Kesaksian Algojo 1965 Aceh: Masih Simpan Parang untuk Potong Leher
- bbc
Lubang-lubang pembantaian orang-orang yang dituduh komunis di Aceh pada 1965 dapat ditemukan di berbagai tempat, termasuk di perbukitan Seulawah, di pinggiran Kota Sigli. BBC News Indonesia bertemu eks `algojo` dan keluarga korban yang dibantai.
"Saya masih simpan parang untuk memotong leher orang-orang PKI. Kalau bapak mau lihat, silakan..."
Udin, nama samaran, berada tak jauh dari lubang-lubang pembantaian di perbukitan Seulawah, di pinggiran Kota Sigli, Aceh. Di sanalah orang-orang yang dituduh komunis disembelih.
Pembantaian biadab itu terjadi 56 tahun silam, tak lama setelah peristiwa G30S 1965, ketika langit di atas perbukitan itu makin gulita.
Saat Udin berusia 25 tahun, peristiwa penangkapan dan pembunuhan massal atas pimpinan, anggota, simpatisan atau orang-orang yang dikaitkan Partai Komunis Indonesia (PKI), gencar dilakukan di kota di pesisir timur Aceh itu.
Baca juga:
- `Tembak dan kuburkan saya, supaya anak-anak bisa berziarah` — Thaib Adamy dan pembunuhan massal 1965 di Aceh
- Soeharto `koordinir` operasi pembantaian 1965-1966, sebut dokumen
Pembunuhan massal ini dilatari pembunuhan tujuh jenderal di pulau Jawa, kudeta yang gagal, polarisasi politik tingkat lokal, dendam pribadi, hingga kampanye militer untuk menghabisi orang-orang komunis `hingga ke akar-akarnya`.
Dalam atmosfer seperti itulah, Udin — kini usianya 81 tahun — direkrut sebagai anggota pertahanan sipil dan disebutkan `berperan` dalam pembunuhan massal di perbukitan angker itu. Dia bahkan lulus rekrutmen menjadi `algojo`.
Dokumen internal militer di Aceh menyebut orang-orang yang dibantai di wilayah Sigli dan sekitarnya berjumlah 314 orang. Adapun secara keseluruhan korban di Aceh mencapai 1.424 jiwa, menurut dokumen itu.
Namun angka versi militer ini jauh lebih sedikit dari perkiraan para peneliti dan pegiat HAM. Diperkirakan 3.000 hingga 10.000 telah dibantai dalam kurun waktu 1965-1966 di Aceh.
Pada tahun-tahun gelap itu, di Kota Sigli dan sekitarnya, ratusan orang-orang yang dituduh PKI ditangkap dan digelandang ke sebuah penjara di kota itu.
Sebagian mereka dipaksa naik ke dalam truk untuk menuju lubang-lubang pembantaian, antara lain di salah satu sudut di perbukitan Seulawah — tanpa diadili terlebih dahulu.
Baca juga:
- Dokumen rahasia Amerika: AS mengetahui skala pembantaian tragedi 1965
- Peristiwa G30S 1965, penumpasan PKI, dan hari-hari sesudahnya
Udin adalah saksi dan berada dalam pusaran kekerasan itu. Sumber BBC News Indonesia di Sigli menyebut dia adalah bagian dari tim `tukang jagal`.
Namun dalam wawancara, Udin mengaku hanya berperan kecil sebagai petugas yang berjaga di pos penjagaan tak jauh dari lokasi pembantaian.
Malam jahanam di Simpang Betung — `Ada korban membawa kitab Surat Yasin`
Lebih dari 55 tahun kemudian, ingatan Udin atas tindakan kejam di malam-malam jahanam di lubang-lubang pembantaian di sekitar Simpang Betung di perbukitan itu, sepertinya, tak lekang oleh waktu.
Udin masih ingat apa yang disebutnya percakapan terakhir dan sekelumit kejadian di menit-menit menjelang para algojo mengayunkan parangnya ke tengkuk para korban.
"Ada yang membawa kitab Surat Yasin di kantong bajunya," ungkap Udin kepada BBC News Indonesia, pertengahan Oktober 2021 lalu.
"Tapi," imbuhnya cepat-cepat, "ada pula yang memberikan jawaban murtad `mana ada Tuhan, apa Tuhan, mana Tuhan?`" Ini barangkali semacam pesan terakhir sebelum parang diayunkan ke tengkuk orang-orang komunis itu.
Saya bertemu Udin di sebuah kedai kopi tidak jauh dari salah-satu lokasi pembantaian di Simpang Betung — disebut pula sebagai `Cot PKI` atau `Cot Tengkorak`. Cot adalah bukit dalam bahasa Aceh.
Baca juga:
- Korban 1965: `Saya bertemu algojo yang menembak mati ayah saya`
- `Saya dituduh anggota Gerwani yang mencukil mata jenderal`
- Jumat pagi bersama `algojo pemburu` PKI
Perawakannya gempal dan tingginya sekitar 155 cm. Kopiah hitam menutupi rambutnya yang memutih. Kumis tipis — habis dicukur — melintang rapi.
"Saya dulu gagah, berkumis tebal," Udin terkekeh. Dia menyebut dirinya `jagoan yang ditakuti` di kampungnya pada saat itu.
Siang itu Udin memang acap kali mengumbar tawa. Hampir semua pertanyaan seputar peristiwa pembantaian di perbukitan sepi itu dia jawab.
Namun semula tidaklah gampang meyakinkannya agar mau `berbicara`. Udin mengaku harus berkonsultasi dengan seseorang yang disebutnya ulama untuk mengiyakan atau tidak.
Setelah sang ulama mengeluarkan semacam petunjuk, Udin akhirnya bersedia menerima BBC Indonesia, tapi dengan syarat, yaitu, jati dirinya harus disembunyikan. Kami menyetujuinya — akhirnya.
