Gelombang Ketiga COVID-19, Rumah sakit Utama Penuh dengan Pasien
- bbc
Presiden Joko Widodo mengatakan kondisi fasilitas kesehatan "masih terkendali", meski rumah sakit utama sudah penuh dengan pasien Covid-19 dengan gejala sedang, berat hingga kritis.
Seorang tenaga kesehatan di RSUP Pershabatan, Jakarta mengatakan jika kasus tak bisa dikendalikan, maka "kita pasti bakalan kolaps dan kewalahan".
Situasi ini terjadi pada awal Februari, di mana gelombang Covid dengan varian omicron belum mencapai puncaknya yaitu akhir bulan ini seperti diprediksi Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin.
Kendati demikian, sebagian RS di Jakarta tak tampak tumpukan orang di depan Instalasi Gawat Darurat.
Pagi menjelang siang pada Jumat (04/02), pelataran RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) dipadati hilir mudik mobil dan motor yang keluar masuk portal parkir.
Kursi-kursi tunggu yang tersedia di dalam dan luar gedung sudah setengahnya terisi orang-orang dengan wajah letih.
Sebagian lainnya, menunggu di luar gedung; ada yang menggunakan kursi roda, sebagian tubuh dibalut perban, tentengan berkas-berkas dalam map transparan.
Sementara, kesibukan lainnya terjadi di ruang tes PCR. Kursi berjarak terisi penuh antrean mereka yang ingin mengetahui apakah tubuhnya terinfeksi virus Covid atau tidak.
Sekitar 30 meter dari lokasi tes PCR terdapat Gedung RSCM Kiara, tempat khusus pasien Covid mendapat perawatan.
Dari pantauan BBC, dalam satu jam, dua mobil ambulans tiba di depan pintu gedung membawa pasien.
Di sisi lain, di bagian luar gedung IGD RSCM, saat itu tampak lengang. Tiga mobil ambulans terpakir tak jauh dari situ.
Seorang tenaga kesehatan lengkap dengan APD bersama dengan ranjang dorong rumah sakit bersiaga di luar gedung.
Namun, seorang tenaga kesehatan yang berjaga di RSCM mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa kondisi di dalam "chaos banget" karena pasien-pasien Covid mulai berdatangan.
"Kondisinya berat sih. Terutama anak dan orang tua," kata dokter yang enggan disebut namanya.
BBC News Indonesia menghubungi pihak RSCM untuk mengkonfirmasi hal ini, tapi belum mendapat respons.
Tingkat keterisian ranjang di RSUP Persahabatan mencapai 85%
Sementara itu, bed occupancy rate (BOR) atau tingkat keterisian tempat tidur di RSUP Persahabatan mencapai 85%.
"Tapi itu bukan angka mutlak, karena sewaktu-waktu kami bisa tambah tempat tidur, tambah ruangan sehingga nggak akan mungkin full juga, karena akan terus ditambah," kata Dokter Spesialis Paru RSUP Persahabatan, Erlina Burhan kepada BBC News Indonesia, Jumat (04/02).
Saat ini tempat tidur di RSUP Persahabatan untuk rawat pasien Covid mencapai 65 unit. Pasien yang mendapat perawatan hanya yang bergejala sedang, berat hingga kritis.
Sementara yang bergejala ringan, setelah menjalani diagnosa dan diberi vitamin lalu "dipulangkan" untuk menjalani isolasi mandiri.
"Kalau delta dulu 300 [unit tempat tidur], kalau kasusnya naik terus, kita akan buka terus, tambah terus tempat tidur.
"Tapi kalau yang dirawatnya banyak sekali, melebihi [kasus varian] delta yang kemarin, ya kita pasti bakalan kolaps dan kewalahan," tambah dokter Erlina.
