Edhy Prabowo Dikurangi Vonisnya oleh MA, Apa Pertimbangannya

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Mahkamah Agung memutuskan mengurangi hukuman pidana penjara mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, menjadi lima tahun penjara dari sebelumnya sembilan tahun penjara.

Putusan kasasi tersebut diputuskan pada 7 Maret 2022 oleh majelis kasasi yang terdiri atas Sofyan Sitompul selaku ketua majelis, Gazalba Saleh, dan Sinintha Yuliansih Sibarani masing-masing selaku anggota.

Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro, mengatakan vonis lima tahun penjara terhadap Edhy Prabowo ditambah pidana denda sebesar Rp400 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama enam bulan.

Hukuman lainnya adalah pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik.

"Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama dua tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok," ungkap Andi di Jakarta, Rabu (09/03), sebagaimana dikutip kantor berita Antara.

`Edhy Prabowo telah memberi harapan besar kepada masyarakat`

 

Terdapat sejumlah hal yang menjadi pertimbangan majelis kasasi sehingga mengurangi vonis Edhy Prabowo tersebut.

Edhy, menurut hakim, telah memberi harapan besar kepada masyarakat.

"Bahwa putusan Pengadilan Tinggi yang mengubah putusan Pengadilan Negeri kurang mempertimbangkan keadaan yang meringankan terdakwa sehingga perlu diperbaiki dengan alasan bahwa pada faktanya terdakwa sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan RI sudah bekerja dengan baik dan telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat khususnya nelayan," demikian disebutkan hakim.

Menurut hakim, Edhy Prabowo mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 dan menggantinya dengan Permen Kelautan dan Perikanan No 12/PERMEN-KP/2020.

"Dengan tujuan adanya semangat untuk memanfaatkan benih lobster guna kesejahteraan masyarakat, yaitu ingin memberdayakan nelayan karena lobster di Indonesia sangat besar," ungkap hakim.

Lebih lanjut dalam pertimbangannya, hakim kasasi menyebut Permen Kelautan dan Perikanan No 12/PERMEN-KP/2020 tersebut mensyaratkan pengekspor untuk mendapat benih bening lobster (BBL) dari nelayan kecil penangkap BBL.

"Sehingga jelas perbuatan terdakwa tersebut untuk menyejahterakan masyarakat khususnya nelayan kecil," kata hakim.

 

Jejak rekam putusan

 

Dalam perkara ini Edhy terbukti menerima suap senilai US$77 ribu dan Rp24.625.587.250 dari pengusaha terkait ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur.

Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut Edhy Prabowo divonis lima tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan, kewajiban untuk membayar uang pengganti sejumlah 9.687.457.219 dan US$77 ribu, serta pencabutan untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun sejak selesai menjalani hukuman.

Kemudian majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 15 Juli 2021 menjatuhkan vonis yang sama dengan tuntutan yaitu lima tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti dan pencabutan hak dipilih selama dua tahun.

Namun pada 21 Oktober 2021, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis Edhy menjadi sembilan tahun penjara ditambah denda sebesar Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan, membayar uang pengganti sejumlah Rp9.687.457.219 dan US$77 ribu, serta pencabutan untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun.

Atas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut maka Edhy Prabowo mengajukan kasasi pada 18 Januari 2022.

 

Pledoi Edhy Prabowo: Saya tulang punggung keluarga

 

Dalam pledoi atau nota pembelaan, Edhy meminta kepada majelis hakim agar membebaskannya dari seluruh tuntutan. Ia mengeklaim tidak melakukan perbuatan seperti dakwaan jaksa. Kata dia, tuntutan lima tahun penjara dan denda Rp400 juta memberatkan.

Ia juga menyebut posisinya sebagai tulang punggung keluarga dan memiliki istri salihah serta tiga orang anak.

"Saya sudah berusia 49 tahun, usia di mana manusia sudah banyak berkurang kekuatannya untuk menanggung beban yang sangat berat. Ditambah lagi saat ini saya masih memiliki seorang istri yang salihah dan tiga orang anak yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Sehingga, tuntutan penuntut umum yang telah menuntut saya adalah sangat berat," ujar Edhy saat membacakan pleidoi, Jumat (9/7).

Adapun lembaga pemantau korupsi, ICW, berharap majelis hakim menjatuhkan vonis lebih berat dari tuntutan jaksa. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, menilai tuntutan jaksa terlampau rendah.

"Praktik kejahatan yang dilakukan oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu melampaui tuntutan dari jaksa," kata Kurnia kepada Kompas.com.

Kurnia mengatakan, majelis hakim harus menjatuhkan vonis lebih tinggi lantaran tindakan korupsi dilakukan di tengah pandemi Covid-19.

Kemudian jumlah uang suang yang diperolah Edhy dalam jabatannya sebagai menteri. Yang mana, ia diduga menerima Rp24,6 miliar dari para pengusaha ekspor benih lobster (benur) dalam pemberikan izin ekspor.

 

Bagaimana awal mula kasus?

 

Kasus ini bermula dari diterbitkannya surat keputusan oleh Menteri Edhy Prabowo tentang Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster. Tim ini bertugas untuk memeriksa kelengkapan dokumen yang diajukan oleh perusahaan calon eksportir benih lobster atau benur.

Edhy menunjuk staf khususnya: APM dan SAF sebagai ketua dan wakil ketua tim uji tuntas tersebut.

"Selanjutnya pada awal bulan Oktober 2020, SJT selaku Direktur PT DPPP datang ke kantor KKP di lantai 16 dan bertemu dengan SAF. Dalam pertemuan tersebut, diketahui bahwa untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800/ekor," jelas Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango.

Atas kegiatan ekspor benih lobster tersebut, PT DPPP diduga melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total sekitar Rp731 juta.

Atas uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut, selanjutnya ditarik dan masuk ke rekening dua orang pemegang PT ACK masing-masing dengan total Rp9,8 miliar.

"Pada tanggal 5 November 2020, diduga terdapat transfer dari rekening pengurus PT ACK ke rekening salah satu bank atas nama AF (staf istri Menteri Edhy) sebesar Rp 3,4 miliar yang diperuntukkan bagi keperluan Menteri Edhy dan istrinya, serta ketua dan wakil ketua tim uji tuntas (SAF dan APM)," kata Wakil Ketua KPK Nawawi.

"Pada sekitar bulan Mei 2020, Menteri Edhy diduga juga menerima sejumlah uang sebesar US$ 100.000 dari SJT melalui pengurus PT ACK," tambahnya.

"KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara terkait dengan perizinan tambak, usaha dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020," jelas Nawawi.

[removed]!function(s,e,n,c,r){if(r=s._ns_bbcws=s._ns_bbcws||r,s[r]||(s[r+"_d"]=s[r+"_d"]||[],s[r]=function(){s[r+"_d"].push(arguments)},s[r].sources=[]),c&&s[r].sources.indexOf(c)<0 t=e.createElement(n);t.async t.src=c;var a=e.getElementsByTagName(n)[0];a[removed].insertBefore(t,a),s[r].sources.push(c)}}(window,document,>