Saat kami bertemu di sebuah warung di pinggir jalan tak jauh dari lokasi lubang-lubang pembantaian, Udin awalnya menyerahkan secarik kertas kecil dalam kondisi terlipat kepada saya.
Tidak lama kemudian, saya membukanya perlahan. Ada tulisan tangan di dalamnya. Isinya: Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan ajaran komunisme/marxisme.
Ayah lima anak dan kakek sembilan cucu ini tak menjelaskan tujuannya memberikan kertas dengan teks seperti itu.
Suara gonggongan anjing pemburu babi hutan yang mengambang di kejauhan, juga sesekali raungan kendaraan roda empat di jalan raya, akhirnya mengalihkan fokus saya.
"Dahulu sepi sekali di sini, masih hutan," kata Udin. Sebagian lubang pembantaian kini berubah menjadi lahan kebun warga, katanya.
Baca juga:
- `Saya selalu berdoa, kapan bertemu ibu`, kisah Francisca Fanggidaej dan tujuh anaknya `terpisah` 38 tahun sejak 1965
- Perempuan dan propaganda terhadap Gerwani, `Stigma belum hilang sekalipun mereka sudah tidak memberi label lagi`
- Tionghoa Indonesia dalam pusaran peristiwa 65 - Pengalaman, kenangan dan optimisme generasi muda
`Algojo` pembantaian orang-orang komunis di `Bukit Tengkorak`?
Sebagian masyarakat yang tinggal tak jauh dari perbukitan itu, menurut sumber BBC Indonesia, menyebut Udin ikut terlibat membantai orang-orang yang dituduh PKI di Bukit Tengkorak dan sekitarnya setelah 1 Oktober 1965.
Udin disebut sebagai salah-seorang algojonya. Dia bahkan disebut pernah dilibatkan dalam eksekusi di lokasi pembantaian di Banda Aceh.
Namun dalam wawancara, pria ini mengaku hanya mendapatkan cerita perihal pembantaian itu dari para algojo.
Dia lantas meminta agar kami menempatkan dirinya sebagai saksi mata dari kejadian pembantaian tersebut.
Menurutnya, dia hanya berperan kecil, sebagai salah-seorang petugas di pos jaga, tidak jauh dari lokasi pembantaian.
"Saya hanya hansip yang berjaga di pos di dekat jalan raya Cot Betung," akunya. Udin mengaku dikirim oleh kantor camat setempat untuk ditempatkan di pos itu, karena kekurangan petugas.
Tugasnya `memantau` rombongan truk yang membawa para pesakitan ke lokasi pembantaian. "Jam sembilan malam, sudah sampai di sini [pos]. Waktu itu gelap dan sepi."
Siapa yang membawa para tahanan itu? Tanya saya. "Campuran," katanya. "Ada TNI, polisi, polisi militer, dan Pertahanan Sipil (Hansip) dari kecamatan. Jadi ada empat satuan."
Kepada petugas pos, orang-orang yang membawa tahanan komunis itu menunjukkan daftar nama yang akan dibunuh di lokasi itu.
Udin mengaku tidak dipersenjatai, kecuali berseragam lengkap ala anggota Hansip. "Gagah sekali, bersepatu hitam, pakai topi pet kayak tentara."
`Ada 170 orang yang dieksekusi, dua orang anggota Gerwani`
Usai proses eksekusi yang disebutnya berjalan antara 30 menit dan satu jam, para petugas pos — di antaranya polisi — kemudian menerima laporannya.
Dan, "saya jarang melihat [eksekusi], karena tidak cocok dengan pikiran. Makanya saya [menjaga] di pos. Habis leher mereka digorok [di Cot Betung], saya pulang," akunya dengan kalimat datar.
"Saya ingat, ada 170 orang dari Sigli yang dieksekusi di tiga tempat di sini. Tapi ada pula yang kabur," Udin berkisah.
Orang-orang yang dibantai itu, termasuk dua orang anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) asal Kota Sigli dan sekitarnya, ujarnya. Tapi dia mengaku tak mengenalnya.
Apakah tiap malam ada orang-orang yang digorok? "Tidak tiap malam. Kadang-kadang satu minggu satu kali, malam Rabu atau malam Minggu."
Proses pembantaian berlangsung sekitar sebulan, tapi Udin lupa secara persis waktunya. "Pokoknya sebelum puasa Ramadan, antara 1965 dan 1966."
Baca juga:
- G30S: Cucu-cucu `Pahlawan Revolusi` dan `elite PKI` bicara soal sejarah dan harapan `tak mau warisi konflik untuk membenci`
- Penari asal Kupang yang dituding PKI: Diperkosa, katong diperlakukan seperti anjing, `Biar Tuhan yang mengadili`
- Kisah anak algojo PKI di Blitar selatan yang mendampingi penyintas kasus 1965: `Saya minta maaf`
Semalam bisa sampai 24 orang dibantai di sekitar 10 titik di Cot Betung dan sekitarnya. Setiap lubang bisa berisi antara tujuh sampai 15 orang, ungkapnya.
"Saya tidak menghitung saat eksekusi, tapi saya lihat di daftar laporan setelah eksekusi. Saya melihat di pos, bukan di tempat kejadian perkara," akunya.
`Kalau tidak mati, atau tidak lepas kepalanya, dipotong lagi`
Tetapi ketika saya bertanya seperti apa cara pembantaian, Udin menjelaskan secara panjang lebar.
Di hadapan Udin, saya mencoba memperagakan sebagai orang yang akan dieksekusi. Dan dia seolah-olah adalah algojonya.
"[Orang yang akan dieksekusi] Duduk, kakinya [masuk] ke dalam lubang. Algojonya di belakang atau di samping," kisahnya.
