Kekerasan di Papua: Pemerintah RI Memandang Pernyataan PBB Bias
- bbc
Sejumlah pegiat HAM mendesak pemerintah Indonesia menindaklanjuti permintaan Pelapor Khusus HAM PBB untuk membuka akses bantuan kemanusiaan, serta membentuk tim independen untuk menginvestigasi kasus-kasus kekerasan di Papua.
Tiga pakar dari pemegang amanat prosedur khusus (SPMH) Dewan HAM PBB sebelumnya menyatakan mereka menerima laporan adanya pembunuhan di luar hukum di Papua, termasuk terhadap anak-anak, penghilangan orang, penyiksaan, serta pemindahan paksa sekitar 5.000 warga dalam kurun April-November 2021.
PBB juga memperkirakan sekitar 60.000 hingga 100.000 orang Papua mengungsi akibat kekerasan yang terus meningkat sejak kasus penembakan pekerja Trans Papua di Nduga pada Desember 2018.
Oleh sebab itu, mereka menyerukan "akses kemanusiaan segera" dan dilakukannya investigasi independen atas kekerasan di Papua.
Sejumlah kelompok pegiat HAM di Papua membenarkan situasi yang digambarkan oleh PBB dalam laporan itu.
Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Esegem, mengatakan sulit menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat yang terdampak konflik.
"Saya sudah cek di Yahukimo, akses itu dibatasi aparat. Akhirnya bantuan pengungsi tidak bisa masuk, termasuk di Pegunungan Bintang, pesawat dihalang. Pembela HAM tidak bisa masuk," kata Theo kepada BBC News Indonesia, Kamis (3/3).
Sedangkan Direktur Lembaga Studi dan Advokasi HAM (ELSHAM) Papua, Matheus Adadikam, menuturkan keterbatasan akses juga terjadi ketika kelompok pegiat HAM ingin mengumpulkan informasi dari lapangan terkait dugaan kekerasan yang terjadi.
"Apalagi ketika di wilayah itu lagi ada konflik, kami mau masuk itu susahnya bukan main karena benar-benar dibatasi betul, sehingga sumber informasi hanya keluar satu arah dari aparat," ujar Matheus.
Tetapi, Indonesia menolak seruan PBB itu dan menyebutnya sebagai "pemberitaan bias" dan "mengabaikan data yang telah disampaikan Pemerintah Indonesia untuk mengklarifikasi" poin-poin yang menjadi kekhawatiran PBB.
"Kami sayangkan dia [SPMH] menulis itu tanpa menjelaskan surat [klarifikasi] kami. Dia baca enggak surat itu, kalau dia baca, dia akan tahu kita enggak pernah melarang organisasi kemanusiaan untuk ada di Papua," kata Duta Besar Indonesia untuk PBB, Febrian Rudyard.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menuturkan pernyataan PBB itu seharusnya direspons secara konkret oleh pemerintah dengan menginvestigasi situasi pengungsi dan pelanggaran HAM di Papua, alih-alih menyangkalnya tanpa dasar fakta yang kuat.
`Entah kapan masyarakat bisa pulang`
Manase Sori, 21, sudah enam bulan meninggalkan kampung halamannya di Maybrat, Papua Barat karena konflik antara aparat gabungan TNI-Polri dan kelompok bersenjata pada September lalu.
Dia mengatakan belum berani kembali ke kampungnya karena takut dengan konflik yang masih bisa terjadi suatu waktu.
"Mau pulang juga ragu-ragu, kecuali ada pihak lain yang mau menjamin kepulangan masyarakat. Sekarang juga belum rasa aman, cuma aparatnya baru sudah kembali, terus ada beberapa titik yang masih," kata Manase.
Konflik itu terjadi pada 2 September 2021, ketika kelompok bersenjata menyerang Koramil Kisor sehingga empat anggota TNI meninggal. Aparat gabungan TNI-Polri kemudian menyisir sejumlah wilayah di Maybrat.
Sebagai imbasnya, kata Manase, masyarakat "menjadi ketakutan dan memilih meninggalkan kampung mereka".
Manase dan keluarganya berjalan kaki selama tiga hari ke wilayah Sorong, kemudian menumpang di rumah kerabat hingga saat ini. Sebagian warga lainnya, menurut dia, ada yang bertahan di hutan, ada pula yang hidup di pengungsian.
