Konflik Bersenjata Papua: Kisah Pilu Bocah Tewas Tanpa Tahu Alasannya
- bbc
Konflik bersenjata di Papua antara aparat Indonesia dan milisi pro-kemerdekaan masih terus terjadi. Masyarakat di sejumlah kabupaten, termasuk Pegunungan Bintang, Intan Jaya, dan Maybrat, meninggalkan tempat tinggal mereka untuk mencari tempat aman.
Jumlah masyarakat yang mengungsi dari konflik ini diyakini berjumlah ratusan hingga ribuan orang. Namun, data soal ini sulit diverifikasi karena akses menuju lokasi konflik yang sangat terbatas.
Pimpinan Komnas HAM yang bertugas atas dasar undang-undang, misalnya, dua kali gagal masuk ke Distrik Kiwirok, Pegunungan Bintang, karena tak mendapat rekomendasi otoritas setempat soal keamanan.
Padahal, konflik antara TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di Kiwirok melibatkan persenjataan perang, salah satunya adalah mortir buatan perusahaan senjata asal Serbia.
Di distrik itu pula, huru-hara pembakaran puluhan fasilitas publik terjadi pada September lalu. Sebanyak sembilan tenaga kesehatan pun diserang sekelompok orang hingga satu di antara mereka kehilangan nyawa.
Sementara di Intan Jaya, seorang anak di bawah umur, seorang perempuan, dan laki-laki paruh baya terkena peluru. Beberapa di antara mereka tewas seketika. Aparat mengklaim peluru secara tidak sengaja menyasar ke tubuh mereka.
BBC News Indonesia mengumpulkan berbagai kesaksian, baik verbal maupun yang berbentuk audio visual dari berbagai pihak di lokasi-lokasi ini. Salah satu di antaranya mengungkap adanya pihak ketiga yang diduga berperan dalam konflik ini.
Berikut adalah sepenggal peristiwa yang terjadi di wilayah paling bergolak di Indonesia ini, sejak September 2021 lalu.
Kisah bocah yang jadi korban tembak di Intan Jaya
Aksi saling serang antara aparat dan milisi yang mendambakan kemerdekaan Papua terjadi di Kampung Jogotapa, Sugapa, Intan Jaya, sejak sore. Tanggal menunjukkan 26 September 2021.
Dari segala arah, milisi TPNPB menembaki tentara dan polisi yang berada di Koramil 1705-08/Sugapa. Dengan persenjataan mereka, aparat membalas serangan itu.
Bertinus Sondegau sudah terbiasa mendengar desingan peluru dari rumahnya. Namun dia merasa ada yang berbeda dengan kontak tembak hari itu.
Bertinus dan keluarga kecilnya terjebak di antara dua pihak yang saling bertikai. Rumah mereka hanya berjarak sekitar 30 meter dari Koramil. Di dalam rumahnya, Bertinus mendengar rentetan tembakan peluru dan suara dentuman.
"Saya dengar tembakan TNI dari arah Koramil. Mereka kasih keluar semua peralatan, tembak ke kiri dan kanan, sampai tanah goyang," kata Bertinus.
Sekitar pukul sembilan malam, salah satu peluru menembus dinding rumahnya.
Peluru itu masuk dan merobek perut putranya yang belum genap berusia dua tahun, Melpianus. Akibatnya, organ di dalam perut Melpianus tumpah keluar. Tangis pecah di rumah itu. Melpianus berhenti bernafas tak lama setelahnya.
Malam itu, anak berusia enam tahun di permukiman yang sama, Yoakim Mazau, juga tertembak. Dia mampu bertahan untuk tetap hidup.
Keesokan paginya, Bertinus berjalan kaki dan membopong jenazah anaknya ke halaman Gereja Santo Petrus Agapa. Balita itu ditutupi selimut merah. Wajah Bertinus pilu. Ia mencoba menahan tangis.
Penduduk sekitar turut mengantar Melpianus menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Pastor Yeskiel Belau memimpin ibadah pemakaman sederhana untuknya.
"Terimalah dia dan anugerahkanlah kepadanya keselamatan yang kekal," ucap Pastor Yeskiel merapal doa di hadapan makam Melpianus.