Lalu, mereka digorok pada tengkuknya hingga kepalanya terpisah. "Kalau tidak mati, atau tidak lepas kepalanya, dipotong lagi. Pegang rambutnya, potong lagi," katanya, sambil menggerakkan tangannya seolah-olah memegang parang dan rambut korban.
Berapa panjang parangnya? Satu meter? Tanya saya.
"Tidak [terlalu panjang]. Kalau terlalu panjang, tidak kencang. Kalau pendek, kencang," Udin tergelak dan berkata bahwa parang-parang itu dibikin di Banda Aceh.
`Saya lulus pelatihan jadi algojo`
Udin pun mengetahui bagaimana cara mencari `lokasi` ideal untuk memudahkan penggalian lubang pembantaian. "Yaitu gali lubang di saluran air, supaya tanahnya tidak keras."
Kalimat ini dia utarakan saat kami berada dalam mobil menyusuri ruas jalan tidak jauh dari lubang-lubang pembantaian di Simpang Betung.
Tiba-tiba, "ini tempatnya, pasti," Udin, dari dalam mobil, menunjuk sebuah kawasan yang disebutnya sebagai salah-satu titik pembantaian.
Namun dia tidak bersedia diajak ke lokasi di mana orang-orang itu disembelih. "Saya tidak ingat lagi," akunya.
Di hadapan saya, Udin kemudian mengaku ikut semacam pelatihan untuk menjadi algojo. Caranya seperti apa? Saya bertanya.
"[Kami] diminta bawa parang dan dibentak-bentak. Kalau mukanya pucat, disuruh ke sana. Kalau mukanya merah, diminta ke sini. Lima hari kemudian, saya langsung dipanggil," ungkapnya, seraya tertawa.
Jadi Anda lulus sebagai algojo? Saya bertanya lagi. "Saya lolos, karena muka saya merah." Tawanya kembali meledak. Dia direkrut oleh seorang camat di wilayah tempatnya tinggal.
`Saya masih simpan parang untuk potong leher orang PKI`
Walau mengaku hanya berperan `kecil` dalam proses pembantaian itu, Udin masih menyimpan sebilah parang yang disebutnya "untuk memotong leher orang-orang PKI."
"Kalau bapak mau lihat, silakan. Tapi uang itu penting, [uang itu] bukan untuk saya," katanya saat wawancara akan berakhir. Saya menolak dengan sopan tawarannya itu.
Parang yang sudah keropos itu bahannya dari campuran emas, kemiti dan jarum. Adapun gagangnya terbuat dari tanduk kerbau.
Dia terus merawat parang itu hingga sekarang. Benda itu disebutnya manjur guna menyembuhkan orang-orang kesurupan.
"Insya Allah sembuh kalau minum air yang direndam dengan parang itu." Sampai di sini saya tidak melanjutkan pertanyaan lebih detil. Saya menahan muntah.
Mengapa tidak ada eksekusi dengan senjata api?
Seperti dia jelaskan di awal, tidak ada satu orang pun yang dieksekusi di Bukit Tengkorak ditembak dengan senjata api. Semuanya digorok lehernya dengan parang.
"Selain hemat peluru, supaya sepi. Kalau menggunakan senjata api, kan ada bunyi," ungkap Udin.
Di sinilah, Udin teringat bahwa operasi pembantaian itu dilakukan secara "rahasia". Saya kemudian mencatat apa yang dia utarakan saat wawancara.
Pertama, para algojo dan yang menutup lubang pembantaian itu berasal dari kampung tidak jauh dari `Bukit PKI`. Namun, kedua, penggali lubangnya berasal dari daerah lain.
Ketiga, Udin tidak pernah tahu daftar nama orang-orang yang akan dieksekusi di Cot Betung. Daftar nama itu dibawa dari penjara di Kota Sigli. "Saya juga tidak kenal korbannya."
"Ada polisi bersenjata yang turun mendekati truk yang membawa tahanan. Jadi bukan kami [hansip] yang turun," akunya.
Namun menurutnya kadang-kadang daftar nama itu `dibocorkan` sehingga dia akhirnya mengetahuinya — secara sekilas.
`Ada lokasi pembantaian bagi korban fitnah`
Kepada sumber BBC Indonesia, Udin mengaku menyesal terlibat dalam proses pembantaian di perbukitan Seulawah, utamanya ketika belakangan mengetahui bahwa orang-orang yang dibantai itu tidak semuanya anggota PKI.
Saya menanyakan ulang hal itu dan Udin tidak membantah ada orang-orang yang menjadi "korban fitnah" dan ikut dibantai di perbukitan Seulawah.
Udin lantas teringat ada satu lokasi pembantaian di kawasan perbukitan itu yang disebutnya "tempat bagi orang-orang yang tidak jelas, bukan orang terlibat, hanya sentimen pribadi". Di sini dia tidak merinci lebih lanjut.
Ketika saya bertanya apakah dia tidak menyesali atas apa yang dilakukannya saat itu, Udin tak menjawab secara eksplisit.
Dia hanya mengingatkan isi tulisan pada secarik kertas yang diberikan kepada saya sebelum wawancara, yaitu Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan ajaran komunisme/marxisme — Udin barangkali ingin menjelaskan bahwa keterlibatannya dalam peristiwa pembantaian itu memiliki alasan hukum kuat sebagai pembenaran.
Baca juga:
Dia kemungkinan tidak tahu bahwa aturan hukum itu baru keluar setelah darah berceceran di tanah Aceh — juga di berbagai wilayah lainnya di Indonesia.
Kelak, kejahatan kemanusiaan pasca 1 Oktober 1965 di berbagai wilayah di Indonesia ini dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM.
Dan setelah Reformasi 1998, pemerintah Indonesia berjanji untuk menyelesaikannya di luar kerangka pengadilan, walaupun bentuk kongkritnya tidak pernah terealisasi hingga kini.
