Ada Petisi Tolak IKN, Pakar: Pahami Dulu Dasar Hukumnya

Presiden Jokowi saat meninjau lokasi Ibu Kota baru RI di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Sumber :
  • VIVAnews/Agus Rahmat

VIVA – Keputusan memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur, menimbulkan pro dan kotra. Bahkan termasuk muncul petisi sebagai bentuk penolakan keputusan pemerintah tersebut.

Petisi menolak pembangunan IKN di laman change.org dengan tajuk: 'Pak Presiden, 2022-2024 bukan waktunya memindahkan ibu kota Negara'. Sejumlah tokoh memprakarsainya, seperti Busyro Muqodas, Sri Edi Swasono, Azyumardi Azra, Din Syamsuddin, Muhamad Said Didu, Faisal Basri, hingga Ahmad Yani.

Guru besar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji menilai, munculnya perbedaan pendapat terhadap perpindahan IKN adalah suatu yang wajar.

Lokasi Kecamatan Sepaku di Kabupaten Penajam Paser Utara. Sepaku dan Samboja, Kutai Kartanegara, akan menjadi lokasi ibu kota baru Indonesia.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

“Sebagai pengakuan prinsip rule of law, Negara menghargai sikap pro-kontra terhadap rencana pemindahan IKN dan ada mekanisme hukum atas keberatan,” ujar Indriyanto, dikutip Selasa 8 Februari 2022.

Akan tetapi, menurut Indriyanto sebaiknya dipelajari terlebih dahulu mengenai pemindahan IKN dari Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur itu.
 
“Memang sebaiknya dipahami dulu soal
pemindaham IKN dengan memahami secara mendalam kehasilgunaan yang dicapai Negara sebelum ajukan keberatan,” katanya. 

“Jadi tidak terkesan sebagai subyektif non-konstruktif argumen keberatannya tersebut,” tambahnya. 

Lebih lanjut disampaikannya, secara umum UU IKN sudah memenuhi salah satu prinsip sebagai undang-undang yang baik. Karena memiliki kehasilgunaan. Tidak sekedar dari sudut pandang biaya hingga manfaat, tetapi juga pemenuhan hak dan rasa keadilan dalam konteks NKRI. 

“Untuk itu, ke depannya diharapkan masyarakat dapat memahami dan memastikan kehasilgunaan yang dapat dicapai oleh negara,” katanya. 

Sementara itu, pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah menilai, sebenarnya munculnya petisi IKN disaat sudah disahkannya UU IKN, adalah suatu yang telat.

“Kalau penolakan itu lebih cocok sebelum pengesahan. Jadi itu sudah terlambat, kalau nggak setuju ada yudisial MK. Jadi nggak perlu bikin petisi,” katanya.

Dia melihat, petisi tersebut dapat mendorong orang lain untuk tidak menyetujui keputusan pemerintah dan DPR yang telah mengesahkan perpindahan IKN. Yakni dengan mensahkan UU IKN melalui paripurna DPR.

Mestinya, setelah disahkan menjadi UU harusnya bisa mengambil langkah hukum. Karena lanjut Trubus, Indonesia merupakan negara hukum. Terlepas dari itu, ia meminta pemerintah untuk melakukan sosialisasi pemindahan IKN terutama terhadap pihak-pihak yang kontra.

“Yang menolak itu diberikan pengarahan dan disosialisasikan, komunikasi publiknya juga perlu dibenahi terkait pemindahan itu,” katanya.