Penghapusan Pasal Aborsi di RUU TPKS Berpotensi Kriminalisasi

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Kriminalisasi, tekanan psikologis dan sosial hingga ancaman kesehatan yang berujung pada kematian berpotensi akan terus dialami para korban pemerkosaan, kata aktivis perempuan.Menurut mereka, ancaman itu tetap akan tinggi jika pemerintah dan DPR menghapus pasal pemerkosaan dan aborsi di Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Para pendamping korban kekerasan seksual mengeluhkan bahwa hingga kini tidak ada layanan dan prosedur aborsi aman bagi korban pemerkosaan, walaupun Undang-Undang Kesehatan telah mengatur aborsi.

Dari sekian banyak kasus aborsi yang dilakukan korban perkosaan, termasuk seorang anak perempuan disabilitas berusia 10 tahun yang diperkosa dan terpaksa menjadi ibu di tengah keterbatasan. Seorang anak perempuan yang diperkosa oleh kakak kandungnya di Jambi harus dibui karena mengaborsi kandungannya.

Seorang mahasiswi memutuskan bunuh diri setelah diperkosa dan dipaksa aborsi. Dan, masih ada ratusan kasus pemerkosaan berujung kehamilan lainnya.

Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk menghilangkan pasal pemerkosaan dan aborsi karena berpotensi akan tumpang tindih - pemerkosaan akan dimasukan dalam revisi KUHP dan aborsi telah ada dalam UU Kesehatan.

Sebelumnya awal tahun 2022, Presiden Joko Widodo berharap RUU TPKS bisa segera disahkan sehingga memberikan perlindungan maksimal bagi para korban kekerasan seksual.

RUU yang telah dibentuk sejak 2016 itu ditargetkan akan dibahas pada rapat paripurna sebelum masa persidangan IV berakhir, atau pertengahan April mendatang.

Setelah pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh Panja dalam sepekan terakhir, RUU TPKS akan dibahas kembali oleh Tim Perumus sebelum akhirnya dilakukan pembahasan pada Pembicaraan Tingkat I dan Tingkat II.

Cerita korban, `kriminalisasi, tekanan psikologi hingga ancaman kematian`

Salah satu kasus pemerkosaan yang mengejutkan terjadi pada tahun 2018 ketika seorang anak perempuan divonis enam bulan penjara karena mengaborsi bayi di kandungannya.

Gadis berusia 15 tahun itu diperkosa berulang kali oleh kakak kandungnya. Malang, ia malah dipenjara karena melakukan aborsi, walaupun kemudian di tingkat banding diputus bebas.

Ia divonis bersalah karena melanggar UU Kesehatan yang mengatur bahwa aborsi legal jika usia kandungan kurang dari 40 hari.

"Sudah diperkosa, dipaksa aborsi, lalu dipidana, walaupun akhirnya dibebaskan karena tekanan masyarakat. Korban sangat rentan dikriminalisasi," kata Dian Novita dari LBH Apik Jakarta, Senin (04/04).

Dian menceritakan kasus lain. Seorang anak perempuan berusia 10 tahun dan disabilitas intelektual diperkosa oleh tetangganya.

Anak itu pun terpaksa melahirkan bayinya. Alasannya, karena tidak ada layanan aborsi aman dan tidak ada tenaga kesehatan yang mau menjalankan karena ancaman penjara.

"Bayangkan anak seumur itu melahirkan dan dia disabilitas. Bagaimana kondisi anak itu, bayinya, masa depan mereka?

"Bagaimana mungkin RUU yang bicara tentang kekerasan seksual, tapi tidak berbicara pemerkosaan dan aborsi. Ini rohnya RUU TPKS menjadi hilang," kata Dian.

Kemudian di Jombang, lanjut Dian, seorang gadis berusia 17 tahun (di bawah umur) diperkosa dengan tipu daya dan dipaksa aborsi oleh pacarnya dengan meminum obat-obatan. Akibatnya, gadis itu mengalami pendarahan dan hampir meninggal dunia.

