Curi Sawit untuk Modal Lamar Pekerjaan, Kasus Hukum Fadely Disetop

Gelar perkara penghentian penuntutan kasus curi sawit di Kantor Kejati Sumut.
Sumber :
  • Dok. Kejati Sumut

VIVA Nasional - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara menghentikan kasus pencurian sawit yang dilakukan oleh Fadely Arbi melalui restorative justice. Fadely melalukan demikian karena terdesak mencuri untuk modal membuat surat melamar pekerjaan. 

Kajati Sumut Idianto dan Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumut, Yos A Tarigan langsung memimpin gelar perkara secara online dengan menerapkan pendekatan restorative justice. Jajaran Kejati Sumut turut hadir.

Saat gelar perkara secara online yang dipantau langsung Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana. Fadil yang didampingi para direktur langsung setuju menghentikan kasus tersebut.

Ilustrasi/borgol.

Photo :
  • ientrymail.com

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumut, Yos A Tarigan menejelaskan perkara ini dihentikan penuntutannya dari Kejari Simalungun dengan tersangka Fadely Arbi. Fadely disangka melanggar Pasal 111 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan atau Pasal 107 huruf d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

"Adapun tujuan tersangka memanen buah kelapa sawit milik PTPN IV kebun Tinjowan tanpa seizin pihak PTPN IV Kebun Tinjowan adalah untuk dijual oleh tersangka dimana uang hasil penjualan nantinya akan dipergunakan untuk melengkapi administrasi tersangka melamar pekerjaan," kata Yos, dikutip pada Sabtu, 8 Oktober 2022.

Yos menyampaikan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan kepada tersangka. Sebab, telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf. Pun, korban sudah memberikan permohonan maaf.

"Kemudian, tersangka belum pernah dihukum. Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun," jelas Yos.

Selanjutnya, tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya. Selain itu, proses perdamaian antara tersangka dan korban dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.

"Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan. Karena, tidak akan membawa manfaat yang lebih besar, pertimbangan sosiologis dan masyarakat merespon positif pemulihan keadaan seperti keadaan semula," ujar Yos.

Lebih lanjut, Yos menyampaikan penghentian penuntutan berdasarkan restorative justice sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratve sebagai perwujudan kepastian hukum.