Sejarah dan Budaya Boneka Arwah, Bagaimana Dilihat dari Sisi Agama
- bbc
Di media sosial, boneka arwah atau `spirit doll` menjadi perbincangan hangat beberapa hari terakhir. Ini bukan hal baru, kata antropolog, mengingat sejak dahulu boneka telah berfungsi sebagai banyak hal, salah satunya sebagai media `pelayanan terhadap arwah`.
Boneka-boneka itu sekilas tampak seperti bayi sungguhan. Pemiliknya pun memperlakukan mereka layaknya anak manusia.
Selain diberi nama dan pakaian serupa manusia, boneka-boneka ini juga dikatakan `diisi dengan arwah` - itu sebab mereka dijuluki boneka arwah atau spirit doll.
Dalam sebuah video yang viral di TikTok, misalnya, seorang perempuan menyuguhi bonekanya minuman bersoda. Dalam video viral lainnya, seorang perempuan mengomeli bonekanya karena "bermain di tanah" dan "membuat kakinya kotor".
Kepopuleran boneka arwah semakin meroket saat sejumlah selebritis turut mengunggah anabon - singkatan dari anak boneka - milik mereka di media sosial, dan mengaku merawat boneka-boneka ini memberikan dampak positif untuk kehidupan mereka.
"Di berbagai kebudayaan, orang membuat boneka untuk macam-macam keperluan. Tapi pada umumnya sebagai hiburan," kata Dr Selly Riawanti, antropolog dari Universitas Padjajaran, Bandung, kepada BBC News Indonesia.
Ada pula boneka yang digunakan untuk keperluan nujum, seperti voodoo. Tapi boneka arwah yang sedang populer saat ini, kata Selly, bisa saja memberikan fungsi psikologis untuk para pemiliknya.
"Bahwa dia bisa menjadi teman curhat, atau bahan untuk ajang pamer," lanjut dia.
Spirit doll, tambah dia, mungkin juga berlaku sebagai tumpuan harapan. "Orang yang berharap kasih sayang, atau sering dikecewakan oleh pasangan dan sebagainya, mungkin mereka jadi terhibur oleh boneka [arwah]."
Di Twitter, istilah `spirit doll` sempat masuk ke jajaran trending topic pada Selasa (04/01) dan masih hangat diperbincangkan hingga Kamis (06/01).
https://twitter.com/zwolftenaugust/status/1478346851833159680
Perbincangan seputarnya diwarnai dengan pro dan kontra, meski tak sedikit pula yang mengomentari dengan meme jenaka.
Diskusi publik juga kemudian merambah ke ranah agama. Terlebih ketika tokoh-tokoh agama turut berkomentar tentang fenomena ini.
https://www.instagram.com/p/CYU3DtNh6KV/
Dalam rilis terbaru yang diterbitkan di situsnya, Kementerian Agama juga menyatakan tren ini "bertentangan dengan nilai tauhid dan menurunkan nilai kemanusiaan`.
"Mempercayai adanya unsur kekuatan gaib pada benda bikinan manusia berarti menurunkan nilai kemuliaan manusia, karena bertentangan dengan nilai tauhid sebagai asas keimanan kepada Allah YME," kata Fuad Nasar, Sekretaris Ditjen Bimas Islam Kemenag.
Hobi mengoleksi boneka sebagai karya seni dan mainan boleh-boleh saja, lanjut pernyataan itu, tapi tidak boleh lebih dari itu.
Tabrakan budaya dengan agama
Di Indonesia, tradisi boneka yang konon diisi dengan arwah dan paling terkenal datang dari Toraja, Sulawesi Selatan.
Tau-tau adalah boneka kayu yang dibuat semirip mungkin dengan orang Toraja yang meninggal dan diletakkan di atas makam mereka.
"Dibayangkan bahwa spiritnya akan tinggal di situ," ujar Iwan Meulia Pirous, dosen jurusan Antropologi di Universitas Indonesia.
Dia menyebutkan bahwa ritual ini termasuk cara untuk memperlakukan arwah orang yang sudah meninggal dan memberikan pelayanan kepada mereka.