Masih di daerah yang sama, seorang anak perempuan berusia 12 tahun diperkosa hingga hamil. Ketiadaaan prosedur dan layanan aborsi aman menyebabkan anak itu terpaksa melahirkan, padahal korban masih ingin bersekolah dan bermain, kata Novita Sari aktivis dari WCC Jombang - Forum Pengada Layanan.

"Kemenkes belum mengeluarkan petunjuk teknis atas layanan aborsi aman bagi korban pemerkosaan sehingga para korban tidak memiliki pilihan," ujar Novita.

Menurut data Kementerian Sosial hingga 6 Januari 2022, jumlah kasus anak perempuan hamil yang ditangani akibat kekerasan seksual berjumlah 780 orang - 568 melahirkan dan 212 belum melahirkan.

Sementara hingga 31 Januari 2022, data Kemensos, total kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 1.253 kasus, dengan banyak para pelaku berasal dari lingkungan terdekat.

 

Apa dampaknya bagi korban pemerkosaan?

 

Direktur Yayasan Kesehatan Perempuan Nanda Dwinta mengatakan, pemerkosaan akan menghancurkan kesehatan fisik, mental, kehidupan sosial, pendidikan dan masa depan korban.

"Kemudian, perkosaan yang menimbulkan kehamilan tidak diinginkan akan semakin memperparah kondisi korban. Bagaimana korban yang terluka harus mengasuh anak yang dia tidak inginkan," kata Nanda.

Akhirnya, lanjut Nanda, banyak korban mencari jalan sendiri yang berpotensi membahayakan jiwa dengan melakukan aborsi tidak aman, dan terdapat di antara mereka yang kemudian sakit bahkan meninggal dunia.

"Selain berjuang memulihkan dirinya, korban harus merawat anaknya dan melawan stigma masyarakat. Ini situasi tidak adil bagi perempuan. Padahal aborsi adalah bagian dari pemenuhan kesehatan korban," kata Nanda.

 

UU Kesehatan, dan belum adanya layanan aborsi aman

 

Pasal 75 UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menjelaskan, setiap orang dilarang melakukan aborsi. Namun, larangan itu dikecualikan jika ada indikasi kedaruratan medis dalam kehamilan, dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban.

Pasal 76 melanjutkan, aborsi hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur enam minggu, dan oleh tenaga kesehatan yang terampil.

Kemudian aborsi harus mendapat persetujuan dari ibu yang hamil, dengan izin suami (kecuali korban perkosaan) dan penyedia layanan kesehatan.

Tapi fakta di lapangan, kata Novita Sari, layanan yang dibutuhkan korban pemerkosaan untuk mendapatkan aborsi aman, belum ada.

"Makanya kami desak untuk masuk dalam UU TPSK agar ada layanan, sehingga korban tahu proses memilih aborsi aman dan menghindari kriminalisasi. Jadi UU Kesehatan dan UU TPSK saling berintegrasi dalam implementasinya," katanya.

Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto mengatakan, penghapusan itu mengabaikan pengalaman dan realitas para korban dalam kekerasan seksual yaitu perkosaan.

"RUU ini berangkat dari kasus-kasus nyata. Dari 15 jenis kekerasan lalu dipotong sembilan dan katanya menjadi empat, termasuk pemaksaan aborsi dan perkosaan, padahal kasus-kasus itu sungguh-sungguh ada, lalu mengapa dibuang?

"Menurut saya kalau menginginkan perubahan norma yang lebih baik, melindungi korban, jangan alasan itu menjadi kendala. Artinya kalau tidak masuk, UU ini ada ketidaksempurnannya, sangat disayangkan," katanya.

 

Apa alasan pemerintah dan DPR?

 

Pemerintah dan DPR sepakat menghapus pasal yang mengatur tentang pemerkosaan dan aborsi dalam draf RUU TPKS.

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS Willy Aditya mengatakan, keputusan itu diambil karena pidana pemerkosaan akan diatur dalam RKUHP dan aborsi telah ada dalam Undang-Undang Kesehatan.