Di samping peti jenazah mungil, Bertinus terus menunduk. Dia menopangkan wajah ke nisan berbentuk salib yang bertuliskan nama anaknya sambil terus-menerus sesenggukan.
Di nisan itu tertera tanggal lahir Melipanus. Selang 16 hari setelah kematiannya, Melpianus semestinya merayakan ulang tahunnya yang kedua.
Setelah pemakaman pagi itu, warga Supaga mulai mengungsi dari rumah-rumah mereka menuju ke sejumlah gereja.
Yeskiel berkata, sebagian warga secara sukarela mengungsi karena takut menjadi korban kontak tembak. Namun ada pula yang datang ke gereja setelah mendengar anjuran aparat dan milisi TPNPB. Mereka diminta keluar dari permukiman karena aksi saling tembak masih akan terus terjadi di Sugapa.
Tiga hari setelah kematian Melpianus, situasi belum mereda. Sore itu sekelompok orang yang diduga milisi TPNPB membakar sejumlah rumah di sekitar Bandara Sokopaki. Peristiwa itu kembali memicu kontak tembak.
Orang-orang yang bekerja di sekitar bandara lari menyelamatkan diri. Namun enam orang terjebak di salah satu rumah di dekat lapangan terbang itu.
Keluarga salah satu dari mereka menelepon pengurus Gereja Santo Michael. Dia berkabar, saudaranya tak berani keluar karena kontak tembak terjadi di sekitar bandara.
Pastor Yance Yogi dan Pastor Fransiskus Sondegau serta beberapa orang lain lalu bergegas menuju bandara. Gereja dan bandara berjarak 500 meter.
Setibanya di sana, Yance naik ke atas pagar. Dia meminta enam orang itu memberanikan diri untuk keluar rumah.
Kontak tembak masih masih terus berlangsung saat itu. Fransiskus berdiri di belakang Yance. Dia mengangkat salib ke udara dengan harapan tak ada peluru yang menyasar ke mereka.
Pada saat yang sama, masyarakat berlarian menuju Gereja Santo Michael. Pastor Yeskiel dan rekan-rekannya meminta warga berlindung di dalam gereja.
Aksi saling tembak belum surut ketika sebuah peluru tiba-tiba melesat beberapa sentimeter ke samping tubuh Pastor Yeskiel. Tiga hari setelah memakamkan Melpianus, Yeskiel nyaris menjadi korban berikutnya.
"Saya langsung lari ke belakang tiang di depan gereja. Peluru itu pecahkan tembok," kata Yeskiel.
Sejak pertempuran antara aparat dan TPNPB menewaskan Melpianus, Sugapa senyap. Rumah-rumah kosong. Masyarakat mengungsi ke gereja, Koramil dan juga kantor polisi. Banyak kios tutup.
Bertinus bertahan di gereja usai pemakaman itu. "Sampai saat ini tidak ada pihak yang datang untuk bertanya atau meminta maaf," kata Bertinus.
Perbincangan kami dengan Bertinus, awal November lalu, sempat berhenti sejenak. Dari dalam gereja terdengar suara tembakan bertubi-tubi. Semua orang di dalam gereja diingatkan untuk waspada.
Situasi di Sugapa beberapa pekan sebelumnya tidak seperti ini. Awal Oktober lalu ribuan umat katolik dari berbagai kampung berbondong-bondong berjalan kaki ke ibu kota kabupaten itu. Perayaan besar digelar menyambut penahbisan tiga imam baru di Gereja Santo Michael.
Yeskiel dan Fransiskus adalah dua dari tiga pastor yang ditahbiskan pada 12 Oktober. Pada hari-hari itu, Sugapa penuh sesak. Ribuan orang mengikuti pawai.
Sebagian dari mereka mengenakan koteka dan rok rumbai. Suasana riuh rendah. Anak-anak dan orang dewasa berbaur. Mereka menyanyikan beragam lagu. Prosesi bakar batu dirayakan.
Yeskiel tidak mengira situasi gegap gempita itu bakal segera sirna. Di tengah kondisi mencekam, awal November lalu Yeskiel tetap harus melakukan perjalanan ke Distrik Homeo, Kabupaten Paniai. Keuskupan Timika menugaskannya menjadi imam di sana.