Di Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sudah bekerja untuk mengungkap dugaan pelanggaran HAM di wilayah itu, namun masih fokus pada periode konflik GAM-Indonesia (1976-2005).
Kembali ke sosok pria yang mengaku "ahli bercakap" ini. Jadi apakah Anda menyesali keterlibatan Anda saat itu?
"Itu urusan pemerintah," katanya pendek. Dia mengaku tak tahu-menahu latar belakang di balik peristiwa 56 tahun silam.
Baca juga:
`Saya orang kecil, saya tidak tahu apa-apa`
Dalam bahasa sederhana, dia berusaha menjelaskan latar kejadian kekerasan 1965, yaitu "saling recok" di antara sesama warga Indonesia sendiri.
"Dan saya orang Indonesia juga, walau awal kejadiannya di Jawa," katanya. Udin lebih leluasa mengutarakan kisahnya dalam bahasa Aceh ketimbang bahasa Indonesia.
Walaupun demikian, usai tragedi itu, Udin mengaku rajin menemui seseorang yang disebutnya sebagai ulama. Tapi di sini dia tidak merincinya.
Menurut sumber BBC Indonesia, ulama itu menyarankan agar dirinya mengungkapkan segala sesuatu yang diketahuinya pada malam-malam jahanam di perbukitan Seulawah, 56 tahun silam, dalam wawancara kepada BBC Indonesia.
"Supaya tidak menjadi beban," ungkap sumber itu.
Di akhir wawancara, saya lantas bertanya kepada Udin apakah dirinya masih menyimpan perasaan sedih ketika belakangan mengetahui bahwa sebagian orang-orang yang dibantai itu hanyalah korban fitnah, dia tak kuasa untuk menampiknya.
"Oh ada [perasaan sedih]. Panas perasaan... begini keadaan negara... Tapi saya tidak tahu apa-apa. Saya orang kecil."
Nada suara Udin kali ini terdengar lirih — dan tanpa gelak tawa.
`Warga marah terhadap PKI, tapi kenapa orang-orang tak bersalah juga dibantai` - kesaksian dua orang warga Kota Sigli
Puluhan tahun kemudian, setelah orang-orang yang dituduh komunis — dengan kepala dipenggal — ditanam di perbukitan angker itu, suasananya terlihat lengang siang itu.
Tetapi ingatan kolektif sebagian warga Kota Sigli, Kabupaten Pidi Jaya, Aceh, akan lokasi pembantaian di `Bukit Tengkorak` itu, tak juga sirna. Kisah kebiadaban itu masih menghantui.
Seorang warga — tidak mau disebut namanya — yang tinggal tidak jauh dari kawasan `Bukit PKI`, mengaku pernah mendengar informasi tentang penemuan batok kepala manusia di sana.
"Kadang-kadang ada yang menemukan tengkorak [manusia]," ungkapnya kepada BBC News Indonesia. Dia kini mendirikan warung kopi tak jauh dari lokasi penemuan tengkorak manusia.
Seorang warga lainnya, Mustofa, mengaku pernah mendengar informasi bahwa di salah-satu sudut di kebun miliknya, dijadikan lokasi pembantaian.
"Dibilang sama orang, dengar kayak-kayak gitu [lokasi pembantaian]. Tapi lahan [di mana persisnya orang-orang itu disembelih], [saya] enggak tahu juga," ujarnya.
Kami kemudian diizinkan memasuki salah-satu sudut kebunnya, berupa tanah datar yang luas. Udin, yang melihat dari kejauhan, menyebut tanah milik Mustofa dulu adalah berupa hutan lebat.
Tanah milik Mustofa berada di kawasan Simpang Betung. Tapi tindak kekerasan nan biadab itu tak hanya memuat simbolisme geografis di perbukitan sepi itu.
Nama-nama tempat lain yang mengingatkan trauma kekerasan 1965 juga menyebar di pusat Kota Sigli, yang memakan waktu sekitar 20 menit dengan kendaraan roda empat dari kawasan lubang pembantaian.
Dari pusat Kota Sigli itulah, di malam-malam gelap usai 1 Oktober 1965, ratusan orang-orang yang dicap komunis ditangkap dan sebagian digorok lehernya di Simpang Betung.
Selama dua hari, saya dan jurnalis video Anindita Pradana mendatangi sejumlah lokasi di sudut-sudut kota yang tidak bisa dilepaskan dari tragedi kekerasan 1965.
Di antaranya, kami mendatangi bekas kantor PKI (kini berubah bentuk menjadi masjid) di Kampung Kuala Pidie, dan bangunan penjara (dulu tempat orang-orang komunis ditahan sebelum dieksekusi) yang masih berdiri kokoh.
Kami juga mendatangi eks gedung bioskop Beringin — lokasi pidato pemimpin PKI Aceh, Thaib Adamy, yang membuatnya dipenjara — yang kini berubah menjadi pusat pertokoan.
Tidak jauh dari sana, kami juga menyaksikan deretan pertokoan yang dulu banyak dihuni warga peranakan Tionghoa. Sebagian dari mereka `diusir` di tahun-tahun gelap itu karena dikaitkan dengan G30S 1965.
Dalam liputan selama dua hari di kota itu, kami secara khusus mendatangi Kampung Blang Paseh. Di sana, kami menemui orang-orang yang berada dalam pusaran kekerasan politik 1965.
Di kampung yang tidak begitu jauh dari pesisir pantai ini, tujuh orang warganya dibantai di Cot Betung. Mereka adalah pengurus PKI di Kota Sigli.
Di sana, saya bertemu Teungku Jamil alias Jamil Rasyid, yang kini berusia 80 tahun. Dia berada di barisan anti komunis ketika pembantaian mulai terjadi pada Oktober 1965.
Pada siang yang terik itu, Jamil sudah menunggu kami di teras rumahnya. Dia mengenakan sarung dan kaos oblong, sebelum berganti kemeja batik saat wawancara.
