Saksi Ungkap Penetapan HET Diduga Sebabkan Kelangkaan Minyak Goreng

Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kemayoran, Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

VIVA Nasional – Sidang kasus dugaan korupsi pemberian izin ekspor CPO tengah digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis, 20 Oktober 2022. Saksi yang hadir pegawai di Direktorat Statistik Harga BPS, Wiji Tri Wilujeng.

Dalam kesaksiannya, Wiji menyebut harga minyak CPO internasional bisa diakses di world bank namun BPS tidak mengukur harga CPO. 

Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Photo :
  • ANTARA/Livia Kristianti

Wiji mengatakan, harga minyak goreng pada Januari dan Februari itu malah mengalami deflasi atau penurunan harga sebesar 9,17 persen. 

“Februari iya (deflasi), Maret April inflasi, dan Januari inflasi, pada Januari inflasi 0,84 persen,” ujarnya dalam sidang. 

Wiji menuturkan, tidak ada standar untuk mengkategorikan inflasi 0,8 persen itu termasuk tinggi atau rendah.

“Tapi itu kalau dari sisi pengambilan kebijakan itu biasanya pemerintah menetapkan asumsi inflasi tinggi rendah itu sekitar 3 persen pemerintah secara umum tapi ya, yoy (year on year) alias inflasi tahunan, kalau yang saya sampaikan barusan adalah inflasi bulanan,” ujarnya.

Kasus hukum yang disidangkan di pengadilan (foto ilustrasi).

Photo :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Dia menyebut pemerintah tidak pernah memberikan asumsi inflasi month to month tapi Yoy. “Dapat saya sampaikan Yoynya untuk YoY nasional Januari di 33,78 persen, Februari 21,62 persen, Maret 25,83 persen, itu jika dibandingkan 2022 terhadap 2021,” ujarnya.

Wiji juga mengatakan, BPS tidak pernah menetapkan inflasi bulan ini kecil dan tidak pernah mengasumsikan kecil atau besar.

“Tapi ini segini bulan Januari sekian misalnya 0,56 berarti kontribusi migor 0,01 berarti 0,55 dari komoditas lain seperti itu kami tidak pernah judge inflasi kita kecil atau rendah. Kalau ada yang bilang inflasi kecil itu bukan dari kami,” imbuhnya.

Sementara itu, seusai persidangan, Penasehat Hukum Master Parulian Tumanggor, Komisaris Wilmar Nabati, Juniver Girsang mengungkapkan kesaksian pertama dari pasar, menyebutkan bahwa mulai November betul harga minyak goreng sudah mencapai Rp 17.600 dan BPS juga membenarkan.

"Kenyataannya saat itu tidak langka, namun begitu ditetapkan pemerintah dengan Permendag 6/2022 HET, langsung minyak goreng langka. Karena apa? di masyarakat mulai terjadi penimbunan  untuk mencari keuntungan, dan spekulan-spekulan. Kemudian pada Maret, HET dicabut, Permendag nomor 6 dicabut, langsung membanjiri pasar,” ujarnya.

Menurut Juniver, dapat disimpulkan kelangkaan itu adalah karena pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi. 

“Jadi karena kebijakan, bukan karena produsen yang melakukan ekspor berlebihan. Saksi dari PT POS juga tidak menyebut ada kerugian negara, saksi itu bilang BLT itu program pemerintah untuk sembako, termasuk salah satunya migor. Program itu ditetapkan Mensos dalam DIPA sejak 2021,” kata Juniver. 

Juniver menyebut tidak ada kerugian negara yang terjadi, karena kebijakan itu adalah kewajiban pemerintah untuk menanggulangi permasalahan di masyarakat. 

Juniver juga menanggapi kesaksian BPS, bahwa Ketika Jaksa menyebut minyak goreng menyebabkan inflasi.

“Padahal mulai bulan Januari sampai Maret, inflasi itu malah signifikan dan tidak mengganggu perekonomian dan sehat. Jaksa bilang terganggu, ternyata data BPS hanya 0,19 persen, seharusnya 1,29 berarti kan digitnya dibawah. Malah harga komoditas lain yang membuat situasi tidak normal,” ujarnya.

Juniver menyebut devisa dari ekspor minyak goreng itu tinggi, karena di luar negeri harga minyak goreng tinggi.

“Jadi walau jumlahnya sedikit yang diekspor, tapi lebih tinggi nominalnya dari sebelumnya. Kalau data BPS, tidak monoton (inflasi) diambil dari minyak goreng, ada komoditas lain, ada beras, ada ayam, disebut sembako ada 9 bahan pokok, garam, terigu, kebutuhan lain, sayang saja saya tidak lemparin (datanya). Bukan kewenangan saya, BPS yang paparin datanya, diagramnya,” kata dia. 

Seperti diketahui, dalam kasus ini ada lima orang terdakwa. Mereka adalah Indrasari Wisnu Wardhana selaku Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan. Master Parulian Tumanggor selaku Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia. Senior Manager Corporate Affairs PT Pelita Agung Agrindustri/Permata Hijau Group Stanley MA.

Selanjutnya, Picare Tagore Sitanggang selaku General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas dan pendiri dan penasihat kebijakan/analisa PT Independent Research & Advisodry Indonesia, Lin Che Wei.