Pakar: Pelabelan BPA Buat Air Minum dalam Kemasan Lebih Sehat

Ilustrasi galon.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Rencana aturan pelabelan bahan kimia Bisfenol A (BPA) untuk air minum dalam kemasan (AMDK) dinilai akan membuat masyarakat selaku konsumen lebih peduli terhadap kesehatan. Rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ini harus didukung.

Demikian disampaikan pengamat kebijakan sekaligus pengajar Universitas Indonesia (UI), Tjahjanto Budisatrio. Dia menepis jika aturan pelabelan PBA yang diduga terdapat pada galon berbahan polikarbonat (plastik keras) akan memicu persaingan tidak sehat.

“Persaingan yang sehat akan terjadi jika konsumen makin sadar akan kesehatannya,” kata Tjahjanto dalam webinar dengan tema 'Pelabelan BPA: Menuju Masyarakat Sehat dengan Pasar Sehat' yang dikutip pada Jumat, 22 April 2022.

Tjahjanto menyampaikan dengan pelabelan BPA akan membuat masyarakat nanti sadar memilih. Sebab, nanti ada opsi apakah dia ingin produk yang sudah dikasih label atau tidak.

Menurutnya, masyarakat juga bisa paham implikasi kesehatannya atas produk yang mengandung BPA. Sementara, produsen produk yang mengandung BPA bisa terdorong untuk memperbaiki produknya dan berinovasi untuk bisa bersaing.

“Inilah kondisi yang kita harapkan, bahwa pasar mengarah kepada kondisi yang benar-benar bersaing secara sehat,” jelas Tjahjanto.

Air kemasan galon guna ulang.

Photo :
  • Pixabay

BPA dalam berbagai publikasi ilmiah disebut bisa berpotensi menyebabkan kanker dan gangguan hormonal terkait kesuburan. Dia bilang kondisi itu yang akan memunculkan negative externality atau kondisi munculnya dampak negatif dari aktivitas usaha. 

Maka itu, dia menekankan pentingnya pemerintah ikut masuk untuk memperbaikinya. Dia mencontohkan kebijakan pemerintah dalam pelabelan bahaya merokok pada kemasan rokok dan pelarangan merokok di tempat publik. Tujuannya agar masyarakat sadar akan potensi bahaya.

Sementara, peneliti administrasi hukum dari Fakultas Ilmu Administrasi UI, Ima Mayasari, menilai Rancangan Peraturan BPOM tentang Perubahan Kedua atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 terkait label pangan olahan sudah sesuai. Ia bilang kesuaian itu dengan perkembangan dan ilmu pengetahuan serta teknologi di bidang pangan olahan.

"Benchmark-nya sudah dilakukan di negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Kanada, Prancis, Denmark, Swedia, Austria, dan Belgia," tuturnya.

Dia menyampaikan, dari proses perumusan, penyusunan, hingga harmonisasi, BPOM sudah mempraktikan dengan baik. Ia menyebut mulai kajian ilmiah dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. 

"Saya melihat rancangan peraturan BPOM ini lahir dengan evidence-based policy making dan stakeholders engagement yang sangat kuat," katanya. 

Ima tak sependapat jika rancangan peraturan BPOM itu dianggap 'vonis mati' bagi produk AMDK galon berkemasan plastik keras. 

"Sebuah peraturan pasti ada waktu penyesuaiannya, dan dalam kaitan ini paling lama tiga tahun sejak peraturan badan diundangkan," ujarnya. 

Adapun dalam webinar yang sama, Manager Regional PT. Sariguna Primatirta Tbk selaku produsen AMDK galon 'Cleo', Yohanes Catur Arkiyono, mengatakan pihaknya mendukung penerbitan peraturan BPOM terkait pelabelan BPA pada AMDK.

 “Kami sudah sejak 2003 memproduksi galon non-BPA karena mengantisipasi perkembangan soal BPA ini di dunia internasional,” katanya.

Yohanes menambahkan agar pengusaha AMDK galon tak khawatir dengan rencana regulasi BPOM tersebut. Dia yakin regulasi tersebut demi kesehatan konsumen dan bisa mendorong untuk terus berinovasi. 

“Pelaku usaha yang menggunakan galon polikarbonat tapi paparan BPA-nya masih di bawah batas yang ditetapkan BPOM, kenapa mesti khawatir?” tuturnya.