat dalam Alquran, Surah At Taubah, dan ayat ke 29.
"KUHP hukum syirik/kafir. perangi para penegak hukum setan. QS 9: 29" demikian tulisan dalam selembar kertas tersebut.
Lebih lanjut, Ardi menyampaikan bahwa terdapat tiga faktor untuk melihat apakah seseorang sudah terbebas dari pengaruh terorisme atau belum.
“Pertama memuat parameter kebutuhan dasar (needs), narasi dan jaringannya (networks). Kedua adalah kanal inti yang terdiri atas keluarga, introspeksi diri, kedewasaan, aktivitas ekonomi dan efek jera. Sementara kanal ketiga terdiri atas Kepercayaan terhadap hukum, integrasi, relasi sosial dan peluang-peluang situasional,” jelasnya
Ketika faktor tersebut belum tersentuh dengan baik, lanjut dia, maka besar kemungkinan pelaku terorisme akan melakukan kembali aksi teror.
“Cepat atau lambat, hanya persoalan waktu dan peristiwa-katalis yang membangkitkan semangat aksi terornya,” imbuhnya
“Sekilas jika kita lihat, pelaku bom Polsek Astana Anyar hari ini, masih belum selesai dengan faktor-faktor tersebut. Secara kasat mata, faktor narasi ideologis masih dimiliki oleh pelaku,” sambungnya
Ardi berharap peristiwa ini menjadi titik balik untuk lebih aware terhadap terorisme. Khususnya kepada aparat penegak hukum, ia berpesan agar lebih memperkuat keamanan wilayah, karena dikhawatirkan peristiwa semacam ini dapat menjadi detonasi terjadinya aksi serupa di wilayah lain.