Selama mengungsi, keluarga Manase hidup seadanya, sebab keluarga yang mereka tumpangi hanya mengandalkan hidup dari hasil tani.
Dia mengaku baru satu kali menerima bantuan berupa bahan pangan pokok seperti beras, minyak, dan mi instan.
"Kalau akses untuk bantuan memang benar belum ada sampai ke tangan pengungsi. Kepastian untuk masyarakat juga belum, entah kapan masyarakat bisa pulang. Rindu dengan kampung, tapi bagaimana, keamanan di sana saja belum bisa," ujar dia.
Menurut Manase, banyak pengungsi hidup prihatin. Anak-anak mereka tak bisa lanjut sekolah, sebagian dititipkan di panti asuhan. Banyak pula pengungsi yang sakit, tapi tak bisa mendapat akses medis.
`Akses dibatasi aparat`
Salah satu poin yang disoroti oleh para ahli HAM PBB adalah sangat terbatasnya akses lembaga kemanusiaan termasuk Palang Merah kepada para pengungsi.
Padahal, para pengungsi dilaporkan mengalami masalah gizi akibat kurangnya akses makanan dan layanan kesehatan yang memadai.
"Kami sangat terganggu oleh laporan bahwa bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Papua dihalangi oleh pihak berwenang," kata para ahli HAM PBB.
Hal serupa juga disampaikan oleh pegiat HAM, Theo Esegem, yang mengaku juga kesulitan menyalurkan bantuan pada masyarakat terdampak konflik.
"Saya sudah cek di Yahukimo, akses itu dibatasi aparat. Akhirnya bantuan pengungsi tidak bisa masuk, termasuk di Pegunungan Bintang, pesawat dihalang. Pembela HAM lokal pun tidak bisa masuk," kata Theo.
Oleh sebab itu, Theo mengatakan penting membuka akses bagi sebuah tim independen untuk mengecek langsung kondisi para pengungsi yang terdampak konflik, serta peristiwa-peristiwa dugaan pelanggaran HAM yang telah terjadi.
"Saya pikir ini ada tim independen, yang memang bebas mengakses , bertemu dengan pengungsi tanpa dibatasi aparat sehingga kita tahu persis bagaimana kondisi pengungsi. Kita tidak tahu selama ini pengungsi itu berapa yang meninggal di hutan, berapa yang sakit, berapa yang meninggal karena lapar?" kata dia.
Tidak hanya terkait bantuan kemanusiaan, Matheus Adadikam dari ELSHAM mengatakan akses informasi pun sangat dibatasi oleh aparat ketika terjadi konflik dan kekerasan.
Misalnya terkait dugaan penganiayaan yang menewaskan anak SD oleh anggota TNI di Distrik Sinak,. Kasus itu diklaim sebagai "hoaks" oleh TNI. Tetapi Matheus dan lembaga lainnya seperti Amnesty International meragukan klaim TNI tersebut.
"Padahal kami angkat informasi yang akurat dari lapangan. Jadi seperti ini kalau tidak ada akses dibuka itu akan satu arah saja informasinya, itu kan sesuatu yang perlu kita cek."
Keterbatasan akses seperti itu lah yang menurut Matheus membuat pelanggaran HAM di Papua terus terjadi dan tidak pernah ada pertanggung jawaban hukum oleh para pelakunya.
"Jangankan untuk investigasi, untuk bantuan kemanusiaan saja kami harus cari akal bagaimana agar bisa masuk," kata Matheus.
Terkait tuduhan pembatasan akses itu, Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Ahmad Mustofa Kamal membantahnya.
"Kita enggak pernah membatasi, siapa saja bisa membantu, bahkan kita sendiri melakukan bantuan terhadap akses dari kekerasan yang dilakukan KKB, sehingga terjadi kontak tembak, masyarakat mengamankan diri ke pos TNI dan Polri," ujar Kamal.
Kamal juga mempertanyakan data pengungsi yang disebutkan oleh PBB yang jumlahnya diperkirakan mencapai 100.000 orang,
"Enggak ada, jangan terus ngomong banyak, ngomong data tapi tidak riil," kata dia.