Baca juga:
- Hidup berdampingan dengan kematian di Toraja
- Hidup bersama mumi-mumi tertua di dunia
- Suku di Vanuatu yang berduka atas kematian `dewa` mereka, Pangeran Philip
Aktivitas sosial ini, sebut Iwan, jika dipandang dari sisi antropologi, sangat biasa. "Tapi menjadi sensasional karena masyarakat yang semakin modern bersamaan dengan masyarakat yang semakin religius, sehingga terlihat ada tabrakan."
Ketika semakin banyak orang yang menggunakan agama-agama besar - seperti Islam dan Kristen - sebagai panduan hidup, kata dia, tabrakan ini menyebabkan erosi pada kebudayaan nenek moyang.
Ini telah terlihat di Toraja, terang Iwan.
"Pemaknaan boneka-boneka dalam kepercayaan setempat seperti di Toraja kemudian dianggap bertentangan dengan agama, sehingga perlahan-lahan kebudayaan mereka mengalami perubahan."
Namun Iwan menegaskan, dari sisi antropologi, ini bukan soal benar atau salah.
"Ini konteksnya, mereka yang memberikan apresiasi kepada boneka selalu mendapatkan tantangan dari ajaran-ajaran agama besar. Dan dalam hal ini, banyak kebudayaan-kebudayaan menjadi punah karenanya," tukas Iwan.
Wayang, sebut Selly, adalah boneka asal Indonesia lain yang dalam tradisinya juga dimainkan dalam ritual pemujaan roh nenek moyang.
Jika wayang kulit tak terlalu menyerupai manusia karena dibuat sebagai profil, imbuhnya, maka wayang golek relatif lebih mirip dengan orang meski dengan berbagai batasan - ini pun tak lepas dari pengaruh agama.
"Pembuat wayang itu sangat berhati-hati sehingga tidak boleh terlalu mirip dengan manusia," kata dia.
Dalam sejarahnya, wayang dipakai sebagai media penyebaran Islam di nusantara oleh Wali Songo. Namun oleh Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam, wayang dilarang dipertunjukkan dengan gambar mirip manusia.
Luk thep dan kuman thong: Budaya `impor` dari Thailand
Di Thailand, kegemaran akan boneka arwah merebak pada sekitar 2015-2016. Luk thep, begitu mereka disebut, dipercaya membawa keberuntungan sehingga diperlakukan istimewa oleh para pemiliknya.
Namun di Thailand, `anak malaikat` - terjemahan harfiah dari luk thep - juga dibawa pemiliknya untuk diberkati oleh biksu-biksu Buddha.
Ini bukan hal luar biasa di Thailand, karena upacara "plook sek" atau pemberkatan pada benda-benda mati menjadi jimat keberuntungan, juga sudah jamak dilakukan para biksu untuk mobil atau barang-barang lain.
"Setiap orang punya kepercayaan mereka sendiri-sendiri," kata Biksu Phra Prasit Warayan kepada Koresponden Asia Tenggara BBC Jonathan Head.
"Tapi kepercayaan mereka pada kekuatan luk thep sangat besar. Saat kehidupan mereka membaik, mereka memuja luk thep, tapi ketika keadaan memburuk, mereka meninggalkan boneka-boneka itu di sini [kuil], karena mereka tahu kami menerima mereka."
Di Kuil Sawang Arom ketika itu, ada sebuah ruangan yang penuh dengan boneka luk thep yang ditinggalkan oleh para pemiliknya yang kecewa. Oleh para biksu, mereka disajikan minuman soda berwarna merah, yang konon sangat disukai oleh para boneka.
Kepercayaan kepada `khasiat` luk thep di Thailand berasal dari tradisi yang sudah lebih dulu sangat kuat selama ratusan tahun, boneka kuman thong.
Di masa lalu, para pembuat kuman thong konon akan mencari jasad janin mati betulan, membakarnya sampai kering, lalu memoles dan menyepuhnya. Kuman dipercaya memiliki kekuatan magis sangat kuat, namun mereka harus terus diberi makan dan diberi pakaian indah.
Menurut Professor Attachak Sattayanurak dari Universitas Chiang Mai, pasca Perang Dunia Kedua, permintaan akan objek yang dianggap bisa memberi keberuntungan meningkat pesat di Thailand. Saat itulah tradisi kuman thong paling populer.
