UU TPSK Akhirnya Disahkan, Pendamping Korban Terus Mengawal
- abc
Setelah melalui proses pembahasan selama enam tahun, Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR kemarin (12/04).
UU tersebut menjadi payung hukum bagi korban pelecehan seksual untuk menuntut keadilan atas pelecehan yang sudah bertahun-tahun lamanya dianggap sebagai masalah pribadi di hadapan hukum Indonesia.
"Kami berharap bahwa implementasi dari UU ini nantinya akan dapat menghadapi dan menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual dan perlindungan perempuan dan anak yang ada di Indonesia," ujar Ketua DPR RI Puan Maharani.
Delapan dari sembilan fraksi di DPR menyatakan dukungannya terhadap UU tersebut, kecuali Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
"Fraksi PKS konsisten untuk memperjuangkan agar dalam RUU TPKS diatur perihal larangan dan pemidanaan terhadap perzinaan dan penyimpangan seksual sebagai salah satu bentuk Tindak Pidana Kesusilaan," kata Anggota Fraksi PKS Almuzzammil Yusuf, Rabu (06/04).
Apa isi UU TPKS?
UU TPKS memuat sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual yaitu:
tindak pidana pelecehan seksual non-fisikpelecehan seksual fisikpemaksaan kontrasepsipemaksaan sterilisasipemaksaan perkawinanpenyiksaan seksualeksploitasi seksualperbudakan seksualkekerasan seksual berbasis elektronik
Menurut peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati, ada dua konsep yang diperkenalkan dalam UU TPKS.
Konsep pertama ialah pengenalan jenis-jenis tindak pidana sebagai delik baru.
Sementara itu, konsep kedua adalah jenis tindak pidana lain dengan dimensi kekerasan seksual yang diatur dalam undang-undang lain, atau "listing."
UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Undang Undang tentang Pornografi adalah contoh undang-undang lain yang memuat perbuatan dengan dimensi kekerasan seksual.
"Jadi kalau pun kasus kekerasan seksual menggunakan undang-undang selain Undang-Undang TPKS, selama dia disebutkan dalam UU TPKS, maka dia akan menjadi subyek dari UU tersebut," kata Maidina.
"Nanti hukum acara dan penguatan hak korbannya itu masuk dengan pengaturan dalam UU TPKS."
UU TPKS juga mengakui bahwa pria dan anak-anak dapat menjadi korban pelecehan seksual.
Sebelumnya, kode kriminal Indonesia yang diturunkan oleh penjajahan Belanda hanya mengenal perkosaan dan percabulan sebagai tindakan kriminal yang dilakukan pria kepada perempuan.
Aturan sebelumnya juga tidak memiliki ketentuan ganti rugi atau sejenisnya bagi korban dan penyintas.
Sebagai tambahan atas hukuman terhadap kekerasan seksual yang dianggap tindakan kriminal, UU ini juga memuat upaya perlindungan dan pemulihan para korban.
"Ini tentunya adalah kemajuan," ujar Asfinawati, pakar hukum dari sekolah tinggi hukum Indonesia Jentera, yang juga mendampingi korban kekerasan seksual.
Seberapa jauh perbedaannya dengan RUU yang diusulkan sebelumnya?
Secara umum, Maidina dari ICJR tidak menemukan banyak perbedaan antara UU TPKS yang sudah disahkan dengan usulan yang diajukan sebelumnya.
"Aspek perbedaannya lebih kepada aspek yang memberikan kemajuan [atau] pengembangan [dari] yang dimasukkan dalam rekomendasi masyarakat sipil," katanya.
"Misalnya aspek penguatan hak korban, kalau sebelumnya teman-teman masyarakat sipil belum memasukkan terkait dana bantuan korban atau victim trust fund, di draft yang disetujui diperkenalkan."
Hal kekerasan berbasis gender online dan hak penghapusan konten kekerasan seksual berbasis elektronik juga menjadi contoh lain.
Namun menurutnya, "perkosaan" tidak dimasukkan sebagai delik baru dalam UU TPKS, walau tetap menjadi subyek dari UU TPKS.
Ini karena menurut Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya, penjelasan perkosaan ada di Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Maidina mengatakan hal ini bisa menimbulkan permasalahan.
"Dalam konteks KUHP, [definisi] 'perkosaan' sendiri masih bermasalah dan masih kurang [jelas]," katanya.
"Misalnya ancaman kekerasannya hanya kekerasan fisik, belum ada bahasan soal relasi kuasa, lalu cuma ada penetrasi penis dan vagina, lalu selain itu disebut sebagai perbuatan cabul."
Perbedaan lain yang ditemukannya adalah tentang pemaksaan aborsi bagi perempuan korban kekerasan seksual yang tidak masuk dalam kedua konsep UU TPKS.
"Pemaksaan aborsi tidak menjadi delik baru dalam UU TPKS, tapi dia juga enggak masuk dalam listing," katanya.
"Itu yang ke depannya menjadi PR di RKUHP ... ke depannya perlu ditegaskan bahwa ini adalah bentuk kekerasan seksual supaya menjadi subyek dari Undang-undang TPKS."
Hal ini juga disuarakan Komnas Perempuan yang merekomendasikan DPR RI dan Pemerintah untuk mengadakan aturan perkosaan dan pemaksaan aborsi yang komprehensif dalam RKUHP beserta pasal jembatan.
Ini diharapkan dapat "memungkinkan korban perkosaan dan pemaksaan aborsi dapat mengakses hak-hak selama penanganan kasus dan pemulihan sebagaimana dimuat dalam UU TPKS".
Aturan 'progresif'
Laporan kekerasan seksual terus bertambah di Indonesia, sementara tuntutannya sulit diajukan karena tidak ada payung hukum yang melindunginya.
Menurut pendamping, korban kekerasan seksual tidak berani melapor karena khawatir akan dipermalukan.
ICJR namun menilai UU TPKS memiliki aturan yang "progresif" yang "berorientasi korban", seperti salah satunya jaminan visum dan layanan kesehatan yang diperlukan korban secara gratis.
Jaminan pendampingan korban, dana bantuan korban, dan kemudahan pelaporan kepada penyidik dan lembaga pelayanan adalah contoh lain.
ICJR juga menambahkan pihaknya akan terus "mengawal implementasi UU ini agar dapat juga bermanfaat bagi korban sebagaimana rumusannya".
Sanksi yang dimuat dalam draf UU TPKS antara lain adalah 12 tahun hukuman penjara bagi pelaku kekerasan seksual fisik dalam dan di luar pernikahan, 15 tahun kurungan untuk perilaku eksploitasi seksual, dan sembilan tahun penjara untuk pernikahan anak.
Pelaku penyebaran konten seksual yang tidak disetujui dapat dikenakan hukuman kurungan empat tahun.
UU TPKS disahkan seminggu setelah Pengadilan Tinggi Bandung menjatuhkan hukuman mati bagi pemerkosa 13 santri yang beberapa di antaranya dihamili.
Beberapa dari santriwati ini berusia 11 dan 14 tahun dan telah diperkosa selama bertahun-tahun.
Bulan Januari lalu, Presiden Joko Widodo meminta agar pengesahan RUU TPKS dipercepat sehingga dapat memudahkan pelaporan dan proses hukum.