Selain itu, Erlina juga mengatakan untuk mencegah tenaga kesehatan tumbang, pihaknya telah mempersiapkan sistem sif jaga bergiliran di ruang rawat isolasi. "Sehingga tidak tiap hari [masuk]. Jadi dalam sebulan, 10 hari di ruang isolasi," katanya.
Penuh sebelum puncak
Per Kamis (03/02), kasus Covid dilaporkan mencapai 27.197 kasus, di mana DKI Jakarta disebut menyumbang sebanyak 10.000 kasus dalam waktu 24 jam terakhir.
Dengan demikian kasus harian baru-baru ini, jika dibandingkan dengan awal Januari lalu, atau dalam satu bulan terakhir, kasus Covid di Indonesia meningkat 100 kali lipat.
Sementara itu, jumlah pasien Covid yang menjalani rawat inap di rumah sakit meningkat hampir 14 kali lipat dalam satu bulan terakhir. Data terkini menunjukkan kasus rawat inap mencapai 2,05/100.000 penduduk per minggu.
Bagaimana pun, situasi Covid hari ini masih belum pada puncaknya, seperti yang diprediksi Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin.
Dalam beberapa kesempatan ia mengestimasi puncak kasus Covid gelombang ketiga akan terjadi pada akhir Februari.
"Kita masih belum tahu berapa puncaknya di Indonesia, yang perkiraan kami akan terjadi di akhir Februari," kata Menkes Budi Gunadi beberapa waktu lalu.
Ia juga mengestimasi jumlah kasus harian periode omicron bisa lebih tinggi hingga enam kali lipat dari varian delta.
"Bisa tiga kali sampai enam kali dibandingkan puncak delta. Di mana puncaknya delta di Indonesia 57.000 kasus per hari," tambah Menkes Budi yang juga mengatakan prediksi ini diambil dari kasus-kasus di beberapa negara lain.
Ia juga mengimbau masyarakat, "Kami minta tolong tetap waspada. Tolong tetap hati-hati. Kalau tidak perlu sekali berkerumun atau mobilitas, yuk kita kurangi."
Bagaimana pun, dalam situasi terkini pemerintah mengambil kebijakan mempertahankan sekolah tatap muka, termasuk mengurangi jumlah hari karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri dari tujuh hari menjadi lima hari.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo juga mengatakan lonjakan ini sudah diperkirakan "diantisipasi pemerintah dengan kesiapan-kesiapan kita yang sudah jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun lalu."
"Baik dari segi rumah sakit, obat-obatan, dan oksigen, tes isolasi, maupun tenaga kesehatan. Dan kondisi RS juga masih terkendali," kata Presiden Jokowi.
Ia menambahkan, varian Omicron tingkat penularannya tinggi tapi tingkat fatalitasnya lebih rendah dari varian delta.
"Di beberapa negara tingkat keterisian RS relatif rendah. Di Indonesia, kasusnya cukup tinggi,keterisian RS masih terkendali."Varian Omicron dapat disembuhkan tidak perlu ke RS, pasien cukup isolasi mandiri di rumah, minum obat dan minum multivitamin," tambah Jokowi.
Sejumlah IGD RS masih lengang
Sejauh ini, hasil pantauan BBC News Indonesia di sejumlah rumah sakit, tidak tampak tumpukan orang di depan IGD.
Hal ini tampak di RSUD Cibubur, Jakarta Timur. Di pelataran RS terdapat tenda darurat, yang digunakan warga sekitar untuk vaksinasi ketiga.
Namun, menurut petugas keamanan setempat, rumah sakit tersebut sudah ditutup untuk pasien umum sejak 1 Februari 2022, dan hanya menerima pasien khusus Covid-19.
Dari RSUD Cibubur, BBC juga memantau RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur. Tumpukan masyarakat terlihat di pelataran utama untuk mengambil nomor antrean berobat dengan pelbagai macam penyakit.
Sementara, di pelataran gedung IGD RS Pasar Rebo kurang dari 10 orang yang menunggu.