Ketika huru-hara politik pecah, Jamil menjadi pemimpin organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) di Kampung Blang Pase.
Bersama TNI, polisi dan barisan anti PKI lainnya, dia ikut menuntut agar PKI dibubarkan.
Aksi turun ke jalan itu terkait peristiwa pembunuhan sejumlah perwira TNI Angkatan Darat dan upaya kudeta yang gagal. Saat itu, inilah narasi paling dominan yang mengarahkan telunjuknya ke PKI.
"Waktu itu masyarakat marah dengan yang dilakukan PKI," ujar Jamil. "Apalagi mereka anti Tuhan."
Dalam atmosfir saling mencurigai ("musuh atau kawan," ujar Jamil), dia turut memobilisasi massa PII di kampungnya setelah mendengar "pidato Pak Dandim dan Bupati Sigli" untuk "mengganyang PKI".
Baca juga:
Dia tidak memungkiri saat itu telah beredar luas informasi bahwa anggota PKI itu "anti Tuhan, mengotori masjid, menginjak al-Quran, dan membunuh kiai seperti tahun 1948."
Jamil masih ingat, massa anti komunis saat itu mendatangi kantor PKI dan merusaknya. Mereka juga melempari dengan batu toko-toko milik warga peranakan Tionghoa.
`Beredar daftar nama-nama yang akan dibantai di Simpang Betung`
Di Kota Sigli, kami juga berjumpa Dhian Anna Asmara, wartawan senior, yang berusia 13 tahun ketika kota itu dihantui situasi genting. Kini rambutnya memutih ketika usianya memasuki 70 tahun.
"Saya ikut-ikutan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), dan melempari kedai-kedai milik warga peranakan China," akunya.
Kepada Jamil dan Dhian, saya kemudian menanyakan sejauh mana pengetahuan mereka tentang pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh PKI di kota itu.
Dhian mengaku tidak mengetahui langsung pembantaian itu, tapi mendengarnya dari orang lain. Dhian sering mendapat `bocoran` informasi karena salah-seorang temannya anak anggota polisi.
"Ada yang ditangkap polisi dan PM (polisi militer), dinaikkan mobil dan dibawa ke penjara" ujar Dhian. Kebetulan rumah orang tuanya saat itu bersebelahan dengan asrama polisi.
Dia juga ingat saat itu beredar daftar nama-nama yang harus ditangkap.
Beredar pula informasi bahwa sebagian yang ditahan kemudian digelandang ke Simpang Betung di kaki perbukitan Seulawah untuk "digorok lehernya".
Semenjak saat itulah, kawasan tempat lubang-lubang pembantaian itu mendapat predikat "angker", katanya.
Jamil pun mengetahui pembantaian itu dari orang lain. Dia mendengar orang-orang itu ditahan di kantor jaksa atau polisi. "Habis itu, ada yang dipulangkan dan ada yang tidak pulang."
Puluhan tahun kemudian, Jamil tidak bisa melupakan ketika orang-orang yang disebutnya "tidak bersalah" ikut dibantai. "Ini yang saya sesalkan," katanya.
"Kalau kader [PKI], ya terserahlah, itu kan risiko dia. Tapi kalau orang yang tak bersalah, lalu dibantai, itu yang disesalkan," tambahnya. Mereka hanyalah korban fitnah, tandas Jamil.
Kisah dua aktivis buruh kereta api di Sigli yang dipecat gara-gara G30S
Tidak sedikit aktivis buruh kereta api di Aceh yang mati dibunuh atau dipecat dari pekerjaannya akibat huru-hara politik 1965.
Sebelum prahara G30S, sebagianpimpinan dan pegawai menengah atau buruh kereta api di wilayah itu bergabung ke organisasi buruh yang berafiliasi ke PKI.
Ketika pilihan politik itu dijatuhkan, mereka barangkali tidak terpikir bahwa hal itu kelak menghancurkan hidupnya — dan dampaknya dirasakan hingga anak dan cucunya sekarang.
Sebutlah, bekas pegawai kereta api dan nantinya menjadi politikus jempolan PKI di Aceh, Thaib Adamy, misalnya, ajalnya berakhir di hadapan algojo yang menembaknya.
Tidak semua berujung kepada kematian, memang. Ada beberapa kasus mereka dipecat dari pekerjaannya akibat dikaitkan dengan PKI.
Di Kota Sigli, Aceh Timur, kami mewawancarai dua orang bekas buruh kereta api yang hidupnya sempat terpuruk akibat dipecat dari pekerjaannya.
Tindakan itu diambil atasannya, karena mereka dianggap terkait peristiwa G30S 1965, walaupun keduanya berkukuh tuduhan itu sama-sekali tidak benar. Berikut kisahnya:
`Saya tidak bersalah, saya akan terus tuntut keadilan` —Usman Ben, usia 94 tahun, bekas teknisi bengkel kereta api
Sepuluh tahun bekerja sebagai teknisi di bengkel kereta api di Stasiun Sigli, Usman Ben, kelahiran 1928, tiba-tiba kehilangan pekerjaan akibat huru hara politik di akhir September 1965.
"Saya dianggap terlibat G30S 1965," kata Usman saat ditemui di kediamannya di Kampung Blang Paseh, Sigli, Oktober lalu. Dia lalu diusir dari rumah dinas dan hak pensiunnya dicabut.
Pemecatan itu membuat kehidupan keluarga Usman sempat berantakan. Dia dan istrinya dipaksa pontang-panting mencari nafkah demi sesuap nasi.
"Apalagi anak-anak saya masih kecil-kecil saat itu," ujarnya, lirih.
Puluhan tahun kemudian, Usman masih terus bertanya-tanya apa alasan dia dipecat dari pekerjaannya itu.
"Hidup saya di `kanan` selalu, tidak ada kata-kata `kiri`," tegasnya, menggambarkan pilihan politiknya di tahun-tahun gelap itu. Dia mengaku tak tertarik propaganda PKI.
