Pindah Ibu Kota Negara: Harga Mahal Kemacetan Jakarta

Presiden Joko Widodo meninjau lokasi Ibu Kota RI di Penajam Paser Utara
Sumber :
  • VIVAnews/Agus Rahmat

VIVA – Dua tahun lalu, di selipan pidato kenegaraan pada HUT RI ke-74 tahun 2019 di Gedung Parlemen, Presiden Joko Widodo sempat meminta izin dan dukungan rakyat Indonesia untuk memindahkan ibu kota negara (IKN) dari Jakarta ke Pulau Kalimantan. Di depan wakil rakyat gagasan pindah ibu kota itu lugas disampaikan Jokowi, dengan segudang dalih kenapa harus dipindah.  

"Dengan memohon ridho Allah SWT, dengan meminta izin dan dukungan dari Bapak Ibu Anggota Dewan yang terhormat, para sesepuh dan tokoh bangsa terutama dari seluruh rakyat Indonesia, Saya mohon izin untuk memindahkan ibu kota negara kita ke Pulau Kalimantan," kata Presiden Jokowi pada 17 Agustus 2019 silam.

Setelah menimbang kajian beberapa tahun terakhir, lokasi calon ibu kota negara pun ditetapkan. Berada di dua kabupaten di Kalimantan Timur, sebagian di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian lagi di Kabupaten Kutai Kartanegara. 

Jokowi mengklaim lokasi calon IKN tersebut relatif lebih kecil terkena dampak bencana banjir dan longsor. Letaknya juga strategis dengan jarak rata-rata ke seluruh provinsi di Indonesia cukup pendek, yakni 893 kilometer.

Presiden Joko Widodo menyampaikan Pidato Kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Gagasan pindah ibu kota negara ini pun bergulir. Pro-kontra bermunculan mulai soal pemilihan wilayah, budget anggaran hingga tersapu badai pandemi COVID-19 di tahun 2020. Pun demikian, pemerintah maju terus. Pandemi mereda, gagasan IKN berlanjut dengan susunan landasan hukumnya.   

Diawali dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Baru (RUU IKN) menindaklanjuti Surat Presiden Republik Indonesia Nomor: R-44/Pres/09/2021 pada 29 September 2021. Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN dibentuk pada Desember 2021, yang terdiri dari DPR dan pemerintah untuk mendalami poin-poin dari pasal-pasal dalam RUU IKN.

Pembahasan dan konsultasi RUU IKN bergulir sejak Desember 2021 nyaris tanpa kendala di parlemen. Sampai akhirnya RUU IKN disetujui oleh DPR RI untuk disahkan menjadi Undang-Undang melalui Rapat Paripurna pada 19 Januari 2021. Disepakati pemerintah dan DPR, nama ibu kota negara baru di Kalimantan bernama Nusantara.

Gara-gara Kemacetan

Jauh sebelum itu, gagasan pindah ibu kota negara ini berawal dari kemacetan. Lalu berkumpulah tiga ahli itu pada satu siang, di sebuah restoran di Jakarta, Kamis 29 Juli 2010. Mereka begitu bersemangat. Wartawan diundang datang. Pada hari itu, problem macet Jakarta siap dikulik. 

"Soal kemacetan bukan cuma soal teknis transportasi,"ujar Andrinof Chaniago. Dia pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia, yang juga mantan Kepala Bapppenas. Suaranya pesimis. Dia, misalnya, tak percaya solusi menambah panjang jalan, dan juga jalan tol. Mass Rapid Transit pun dianggapnya percuma. 

Desain Garuda untuk Istana Negara di Ibu Kota Negara Baru.

Photo :
  • Tangkapan kamera @suharsomonoarfa.

Bagi Andrinof, akar macetnya Jakarta sederhana: pekerjaan bertumpuk di tengah kota, tapi para pekerja tinggal di tepi. Akibatnya pada siang hari, populasi di Jakarta membengkak. Kepadatan itu baru mengempis pada malam hari.

Masalahnya, di tengah kota, rumah mahal. Yang tak sanggup beli atau sewa, akhirnya menyingkir ke pinggir. Mereka baru menyerbu ke tengah kota, pada pagi dan siang hari. Di sini muncul soal lain: Jakarta tak punya alat angkut berskala besar, dan cepat. 

"Lalu muncul cost of poverty,” ujar Tata Mustaya, rekan Andrinof. Tata adalah master manajemen pembangunan jebolan Universitas Turin, Italia. Pakar lainnya adalah M Jehansyah Siregar, dosen Institut Teknologi Bandung. Jehansyah adalah doktor di bidang pemukiman dari Universitas Tokyo, Jepang. 

Mereka bertiga tergabung dalam Tim Visi Indonesia 2033. 