Namun karena banyaknya permintaan, bahan utama kuman yakni janin asli lama-kelamaan digantikan dengan boneka plastik.
https://www.instagram.com/p/CYYEUa6vTqc/
Ketika luk thep populer di 2016, boneka-boneka ini pun sama sekali tak tampak mengerikan. Mereka punya mata besar dan rambut halus berwarna cokelat atau pirang - sama seperti boneka arwah yang tengah populer di Indonesia sekarang.
Sama seperti tren jimat-jimat lainnya, di Thailand, popularitas luk thep kini telah memudar.
Masyarakat Barat, di sisi lain, memanfaatkan boneka-boneka hiper-realistis antara lain sebagai alat terapi.
Di tahun 1990-an, para seniman boneka menginginkan boneka yang terlihat seperti bayi betulan.
Maka mereka pun memodifikasi boneka vinyl yang sudah ada - menambahkannya dengan cat kebiruan di bagian dalam boneka, mengaplikasikan berlapis-lapis cat warna kulit dan menggambar pembuluh darah, mengganti mata dengan bola kaca, dan memasangi rambut satu per satu dengan cara micro-rooting.
Beberapa bahkan dipasangi alat elektronik yang bisa membuat boneka bergerak naik-turun sehingga tampak seperti bernapas, memiliki detak jantung, atau dipasangi pemanas sehingga terasa hangat saat disentuh.
Reborn doll, begitu mereka disebut karena berasal dari boneka biasa yang kemudian `terlahir kembali`, biasanya digunakan oleh perempuan sebagai alat terapi setelah kehilangan bayi.
https://www.youtube.com/watch?v=iOeF4ghpxqM&t=1s
Dikotomi masyarakat modern dan tradisional
Kembali kepada boneka arwah dan kepercayaan pemiliknya akan kekuatan spiritual yang dimiliki spirit doll, antropolog dari Universitas Indonesia, Iwan Meulia Pirous, menyebutkan sebuah teori dalam antropologi keagamaan.
"Praktik ritual keagamaan umumnya menciptakan suatu mood [baik], yang merupakan efek sosial," sebut Iwan, menambahkan bahwa hingga kini belum ada studi yang mempelajari khusus tentang boneka arwah.
Bisa jadi, Iwan berhipotesa, efek serupa yang dialami oleh pemilik spirit doll.
"Mungkin pemilik [spirit doll] memiliki mood baik karena dia merasa punya keyakinan diri telah melakukan sesuatu yang baik, seperti membuat persembahan kepada bonekanya."
Koneksi manusia dengan spirit, lanjut dia, juga wajar saja ditemui di tipe masyarakat manapun - tak terbatas pada dikotomi masyarakat tradisional menyukai `klenik` dan masyarakat modern lebih `rasional`.
"Itu terlalu hitam-putih. Modern dan tradisional itu hanya konsep akademik. Pada kenyataannya, ketika kita menjadi modern, hal-hal tradisional tetap ada di sekitar kita," lanjut dia.
Ia berteori, kepopuleran spirit doll juga tak jauh dari keadaan tak menentu atau uncertain situation yang ada di masa sekarang. Perkembangan teknologi dan peradaban yang semakin tinggi, jelasnya, tak sejalan dengan perubahan nasib seseorang.
"Mobilisasi sosial dari miskin menjadi kaya lebih sulit. Jumlah orang kaya semakin sedikit, tapi kekayaan mereka jauh lebih banyak," ujarnya, menciptakan kesenjangan yang semakin tajam.
Saat gaya hidup segelintir orang kaya ini diviralkan di media sosial, sebut Iwan, ini dapat menjadi acuan bagi yang melihatnya sebagai role model hidup yang sempurna.
Baca juga:
"Tidak menutup kemungkinan ini menjadi peluang bisnis. Orang-orang yang paling susah hidupnya sebetulnya yang paling mudah untuk dibuat percaya dan mengkonsumsi harapan atau keinginan yang tidak pernah tercapai," ungkap Iwan.
Ini adalah sebuah tren, dan layaknya tren-tren lain, para ahli juga meyakini ini akan berlalu.
"Jelangkung, misalnya, tidak semua orang mempercayainya meskipun ada yang percaya. Batu akik, di satu masa sangat populer, tapi tak sampai lima tahun sudah mereda. Ini pun, nanti juga selesai," kata Selly.