Pada tahun-tahun itu, sebagai pengagum Presiden Sukarno, Usman muda berlabuh ke organisasi Pemuda Marhaen dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Ketika politik menjadi panglima, bergabung dalam organisasi politik di tahun-tahun itu —apapun ideologi atau garis politiknya —bukanlah hal yang `diharamkan`.
"Saya pilih PNI, karena saya pikir tidak akan menyimpang. Orang-orang ajak saya ke `kiri`, saya tidak mau," jelas ayah enam anak ini.
Itulah sebabnya, dia mengaku tidak bersalah dan terus menuntut agar hak-haknya dipulihkan — nama baik dan hak mendapat pensiun.
"Kalau saya salah, saya tidak akan berani berjuang," tegasnya.
Baca juga:
Semenjak tahun 1980an, Usman mengadukan nasibnya ke otoritas jawatan kereta api di Aceh hingga kantor pusatnya di Pulau Jawa.
Dia juga berusaha mencari keadilan dengan menemui Gubernur Aceh, Komnas HAM, hingga kantor Wakil Presiden di Jakarta. "Saya bolak-balik, semua sudah saya datangi."
Di hadapan kami, Usman kemudian menunjukkan segepok salinan dokumen berisi berbagai surat pengaduan hingga rekomendasi dari otoritas terkait.
Ada pula surat instansi tertentu yang menyatakan bahwa Usman tak terlibat G30S 1965.
Tapi upayanya itu belum membuahkan hasil — sejauh ini. "Saya marah di hati, tapi sama Tuhan saya serahkan..." Usman akhirnya tak kuasa menahan tangis.
Di berbagai sudut dinding ruangan tamu, Usman memasang foto tentang aktivitasnya di organisasi Veteran.
"Itu bagian dari upaya saya untuk mendapatkan keadilan," ungkapnya. Usman lantas bercerita segudang aktivitasnya saat bersama kaum Republik mempertahankan kemerdekaan.
Tak melulu angkat senjata. Usman juga mendedikasikan hidupnya untuk memajukan Aceh melalui sepak bola. Dia pernah memperkuat tim Aceh pada PON 1957 di Makassar, Sulawesi Selatan.
Kepada kami, dia kemudian menunjukkan foto-foto lama saat dia aktif bermain sepak bola. "Saya dulu berposisi di kiri luar. Saya pemain kidal," ujarnya dengan mata berbinar.
Dia lalu menyebut beberapa pemain idolanya di masa itu, seperti Ramang, Ramli atau Witarsa.
"Ramang kulitnya hitam," Usman terlihat bersemangat ketika berbicara ihwal sepak bola. "Saya pernah memeluk Ramli [saat berlaga] di Medan."
Pada akhir wawancara, sambil berlinang air mata, Usman bercerita bahwa belakangan ini dia bermimpi, upayanya menuntut keadilan itu membuahkan hasil.
"Dan hari ini rupanya bapak yang datang," katanya berulang-ulang seraya matanya menatap saya.
Dia berharap wawancara ini didengar para pemangku di Jakarta sehingga ada jalan agar upayanya mendapatkan keadilan itu didengar.
Saya kemudian berujar perlahan, "Semoga ya, Pak Usman".
`Pulihkan hak-hak saya, demi anak cucu` — Syamsuddin, usia 86 tahun, eks asisten masinis
Trauma puluhan tahun akibat dicap antek PKI, membuat Syamsuddin menghindari kata `PKI` dalam percakapan sehari-hari — demikian pula saat wawancara.
Lebih dari 55 tahun silam, kehidupan pria berusia 86 tahun ini terpuruk setelah gajinya disunat, diusir dari rumah dinas, dan akhirnya dipecat dari pekerjaannya karena dikaitkan dengan G30S.
Semenjak awal 1960an, dia bekerja sebagai asisten masinis. Pekerjaannya, antara lain, memasukkan "kayu ke dalam mesin" di dalam ruangan lokomotif. Ayahnya juga bekerja di jawatan kereta api.
"Waktu ada partai itu..." Syamsuddin, dalam kalimat pertama jawabannya, sama-sekali tak menyebut nama PKI. Dia hanya berulangkali menyebut "partai itu", SBKA" dan "PBKA".
Di hadapan kami, dia mengaku bergabung ke PBKA (Persatuan Buruh Kereta Api) pada 1960an, dan bukan SBKA (Serikat Buruh Kereta Api). Yang disebut terakhir ini berafiliasi ke PKI.
"Kartu [anggota] saya PBKA," tegas Syamsuddin, yang seringkali menjawab dengan bahasa Aceh. Istri dan anaknya kemudian menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia.
Namun di tengah pergolakan politik 1965, seseorang yang disebutnya sebagai pimpinannya menuduhnya aktif di SBKA. Hal itu terjadi setelah mereka berselisih secara pribadi.
Tudingan kejam yang membuat hidup Syamsuddin kelak hancur berantakan — kehilangan pekerjaan dan hak-haknya dan masa depannya menjadi gelap.
"Saya dulu pernah ribut dengan ketua PBKA. Entah kemudian, dia memasukkan nama saya ke SBKA. Saya `kena` akhirnya," Syamsuddin mencoba mengingat peristiwa pahit itu dengan getir.
Istri Syamsuddin, Kamariah, memiliki ingatan yang lebih tajam. Suatu hari, sang pimpinan meminta Syamsuddin agar membiarkan gerbong diisi beras untuk diangkut keluar kota.
Namun permintaan itu ditolak Syamsuddin. Dia menganggap gerbong itu untuk mengangkut kayu, bukan beras. "Lagipula beras itu di luar kepentingan dinas," ungkap Kamariah.