Yang dimaksud Tata adalah orang miskin membayar lebih mahal. Kaum menengah ke bawah itu harus berjibaku melawan kemacetan. Untuk sampai ke tempat kerja, ongkos lebih banyak. Berbeda dengan kaum menengah atas, yang tinggal  di tengah kota. 

Sebelumnya, pada kesempatan berbeda, Yayat Supriyatna, planolog dari Universitas Trisakti, mengatakan Jakarta tak disiapkan sebagai Ibu Kota, dengan skala sebesar sekarang. "Pertama, yang harus diingat, kita punya Ibu kota karena faktor sejarah," kata Yayat. 

Pada awalnya Jakarta adalah kota dagang. Lalu, akibat dinamika sejarah politik, dia harus menampung aktivitas pemerintahan berskala besar. Lantas, yang terjadi fungsi dan peran kota itu menjadi tak jelas. 

Pada era Gubernur Ali Sadikin, Jakarta pernah dibenahi. Bang Ali membentuk Perusahaan Umum PPD, sebagai badan layanan umum transportasi, dan membereskan tata guna lahan. 

Tapi, akibat paradigma pembangunan Orde Baru yang sentralistis, pembenahan itu pun tak kuasa membendung arus penduduk. Jakarta diserbu pendatang baru. Beban itu baru terasa dekade belakangan. Kota ini kian macet, air bersih kurang, dan banjir kalau hujan. 

"Idealnya, penduduknya hanya 4 sampai 5 juta jiwa, setengah dari sekarang," kata Yayat. Statistik terakhir mencatat penduduk resmi Jakarta lebih dari 9,5 juta jiwa. 

Inilah yang diingatkan oleh Andrinof. Satu bom sosial siap meledak di Jakarta 20 tahun lagi. Kesenjangan sosial kian tajam, kriminalitas tinggi, taraf kesehatan menurun. Gangguan jiwa meningkat. 

"Kalau tak ada keputusan politik untuk pindah Ibu Kota, kita mungkin menghadapi ledakan sosial seperti Mei 1998," kata Andrinof. 

Huru-hara 1998 yang menumbangkan rezim orde baru Suharto itu pun terbayang.

Ongkos Pindah Ibu Kota

Tapi, berapa ongkos pindah ibu kota?  Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla sama sekali tak setuju pemindahan Ibukota. Menurutnya, itu bukan perkara mudah.

"Butuh dana berapa? Butuh berapa kantor? Kantornya sih mudah dibikin, tapi yang susah bikin rumah," kata Jusuf Kalla. Menurut Jusuf Kalla, masalah Jakarta sebagai Ibu kota hanya pada kemacetan. Beban sebagai pusat pemerintahan, kata Kalla, sudah berkurang di era otonomi daerah.

"Jadi peranan departemen sudah tidak sehebat dulu,” katanya.

Justru karena kemacetan itulah,  Andrinof menilai Ibukota harus pindah. Kerugian akibat kemacetan di Jakarta sudah parah. "Minimal Rp17 triliun per tahun," ujar Andrinof.

Ilustrasi kemacetan.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Tapi, kalau pindah Ibu kota, berapa ongkosnya? Andrinof dan teman-temannya pernah menyusun kertas kerja biaya pemindahan Ibu kota. Angka minimum membangun sebuah Ibu kota baru adalah Rp100 triliun, dengan perhitungan program berjalan tahunan.

Jika pembanguan kota baru itu butuh waktu 10 tahun, maka "Kita menyisihkan APBN Rp10 triliun untuk membangun tiap tahun," kata Andrinof.

Angka Rp10 triliun per tahun itu, kata Andrinof, lebih kecil dari estimasi kerugian Jakarta setiap tahunnya akibat macet. Kota baru ini, kata Andrinof, harus bisa memuat minimal satu juta penduduk. "Ada 400 ribu pegawai negeri sipil, dan sisanya keluarga dan kalangan swasta," ujarnya.

Tentu kota itu harus punya fasilitas lengkap. Jaringan jalan, drainase, listrik, telepon, bandara internasional, dan perkantoran. Juga istana bagi presiden dan wakil.

Cara membangunnya juga bisa dihemat. Toh tak semua lembaga negara atau pemerintahan harus pindah ke Ibu kota baru. Misalnya, kata Andrinof, Bank Indonesia tetap dipertahankan di Jakarta. Markas Tentara Nasional Indonesia, misalkan, bisa saja tetap di Jakarta.

Tinggal pemerintah menentukan mana yang pindah, dan yang tidak," ujarnya.

Pakar pemukiman Jehansyah Siregar, menyebutkan kota baru ini harus dibangun oleh badan negara setara Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Badan inilah melakukan perencanaan, dan mengawasi pelaksanaan pembangunan.

"Sekarang tinggal kemauan politik Presiden. Mau atau tidak melakukannya," kata pengajar di Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung itu.