Keberatan Indonesia
Duta Besar Indonesia untuk PBB, Febrian Rudyard mengaku "kecewa dengan cara berkomunikasi SPMH" yang menyampaikan kekhawatiran mereka kepada publik "tanpa menyertakan klarifikasi yang telah dikirimkan oleh Pemerintah Indonesia".
Indonesia memandang pernyataan PBB itu bias dan meminta SPMH "meluangkan waktu untuk membaca tanggapan pemerintah Indonesia, sehingga memahami lebih baik faktor-faktor yang menyebabkan perpindahan penduduk seperti bencana alam, rumah yang diamuk oleh kelompok bersenjata, konflik suku, serta konflik pilkada".
Indonesia mengeklaim tuduhan "pemindahan paksa oleh pasukan keamanan" itu tidak benar dan bisa berdampak pada ketidakpercayaan publik terhadap aparat keamanan.
Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Febrian juga mengatakan bahwa pernyataan PBB itu bukan lah sebuah "desakan" atau "temuan", melainkan hanya komunikasi biasa atara Dewan HAM PBB dengan negara anggotanya atas laporan yang mereka terima.
Laporan itu pun telah dijawab oleh pemerintah melalui klarifikasi yang dikirimkan langsung ke SPMH, dan secara prosedural dianggap sudah selesai.
Terkait tindak lanjut atas apa yang disuarakan oleh PBB, Febrian mengatakan klarifikasi itu sudah berisi penjelasan terkait apa yang sudah dilakukan di dalam negeri terkait situasi di Papua.
"Kenapa ada tindak lanjut? Kan kita sudah klarifikasi, berarti sudah ada tindak lanjut di dalam negeri. Yang kita jawab adalah apa yang sudah kita lakukan di dalam negeri.
"Bukan kita harus tanggung jawab atas pertanyaan itu, ini adalah pertanyaan yang diajukan oleh SPMH berdasarkan laporan dari pihak lain yang belum tentu ada kebenarannya," kata Febrian.
Dia juga menyatakan bahwa selama ini Indonesia tidak pernah membatasi akses bantuan kemanusiaan ke Papua. Sedangkan terkait desakan investigasi independen, Febrian menuturkan mekanisme yang ada di dalam negeri yang bisa memenuhi itu.
"Kita punya Komnas HAM yang independen, kita punya hukum yang terpisah dari kekuasaan. Tidak ada alasan untuk kita minta mekanisme di luar negara kita untuk masuk ke dalam mekanisme internal kita," papar dia.
BBC News Indonesia juga telah menghubungi sejumlah staf di Kantor Staf Presiden dan Kementerian Koordinator Bidang Hukum, Politik, dan Keamanan untuk menanggapi desakan PBB dan sejumlah kelompok pegiat HAM itu.
Tetapi, belum ada jawaban sampai berita ini ditulis.
Penyangkalan pemerintah `harus dibuktikan`
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai pernyataan PBB itu semestinya ditanggapi pemerintah dengan memberikan hasil investigasi atas tuduhan dan dugaan pelanggaran HAM di Papua.
Tetapi sikap pemerintah saat ini, kata dia, cenderung defensif dan menyangkal tanpa berupaya membuktikan tuduhan itu melalui mekanisme yang transparan dan terukur.
"Seharusnya dugaan pelanggaran HAM yang ada dalam catatan SPMH itu dijawab pemerintah dengan investigasi, dan hasil investigasi itu yang diberikan kepada PBB," kata Usman.
"Tapi yang terlihat hanya perkataan yang agak harsh, kasar dari pemerintah Indonesia yang dikeluarkan di hari yang sama," tutur dia.
Desakan serupa juga datang dari para pegiat HAM di Papua. Theo Esegem mengatakan kesediaan untuk membuka akses bagi penyelidikan yang independen bisa menjadi langkah awal untuk membangun dialog yang konstruktif dalam menyelesaikan persoalan di Papua.
Penyangkalan pemerintah dianggap hanya akan melanggengkan kekerasan yang terjadi di Papua.
"Indonesia selalu menyangkal bahwa Papua aman, tidak ada pelanggaran HAM, oleh sebab itu harus dibuktikan. Pemerintah harus mengizinkan [akses] tim independen. Indonesia berani tidak? Kalau Indonesia tidak berani berarti ada yang terselubung," kata Theo.