Masih dari Jakarta Timur, halaman gedung IGD di RS Polri Sukanto juga tak tampak tumpukan orang, hanya mobil ambulans yang terpakir.
`Kecemasan seorang nakes menghadapi gelombang ketiga`
Sejauh ini tak banyak tenaga kesehatan yang bisa bicara secara terbuka mengenai kondisi dan status Covid. Namun, seorang nakes yang berjaga di IGD fasilitas kesehatan milik pemerintah di Jakarta Timur bercerita tentang kecemasannya menghadapi gelombang ketiga omicron kepada BBC.
Ia meminta BBC untuk menyamarkan nama dan lokasi tempat kerjanya.
Sari - bukan nama sebenarnya - mengatakan saat ini puskesmas tempat ia bekerja sudah bisa merujuk 15 pasien dalam satu hari. "Jadi beberapa saya jaga pun, itu anak sekolah SD, SMP itu mereka banyak yang positif karena acara di sekolah. Terus guru walikelasnya positif. Iya, anak kecil banyak yang kena," katanya.
Pasien-pasien ini dirujuk untuk melakukan isolasi di RS darurat wisma atlet, dengan waktu tunggu antrean hingga enam jam.
Dari puskesmas tersebut, sejauh ini, belum ada yang dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif, "karena gejalanya ringan, kayak batuk pilek ngilu-ngilu."
Bagaimana pun, Sari mengatakan lonjakan kasus belakangan ini "cepat banget".
"Karena di puskesmas pun nakesnya sudah banyak yang positif."
"Iya, ini sih menurut saya sudah banyak banget, dan saya sendiri jadinya takut banget. Jadi kalau pulang ke rumah itu benar-benar harus mandi dulu. Semprot-semprot, mandi lagi," kata Sari.
Lonjakan kasus Covid belakangan ini juga mengingatkan Sari pada masa-masa kelam saat gelombang kedua menghantam fasilitas kesehatan.
Saat itu, pada Juli 2021, Lapor Covid mencatat sebanyak 500 tenaga kesehatan meninggal dalam satu bulan.
Sari saat itu masih bekerja di salah satu RSUD di Jakarta Timur, sebelum pindah ke puskesmas.
"Waktu itu IGD kita nggak bisa merawat pasien Covid. Sehingga beberapa pasien yang jelek [kritis] pun itu kami harus merujuk. Bahkan satu malam, saya bisa merujuk sembilan pasien sekaligus," kata Sari.
Kondisi saat itu disebut Sari "benar-benar parah". Banyak rekan kerjanya yang terinfeksi Covid, namun tetap dipaksa untuk bekerja.
"Bahkan kami hampir semua nakes di IGD sudah isolasi mandiri. Gara-gara positif. Dan Kemenkes lagi kejam-kejamnya sama kami."
Nakes yang sebelumnya mendapat jatah melakukan isolasi mandiri selama 14 hari dipangkas menjadi 10 hari. "Bahkan kami dengan PCR yang masih positif itu pun kami harus masuk kerja," katanya.
"Hampir semua pengalamannya bikin saya takut. Sebenarnya nakes-nakes di luar sana itu mungkin pasien lihat fine-fine aja, tapi kami tuh di ruang jaga suka nangis. Pertama, teman kami banyak yang gugur.
"Ketika kamu harus merujuk teman sejawat sendiri baik ke rumah sakit maupun ke wisma atlet. Itu yang membuat kami makin stress. Jadi sebenarnya, psisikis kami terganggu," cerita Sari.
Sari menyoroti perkembangan lonjakan kasus di tengah protokol masyarakat yang abai, termasuk kebijakan-kebijakan pemerintah yang masih mempertahankan sekolah tatap muka, makan di tempat restoran, mal dan bioskop yang masih dibuka.
"Jadi sejujurnya trauma banget sama yang delta kemarin," kata Sari.
Video terkait yang mungkin menarik untuk Anda simak: