BNPB: Banjir Jakarta Tak Bisa Lagi Disebut Kiriman

Plt Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari
Sumber :
  • BNPB TV

VIVA Nasional – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut fenomena banjir Jakarta saat ini tidak lagi sifatnya tradisional, seperti istilah banjir kiriman. Catatan BNPB, hujan lokal yang terjadi di DKI Jakarta dapat mempengaruhi terbentuknya genangan yang cukup signifikan.

"Sekarang tidak seperti itu, karena berkaca pada kejadian mulai dari banjir Latuharhary 2013, tanggul jebol. Kemudian yang baru-baru ini tahun 2020, Halim terendam, yang tidak ada hubungannya dengan kondisi hulu," kata Pelaksana tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari dalam Disaster Briefing diikuti di Jakarta, dikutip Selasa, 11 Oktober 2022.

Menurut Muhari, kondisi-kondisi hujan lokal di Jakarta saat ini bisa berpengaruh pada banjir, dengan intensitas hujan tinggi, yang menciptakan genangan-genangan yang cukup signifikan secara lokal.

"Jadi tanpa ada peningkatan debit air dari hulu pun, meskipun saat ini yang terjadi di sepanjang Ciliwung hari ini adalah banjir kiriman, tetapi yang sebelumnya itu lebih banyak disebabkan oleh hujan lokal," ujar dia.

Abdul mengatakan perlunya melakukan revolusi drainase atau infrastruktur keairan di saat ini yang mana Jakarta merupakan megapolitan dengan urbanisasi, kepadatan penduduk dan dinamika yang cepat.

"Kita memang harus membuat revolusi, atau perubahan yang sangat signifikan, dalam konteks drainase keairan dan infrastruktur keairan kita," ujar Abdul.

Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengklaim penanganan banjir Jakarta selama lima tahun terakhir di bawah kepemimpinannya menjadi lebih baik. Meskipun persoalan banjir, air, dan polusi udara menjadi tantangan Jakarta dari masa ke masa. 

Cepat Surut

Anies menyampaikan terlihat hasil nyata atas upaya penyelesaian masalah banjir yang akan terus dilakukan secara berkelanjutan. Menurutnya, secara geografis, wilayah Jakarta dikelilingi 13 sungai, sehingga potensi banjir akan selalu ada. Namun, selama lima tahun terakhir, Pemprov DKI Jakarta berupaya meningkatkan penanganan banjir secara signifikan.

BNPB menyampaikan disaster briefing cuaca ekstrem Jabodetabek di awal Oktober

Photo :
  • BNPB TV
 

Anies mengungkapkan, ‘Siaga, Tanggap, Galang’ menjadi pegangan teguh para jajaran Pemprov DKI Jakarta dalam mengantisipasi banjir di Jakarta. Hasilnya, genangan surut lebih cepat dan jumlah titik banjir berkurang walau terjadi curah hujan ekstrem. 

"Sistem drainase kota Jakarta memiliki ambang batas. Kapasitas tampungan drainase DKI Jakarta berkisar 100-150 mm/hari. Karena itu, apabila turun hujan dengan curah di bawah 100 mm/hari, maka kita harus memastikan Jakarta aman dan curahan hujan dapat tertangani dengan baik. Di sisi lain, apabila curah hujan ekstrem berada di atas angka 100 mm/hari, mau-tidak mau air akan tergenang, terjadilah banjir," kata Anies dalam keterangan persnya dikutip Senin, 10 Oktober 2022. 

Pada 2020, tercatat curah hujan terekstrem 377 mm/hari. Namun, banjir dapat surut lebih dari 95 persen genangan dalam waktu 96 jam.  

Surutnya banjir ini tercatat lebih cepat dari kejadian banjir di tahun-tahun sebelumnya, seperti yang terjadi di tahun 2015, di mana dengan curah hujan yang lebih rendah yakni 277 mm/hari, 95 persen wilayah tergenang baru dapat surut dalam waktu 168 jam.

Jika ditarik lebih mundur lagi, pada 2007, terjadi hujan ekstrem dengan curah hujan tercatat 340 mm/hari, jumlah RW yang tergenang sebanyak 955 RW dan 270.000 lebih warga mengungsi.  

Sedangkan, pada 2020, dengan curah hujan 377 mm/hari, jumlah RW yang tergenang dan warga yang mengungsi lebih sedikit, yakni 390 RW tergenang dan 36.000 warga mengungsi.   

"Hal ini menandakan dampak banjir di Jakarta dapat semakin terkendali," ungkapnya (Ant)