"Akibatnya ada keributan. Saya maki-maki [atasannya]," Syamsuddin berkisah. Ujungnya, dia kemudian dilaporkan ke atasannya yang lebih tinggi dan... masa depannya `habis`.
Akhirnya, "dia dituduh terlibat [G30S], dituding anggota SBKA..." Gajinya disunat sampai 1970an, sebelum akhirnya dipecat tanpa pensiun. Dia juga diusir dari rumah dinasnya.
Usai dipecat, Syamsuddin sempat mempertanyakannya ke pimpinan kereta api di Banda Aceh, namun dia keburu patah arang. Lagipula untuk ke ibu kota provinsi, butuh ongkos.
"Kami orang miskin, tidak punya apa-apa. Disuruh anak-anaknya [untuk protes], dia tidak mau lagi," istrinya bercerita. Matanya berkaca-kaca, suaranya gemetar.
Setelahnya, Syamsuddin bekerja serabutan demi asap dapurnya tetap mengepul, termasuk menjadi kuli bangunan. "Susahlah hidup kami."
Di ujung wawancara, Syamsuddin memiliki harapan yang tersisa, yaitu supaya hak-haknya untuk mendapat pensiun dan rumah dinas yang dicabut puluhan tahun silam, dipulihkan.
"Ini untuk cucu-cucu saya. Cucu-cucu saya sudah besar, yang sebagian belum kerja." Suara paraunya memenuhi ruangan tamu. Istri dan anaknya kemudian menggarisbawahinya.
Usai wawancara, Syamsuddin dengan langkah gontai kemudian menekuni kembali aktivitas kesehariannya, yaitu menjaga gubuk toko kelontongnya. Dia sendirian di sana.
`Jenazah ayah dan puluhan lainnya dikubur dalam satu lubang di Langsa` — Kesaksian anak-anak korban pembantaian 1965 di Idi, Aceh
Mariana berusia 16 tahun ketika ayahnya `dijemput` oleh sekelompok orang di rumahnya di Kota Idi, di pesisir timur Aceh.
Abdullah, ayah tirinya, saat itu adalah pimpinan jawatan kereta api di kota itu, dan pimpinan PKI di wilayah tersebut.
Peristiwa itu terjadi 56 tahun silam di pagi hari. Mariana melihat langsung kejadian horor itu dalam jarak kurang dari tiga meter.
"Saya angkat ember [berisi air] untuk mandi pak cik saya," ungkap perempuan kelahiran 1949 ini. Pak cik adalah panggilan untuk ayah tirinya.
Usai mandi, sang ayah hanya sempat mengenakan "celana kolor dan baju" ketika "kerumunan orang" masuk dan "mengambilnya".
"Musuh yang mengambil [ayah tiri saya]", ujar anak sulung dari lima bersaudara ini. Dia tidak merinci apa yang disebutnya sebagai musuh.
Semenjak saat itulah, dia tidak pernah bertemu lagi ayahnya. Pada 1965, ayahnya — panggilan akrabnya `AGT` — dan 20 orang yang dituduh komunis, disembelih.
Mayat mereka dikubur dalam satu lubang di suatu tempat di Kota Langsa — sekitar 75km dari Kota Idi. "Tapi kami tidak bisa melihat [kuburannya]," ujarnya.
"Cuma saya tidak sempat ambil jam dan cincinnya [ayahnya]," ungkapnya.
Akhir Oktober lalu, kami bertemu Mariana di rumah peninggalan orang tuanya yang terbuat dari kayu dan berbentuk panggung.
Keluarga Mariana masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Thaib Adamy — politikus PKI di Aceh yang dieksekusi militer setelah G30S 1965.
Bersama salah-seorang anak Thaib Adamy, Setiady, kami mewawancarai Mariana di ruang tamunya.
Di depan rumahnya, dulu ada rel kereta api jurusan Banda Aceh-Medan, tapi kini sudah tidak berbekas.
Semula Mariana mengira pertanyaan saya seputar `pengalamannya` saat Aceh dilanda konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia.
Namun dia sekonyong-konyong teringat kejadian horor 56 tahun silam, ketika saya untuk ketiga kalinya menanyakan "apa yang terjadi pada ayahnya di tahun 1965".
Dia lantas mengajak BBC News Indonesia ke ruangan belakang, ketika puluhan tahu silam dia menyediakan air untuk keperluan mandi sang ayah — sebelum dijemput dan `dihilangkan`.
Di akhir wawancara, Mariana kemudian berujar lirih: "Peristiwa itu sulit saya lupakan. Harus dilupakan, harus dilupakan. Kini sudah aman kan."
Tidak jauh dari `rumah panggung`, kami sebelumnya bertemu salah-seorang adik Mariana. Namanya Ratnawati, yang lima tahun lebih muda.
Usianya 12 tahun ketika tragedi itu menimpa ayahnya. Perempuan kelahiran 1953 ini akhirnya tahu di mana ayah dikuburkan. Tapi dia belum pernah ke sana sampai sekarang.
Di hadapan kami, Ratnawati terlihat lebih leluasa memperlihatkan perasaannya. Ia mengalami trauma semenjak peristiwa `penjemputan` ayah tirinya.
"Ya, Allah, ya Tuhanku, kalau tidur malam, aduuuh, mata terpejam, tapi hati tidak tidur. Orang tua hilang apakah itu enggak [tidak menimbulkan trauma] parah," ungkapnya.
Saat wawancara, Ratna dan Setiady — anak Thaib Adamy, tokoh PKI Aceh yang juga dibantai — beberapa kali tak kuasa menahan lelehan air matanya.
"Alhamdulillah kami selamat, walaupun orang tua kami tidak selamat. Kami masih dilindungi," ungkap Ratna. Mereka berharap tragedi itu tak terulang lagi.
