Mahfud MD: SP3 Kasus Pemerkosaan di Kemenkop UKM Batal, Proses Hukum Berlanjut
- Tangkapan layar Youtube Sekretariat Presiden
VIVA Nasional – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD mengkritisi keputusan dari Polresta Bogor yang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus dugaan kekerasan seksual di lingkungan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenko UKM).
Kasus dugaan kekerasan seksual atau pemerkosaan itu diduga dilakukan 4 pegawai Kemenkop UKM berinisial WH, ZP, MF, dan NN pada akhir tahun 2019. Korbannya ialah pegawai non-PNS Kemenkop UKM berinisial ND. Kasus tersebut sempat diproses di Polresta Bogor, tetapi dihentikan dengan alasan korban sepakat damai. Selain itu, kasus dihentikan setelah korban ZP menikah pada Maret 2020.
Namun, usut punya usut, korban menyebut usulan pernikahan datang dari pihak kepolisian dan tidak tahu kasus dugaan kekerasan ini telah dihentikan.
"Kita koreksi Polresta Bogor, kenapa memperkosa ramai-ramai perkaranya dihentikan dengan SP3? Apalagi hanya dengan nikah pura-pura," ujar Mahfud dikutip dari akun Twitter @mohmahfudmd, Selasa, 22 November 2022.
Mahfud memastikan, SP3 atas kasus dugaan kekerasan seksual tersebut batal. Sehingga keempat pelaku harus menanggung konsekuensi hukum atas perbuatannya.
Keputusan tersebut diambil dari hasil rapat gabungan yang digelar di Kantor Kemenko Polhukam pada Senin, 21 November 2022. Turut hadir, pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kompolnas, Kejaksaan, Kemenkop UKM hingga Kabareskrim Polri.
"Memutuskan bahwa kasus perkosaan terhadap seorang pegawai di kantor Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah yang korbannya bernama NDN dilanjutkan proses hukumnya dan dibatalkan SP3-nya," ujar Mahfud dalam keterangannya.
"Oleh sebab itu, terhadap 4 tersangka dan 3 saksi, yaitu N, kemudian MF, WH, ZPA, kemudian saksinya dianggap terlibat A, T, dan H supaya terus diproses ke pengadilan," sambungnya.
Kata Mahfud, penghentian penyidikan karena SP3 dengan alasan laporan telah dicabut itu tidak benar secara hukum. Sebab, laporan hukum pada dasarnya tidak bisa dicabut.
"Kalau laporan, polisi harus menilai, kalau tidak cukup barang bukti tanpa dicabut akan dihentikan perkaranya. Tapi kalau cukup buktinya, meski yang melapor mencabut, maka perkara harus diteruskan," bebernya.
Tak hanya itu, Mahfud juga menegaskan tidak ada restorative justice (RJ) pada tindak pidana serius seperti kasus dugaan kekerasan seksual ini. Restorative justice menurutnya hanya berlaku untuk tindak pidana yang sifatnya ringan, seperti delik aduan.
"Tidak ada restorative justice dalam kejahatan. Itu pedomannya di Mahkamah Agung, di Kejaksaan Agung, maupun Polri sudah ada pedomannya, restorative justice itu bukan sembarang tindak pidana orang mau berdamai lalu ditutup kasusnya, enggak bisa," tandasnya.