Sidang Kasus CPO: Kelangkaan Migor Karena Kebijakan HET Tak Disertai Ekosistem Memadai

Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kemayoran, Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

VIVA Nasional – Saksi Ahli Birokrat dan Ekonom Lukita Tuwo mengatakan bahwa kelangkaan minyak goreng disebabkan oleh kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang tak disertai dengan ekosistem memadai.

Hal itu diungkapkan Lukita dalam persidangan lanjutan kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya.

"Kelangkaan tidak disebabkan oleh tindakan produsen kelapa sawit ekspor ini lebih kepada penetapan kebijakan HET yang tidak disertai oleh kelengkapan persyaratan agar kebijakan HET bisa jalan," kata Lukita di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 7 Desember 2022.

Minyak goreng. (ilustrasi)

Photo :
  • VIVA/Yeni Lestari

Lukita menjelaskan kebijakan HET bisa saja berhasil, asalkan pemerintah mempunyai lembaga seperti PT Pertamina (Persero) untuk minyak goreng.

"Itu buat saya bahwa kelangkaan lebih terkait kebijakan HET yang tidak dilengkapi prasyarat lainnya, antara lain keberadaan lembaga seperti Pertamina yang memproduksi dan mengontrol distribusi sampai ke tingkat konsumen," ujarnya.

Senada dikatakan Tim Asistensi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Malarang dalam kesaksiannya

Rizal menuturkan, kebijakan kontrol harga (price control) dapat menyebabkan kelangkaan minyak goreng. Menurutnya minyak goreng tidak bisa disamakan dengan bahan bakar minyak (BBM). Hal ini lantaran distribusi BBM terpusat di PT Pertamina (Persero).

Minyak goreng kemasan diduga tidak memiliki izin edar.

Photo :
  • Teguh Joko Sutrisno/ VIVA.

"Susah apalagi kalau kita melakukan lewat seperti tadi kontrol harga yang tidak tepat, menurunkan harga jauh di bawah harga produksi tanpa penguasaan ekosistem distribusinya kalau itu di negara komunis price control mendatangkan kelangkaan barang," kata Rizal.

Rizal mengatakan kebijakan kontrol harga bisa efektif apabila terdapat ekosistem yang memadai.

Menurut dia, tidak ada ekosistem yang baik dalam penerapan kebijakan kontrol harga minyak goreng di Indonesia.

"Yang saya lihat di migor, tidak ada ekosistem yang dipersiapkan demgan baik, sehingga price control yang ditetapkan yang dibawah harga produksi yang normal, membuat kelangkaan sebagai sebuah theoritical possibility yang nyata," ujarnya.

Menanggapi hal itu, Penasihat Hukum Terdakwa Master Parulian Tumanggor, Patra M Zen mengatakan keterangan Rizal semakin membuat terang perkara minyak goreng bahwa Terdakwa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas terjadinya kelangkaan minyak goreng.

Ketua YLBHI Patra M Zen

Photo :
  • Antara/ Fanny Octavianus

"Salah alamat kalau Penuntut Umum meminta pertanggunjawaban kelangkaan minyak goreng terhadap klien kami," kata Patra.

Adapun, Jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung mendakwa lima terdakwa kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) merugikan negara sejumlah Rp18.359.698.998.925 (Rp18,3 triliun).

Lima terdakwa dimaksud yakni ialah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan RI Indra Sari Wisnu Wardhana dan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor.

Kemudian, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley MA, General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang, Penasihat Kebijakan/Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI), dan Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.

"Yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yaitu merugikan keuangan negara sejumlah Rp6.047.645.700.000 dan merugikan perekonomian negara sejumlah Rp12.312.053.298.925," kata jaksa beberapa waktu lalu.