Imparsial: Kasus Brigadir J Jadi Momen Reformasi Polri
- Istimewa
VIVA Nasional – Direktur Imparsial, Gufron Mabruri mengatakan penyelesaian kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J di rumah dinas Kadiv Propam nonaktif Irjen Ferdy Sambo menjadi penting bukan hanya untuk keadilan bagi korban dam keluarga korban tetapi juga menjadi pertaruhan bagi institusi Polri di mata publik.
“Kami memandang bahwa kasus kematian Brigadir Joshua yang menjadi sorotan publik perlu menjadi perhatian serius pemerintah dan organisasi Polri untuk menyelesaikannya. Sangat penting proses hukum terhadap kasus ini perlu dilakukan dengan segera, dijalankan secara transparan dan akuntabel,” ujar Gufron dalam keterangan tertulisnya, Senin 1 Agustus 2022.
Dia menambahkan, fakta-fakta hukum yang terjadi perlu dibuka secara terang benderang kepada masyarakat dan tentu tidak boleh ada yang ditutup-tutupi. Tim khusus yang dibentuk oleh Mabes Polri diminta juga harus menjawab secara transparan dan akuntabel beragam keganjilan di publik dan yang paling penting lagi adalah pemenuhan keadilan bagi korban dan keluarga korban.
Kerja tim Mabes Polri dalam menyelesaikan kasus ini menjadi perhatian serius oleh masyarakat sehingga pengawasan oleh masyarakat menjadi bagian elemen penting dalam menuntaskan kasus ini.
Pada konteks ini, kehadiran lembaga pengawas eksternal seperti Kompolnas dan Komnas HAM menjadi penting untuk melakukan pengawasan yang efektif dan independen terhadap kasus ini. Hal ini untuk memastikan upaya pengungkapan kasus ini berlangsung secara transparan dan akuntabel.
“Kami menilai, kasus kematian Brigadir Joshua semestinya juga digunakan sebagai momentum oleh Mabes Polri untuk mendorong kembali agenda reformasi kepolisian. Secara historis, proses perubahan politik 1998 memang telah mendorong dijalankannya reformasi kepolisian sebagai bagian dari agenda reformasi sektor keamanan. Agenda ini salah satunya bertujuan mendorong adanya penghormatan pada prinsip-prinsip negara hukum dan hak asasi manusia di dalam institusi-institusi keamanan yang ada, termasuk kepolisian,” kata dia.
Gufron menjelaskan, institusi kepolisian sebagai bagian dari institusi penegakan hukum perlu menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional, akuntabel dan transparan. Dalam perjalanannya, proses reformasi kepolisian masih menyisakan pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan.
“Salah satu persoalan yang perlu dibenahi adalah terkait dengan masih terjadinya penggunaan kekuatan senjata api yang tidak proporsional dan berlebihan yang berdampak pada terjadinya aksi-aksi kekerasan yang berlebihan. Dalam beberapa kasus, beberapa praktik penyiksaan dan pelanggaran HAM lainnya masih terjadi,” kata dia lagi.
Sementara itu, penggunaan kekuatan senjata api oleh kepolisian memang menjadi masalah serius yang perlu di benahi dalam institusi kepolisian. Aparat kepolisian perlu memperhatikan Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 mengenai prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum yang dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement dan UN Basic Principle on the Use of Force and Fireams by Law Enforcement Officials mengenai penggunaan kekerasan dan penggunaan senjata api.
Dia menambahkan, ada tiga asas esensial dalam penggunaan senjata kekerasan dan senjata api yang penting untuk diperhatikan polisi yaitu asas legalitas (legality), kepentingan (necessity) dan proporsional (proportionality). Sungguh pun penggunaan kekerasan dan senjata api tidak dapat dihindarkan, aparat penegak hukum harus mengendalikan sekaligus mencegah dengan bertindak secara proporsional berdasarkan situasi dan kondisi lapangan.
“Penyalahgunaan kekerasan dan senjata api dapat mengakibatkan petugas mendapatkan masalah, apalagi yang mengakibatkan kematian. Penyalahgunaan kewenangan ini mengakibatkan pelanggaran pidana sekaligus pelanggaran atas harkat dan martabat manusia. Reformasi kepolisian juga harus meliputi reformasi di level instrument,” ucap dia.