`Alat perlawanan melawan kolonial Belanda` — Sejarah kehadiran PKI di sepanjang jalur kereta api di pesisir timur Aceh
Kisah keluarga pegawai kereta api di Aceh yang menjadi korban kekerasan 1965 karena dituduh komunis, tidak bisa dilepaskan dari sejarah di balik keberadaan jalur kereta api di wilayah itu.
Jalur kereta api yang menghubungkan Banda Aceh-Medan — antara lain melalui Kota Sigli dan Idi di pesisir timur Aceh — dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda di awal abad 20.
Semula, jalur kereta api ini dibangun untuk mengangkut tentara kolonial Belanda guna memadamkan pemberontakan rakyat Aceh.
Namun seiring perjalanan waktu, keberadaan infrastruktur jalur kereta api itu berkembang menjadi penghubung aliran barang dan manusia ke wilayah itu.
Ketika orang-orang luar Aceh datang dan menetap di berbagai kota pesisir timurnya, juga kelak di pedalaman, ide-ide dari luar pun mengalir dan menyebar
"Di sana, ada aliran ide-ide, pikiran-pikiran, termasuk komunisme. Dan PKI di Aceh itu dulu sangat berkembang di pantai timur," kata Humam Hamid, ahli sosiologi dari Banda Aceh, kepada BBC News Indonesia, Oktober 2021 lalu.
Baca juga:
`Jadi ide [komunisme] itu datang lewat fisik kereta api, melalui orang-orang yang datang, baik orang Aceh atau non-Aceh, " kata Humam Hamid.
Kehadiran ide komunis di Aceh kemudian bertemu dengan kemarahan anak-anak muda Aceh terhadap kolonial Belanda. "Ada alternatif lain di luar nilai agama," ujarnya.
"Ada penjelasan logis beyond religion tentang kenapa harus melawan kolonial. Dan itu ada pada PKI," jelas Humam.
Sejarawan Rusdi Sufi, dalam buku Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional - Bagian II Konflik Lokal (2012), juga mencatat komunisme masuk ke Aceh dibawa oleh para pendatang.
Baca juga:
Sejarah mencatat, ada beberapa nama tokoh komunis yang disebutkan menyebarkan ideologi komunis ke Aceh, seperti A Karim MS dan Nathar Zainuddin — keduanya dari Minangkabau.
Membawa ideologi komunis, para pendatang asal Sumatera Barat dan Jawa `menularkannya` kepada para buruh di kawasan perkebunan, pertambangan, hingga buruh kereta api.
Semula ide-ide komunis, menurut Ruth T McVey (Kemunculan Komunisme Indonesia, 2010), hanya "menarik orang Melayu setempat dan tidak menarik bagi orang Aceh sendiri."
Namun Rusdi Sufi mencatat, lambat laun gerakan ini menjalar pula di kalangan orang Aceh yang telah mendapat pengaruh budaya urban.
"Yaitu yang tidak puas dengan struktur sosial masyarakat feodalistik," jelas Rusdi.
Faktor lainnya, demikian analisa Rusdi, PKI ketika itu mampu mengadaptasikan dirinya menjadi organisasi yang akrab dengan Islam.
"Kedekatan dengan Islam ini membuktikan bahwa PKI yang berkembang di Aceh adalah PKI yang sudah ter-Islam-kan," paparnya dalam buku Peristiwa PKI di Aceh, Sejarah Kelam Konflik Ideologis di Serambi Mekkah (2008).
Di sini, Humam Hamid menganalisa, PKI akhirnya bisa berkembang di Aceh, kemungkinan karena mereka dan kelompok agama "bisa saling mendukung" dalam melawan kolonial.
Itulah sebabnya, pada 1931, sebuah laporan penguasa militer Hindia Belanda di Aceh menyebutkan, aktivitas PKI sudah demikian marak di Samalanga — kini nama kecamatan di Kabupaten Bireuen.
Di wilayah itu, menurut Rusdi Sufi, merupakan basis gerakan Sarikat Islam (SI). "Yang kemudian berkembang menjadi Sarikat Islam Merah yang merupakan embrio gerakan komunis," tulisnya.
Pada tahun-tahun itu, salah-seorang ulama dan aktivis SI di Samalanga adalah ayah Humam Hamid, Tengku Abdoel Hamid. Dia dicurigai Belanda sebagai anggota SI Merah.
"Ayah saya lari ke Malaysia dan ke Timur Tengah (Mekkah)," ungkap Humam. "Mungkin ayah saya sudah berpikiran revolusioner pada masa itu untuk melawan penjajahan."
Aktivitas PKI di Aceh, tentu saja, tidak dibiarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Lalu terjadilah pengawasan, penangkapan, pengusiran dan pengasingan terhadap mereka.
Gerakan komunis di Aceh yang berkembang pesat selama awal 1925, tulis Ruth T McVey (halaman 524, 2010), dihadapi dengan pemulangan secara paksa sejumlah pemimpinnya ke tempat asalnya di Minangkabau.
Kebijakan ini, menurut Rusdi Sufi, menyebabkan gerakan ini menjadi hilang dari Aceh hingga akhir masa kolonial.
"Gerakan komunis memulai kembali aktivitasnya di tanah Aceh adalah pada November 1945, sebulan setelah pembentukan Karesidenan Aceh, dengan terbentuknya cabang PKI..." tulis Rusdi Sufi.
Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Pembantaian massal 1965 di Aceh — Kisah Algojo, korban terlupakan dan upaya penyembuhan di situs BBC News Indonesia.
Anda juga bisa menyimak kisah ini di Siaran Radio Dunia Pagi Ini BBC Indonesia dan siniar kami di Spotify.
Produksi visual oleh Anindita Pradana dan Dwiki Marta. Grafis oleh tim jurnalis visual East Asia BBC News.
Wartawan Sidarpidie.co di Sigli, Aceh, Firdaus Yusuf berkontribusi sebelum dan selama liputan kami di Sigli dan sekitarnya.