"Kan tidak boleh dua norma hukum itu bertabrakan, jadi kita menggunakan undang-undang yang sudah existing.

"Kebetulan kita kan yang mewakili pemerintah juga, dalam hal ini Wamenkumham juga yang bertanggung jawab terhadap RKUHP pemerkosaan memang tidak dimasukkan karena penjelasan beliau ada di RKUHP dan yang kedua aborsi itu ada di Undang-Undang Kesehatan," kata Willy.

Anggota Panja RUU TPKS Christina Aryani menjelaskan, ketentuan pasal tentang pemerkosaan dan aborsi tidak ada dalam DIM RUU TPKS yang diajukan DPR.

Wacana dimasukkannya kedua tindak pidana ini muncul dalam DIM Pemerintah yang memberikan jembatan menyangkut tindak-tindak pidana kekerasan seksual lain yang diatur dalam undang-undang lain.

"Kami di Panja kemudian mencoba meng-exercise kemungkinan untuk mengadopsi pemerkosaan dan aborsi dalam RUU TPKS, namun dalam pembahasan akhirnya kami bisa menerima pengaturan keduanya tetap sebagaimana dimuat dalam KUHP.

"Pemerintah juga meyakinkan kami bahwa terkait dua tindak pidana ini, kasus-kasus yang ada selama ini tetap dapat diproses, jadi tidak ada kekosongan hukum atasnya," kata Christina.

Dalam rapat dengan Baleg DPR, Kamis (31/3) Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej mengungkapkan alasan yang sama.

"Saya mampu meyakinkan satu ini, tidak akan pernah tumpang tindih dengan RKUHP, karena kita membuat matriks ketika akan menyusun RUU TPKS. Khusus memang mengenai pemerkosaan itu sudah diatur rinci di dalam RKUHP," kata Edward.

Pasal 245 RKUHP menjelaskan, setiap orang yang melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, perkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis, pidana ditambah dengan 1/3 dari ancaman pidananya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo berharap RUU TPKS bisa segera disahkan untuk memberikan perlindungan secara maksimal bagi korban kekerasan seksual.

"Karena itu saya memerintahkan menteri hukum dan HAM serta menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak untuk segera melakukan koordinasi konsultasi dengan DPR.

"Dalam pembahasan RUU tindak pidana kekerasan seksual ini agar ada langkah-langkah percepatan," ujar Jokowi.

 

 

RUU TPKS ditargetkan dapat dibahas pada Rapat Paripurna sebelum Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022 berakhir.

"Kalau sesuai jadwal, besok (05/04) sudah pleno pengambilan keputusan di tingkat I Baleg, habis itu saya sudah bersurat ke Pimpinan (DPR) untuk dapat ke (Rapat) Paripurna. (Dari) Bamus terus dibawa ke Paripurna.

"Jadi ini kan masa sidang sampai 14 April (2022) ya, kita tentu berharap sudah diparipurnakan sebelum itu. Ya paling telah 14 April. Sesuai dengan jadwal yang sudah kita susun," kata Willy sebelum memimpin Rapat Panja RUU TPKS di Kompleks DPR RI (4/4).

Setelah melakukan lima rapat yang membahas 588 DIM oleh Panja RUU TPKS dalam sepekan terakhir, RUU ini akan dibahas kembali oleh Tim Perumus sebelum akhirnya dilakukan pembahasan pada Pembicaraan Tingkat I dan Tingkat II.

[removed]!function(s,e,n,c,r){if(r=s._ns_bbcws=s._ns_bbcws||r,s[r]||(s[r+"_d"]=s[r+"_d"]||[],s[r]=function(){s[r+"_d"].push(arguments)},s[r].sources=[]),c&&s[r].sources.indexOf(c)<0 t=e.createElement(n);t.async t.src=c;var a=e.getElementsByTagName(n)[0];a[removed].insertBefore(t,a),s[r].sources.push(c)}}(window,document,>