Penembak Mati FPI Bebas, KPAU Tuntut hingga ke Pengadilan Akhirat
- Istimewa
VIVA – Koalisi Persaudaraan dan Advokasi Umat (KPAU), bersama dengan tokoh ulama dan advokat merasa tidak adil pada putusan Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Terkait vonis bebas terdakwa penembak mati 6 Laskar FPI pada kasus KM 50.
Melalui putusan hakim tersebut, KPAU akan terus melakukan protes ulang atas putusan tidak adil tersebut. Bahkan akan melakukan tuntutan hingga di pengadilan akhirat, jika tak mendapat keadilan di dunia.
Adapun pembebasan terdakwa penembak mati, dilakukan dengan pertimbangan alasan pembenaran dan pemaafan karena pembelaan terpaksa (noodweer). Di mana sebelumnya terdakwa pembunuhan 6 laskar Briptu Fikri Ramadhan dan IPDA M Yusmin Ohorella, dituntut 6 tahun penjara oleh jaksa.
Baca juga: Hujan di Sirkuit Mandalika, Pawang: Sesuai Permintaan Pembalap
Dengan hasil keputusan tersebut KPAU tegaskan mosi tidak percaya terhadap keseluruhan proses persidangan KM 50. Termasuk pada putusan yang baru saja dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui majelis hakim yang dipimpin Muhammad Arif Nuryanta.
“Putusan yang melepaskan terdakwa dengan dalih alasan pembenar dan pemaaf karena pembelaan terpaksa, adalah putusan sesat dan menyesatkan, tidak sesuai dengan realitas perkara dan mencederai rasa keadilan masyarakat,” tegas Ketua Umum KPAU, Ahmad Khozinudin di Jakarta, Sabtu 19 Maret 2022.
Kemudian, untuk alasan pembebasan dengan alasan pembelaan terpaksa dan pembelaan darurat (noodweer-exces). Ahmad menjelaskan telah melampaui batas sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 KUHP, di mana harus memenuhi beberapa unsur.
“Pertama pembelaan itu bersifat terpaksa. Kedua yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain, ketiga ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu, dan keempat serangan itu melawan hukum,” jelasnya.
Adapun perbuatan Briptu Fikri Ramadhan dan IPDA M Yusmin Ohorella menurutnya, tidak memenuhi unsur pembelaan yang bersifat terpaksa. Karena berdasarkan fakta hukum dipersidangan yang terangkum dalam tuntutan jaksa IPDA M Yusmin Ohorella terbukti telah melakukan penguntitan (surveilans),
“Sementara Briptu Fikri Ramadhan terbukti tidak memperhatikan asas, nesesitas, dan proporsionalitas dalam menggunakan senjata api saat mengawal korban. Justru 6 laskar FPI yang merasa keamanan dan jiwanya terancam karena telah dikuntit, dipepet hingga terjadi penangkapan yang mustahil diketahui dilakukan oleh aparat berwenang,” tegasnya.
Sebab peristiwa tersebut terjadi di KM 50 dini hari pada 7 Desember 2020, di mana petugas yang melakukan penangkapan tidak menggunakan seragam resmi sehingga dapat dipahami 6 laskar FPI merasa mendapat gangguan yang mengancam jiwa dan keselamatan dari orang atau sekumpulan orang yang hendak melakukan kejahatan.
“Dengan demikian, tidak terpenuhinya unsur pembelaan terpaksa dan pembelaan darurat dalam kasus ini. Berkonsekuensi pada tidak ada alasan yang dapat menghilangkan unsur melawan hukum perbuatan, yang dapat dijadikan dasar untuk memberikan pembenaran atau permaafan kepada,” kata Ahmad.
Selain itu, KPAU merasa bahwa kasus tersebut merupakan pelanggaran HAM berat, yang seharusnya diadili. Di mana hal tersebut merujuk pada UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan bukannya melalui peradilan umum biasa.
“Mengkonfirmasi bahwa sidang KM 50 yang dilakukan di pengadilan negeri Jakarta Selatan hanyalah sidang dagelan yang menghasilkan putusan sesat dan menyesatkan. Putusan lepas terhadap dua terdakwa menunjukkan kepada masyarakat bahwa hukum dan keadilan telah mati,” ungkapnya.
Dengan itu KPAU memohon kepada Allah SWT agar semua yang terlibat dalam pembunuhan 6 laskar FPI dan melegitimasi kejahatan pembunuhan melalui proses hukum dagelan, agar diturunkan azab pedih.
“Pembunuhan melalui proses hukum dagelan, agar diturunkan azab pedih di dunia jika tidak segera bertaubat dan menyampaikan kebenaran yang sesungguhnya. Sementara di akhirat, semoga Allah SWT memberikan azab yang pedih di Neraka,” tandasnya.