"Saya dan rombongan ke Paniai naik mobil. Kami bisa jalan setelah izin dari Bupati disampaikan ke Kapolres dan Danramil. Di pos tentara, tas kami diperiksa. Setelah dianggap aman, baru kami diizinkan lewat," kata Yeskiel.
"Saat kami lewat, saya lihat tentara membawa tiga pemuda. Saya lihat ada busur dan anak panah. Saya tidak tahu pemuda itu ditangkap atau pengungsi.
"Sepanjang perjalanan sepi sekali. Kami sempat cari solar tapi semua kios tutup. Saya harus ketuk pintu kios, katakan bahwa saya pastor, baru mereka membuka pintu," ujarnya.
Saat Yeskiel meninggalkan Sugapa, warga lokal bernama Mina tetap bertahan di pengungsian yang dikoordinasikan pihak gereja.
Mina adalah satu dari ratusan atau mungkin ribuan warga Sugapa yang mengungsi sejak kontak tembak akhir Oktober lalu.
Setiap pihak di Intan Jaya menyebut angka yang berbeda terkait pengungsi. Rentangnya dari ratusan hingga ribuan orang. BBC News Indonesia tidak bisa memverifikasi secara langsung kebenaran beragam angka itu.
"Kami hidup dalam ketakutan. Kami juga trauma karena kontak tembak ini terjadi di dekat rumah kami," ujar Mina.
Ini bukanlah pengalaman pertama Mina dan keluarga tidur di tenda pengungsian. Awal Februari lalu, mereka juga meninggalkan rumah atas alasannya yang sama.
Walau sebagian warga menanggap gereja adalah tempat mengungsi yang paling aman dan nyaman, tenda-tenda yang didirikan di lokasi itu tidak layak huni, apalagi untuk menampung begitu banyak orang.
Pengungsian itu beratap terpal dan beralaskan alang-alang. Tempat ini diutamakan untuk anak dan perempuan. Namun mereka kerap harus saling bergantian mengisi ruang.
Di pengungsian, kelangsungan hidup Mina dan keluarganya juga bergantung pada bantuan. Jika tak ada sumbangan makanan, mereka harus menahan rasa lapar.
"Kami tidak bisa ambil bahan makanan ke kebun karena kebun letaknya di antara gunung. Setiap gunung dikuasai aparat dan TPNPB," kata Mina.
Pengungsi lainnya, seorang laki-laki paruh baya bernama Mepa, menyebut aksi saling serang antara aparat dan TPNPB tidak pernah separah ini.
Tidak hanya berlangsung selama belasan hari, lokasi pertempuran juga sudah bergeser dari hutan ke sekitar permukiman warga.
Begitu aksi saling serang terjadi pada 26 September lalu, aktivitas Sugapa berhenti, termasuk penerbangan yang merupakan penghubung Sugapa dengan kota-kota besar lain di Papua.
"Yang kami rasakan adalah penderitaan di atas penderitaan. Anak kecil trauma karena kontak tembak bahkan terjadi di sekitar halaman gereja," ujarnya.
Saat liputan ini disusun, warga sipil kembali menjadi korban kontak tembak antara aparat dan TPNPB di Sugapa. Pada 9 November, perempuan bernama Agustina tertembak di bagian pinggang. Pelipis mata kanannya juga terluka.
Polisi membuat klaim bahwa peluru itu tanpa sengaja mengarah ke perempuan berusia sekitar 20-an tahun tersebut. Agustina dituduh berada di lokasi kontak tembak antara aparat dan TPNPB.
Namun sejumlah pihak di Intan Jaya menyebut hal yang berlawanan, bahwa tak ada peristiwa saling tembak saat peluru masuk ke tubuh Agustina.
Setelah tertembak, sejumlah warga lokal bersama pengurus gereja menyelamatkan Agustina. Tubuhnya dibopong di atas tandu kayu sederhana dari pinggir Kali Dogabu, melewati perbukitan, menuju puskesmas.
Keesokan harinya Agustina diterbangkan ke Rumah Sakit Mimika oleh aparat dan pemerintah lokal.
Pada hari yang sama, pemerintah lokal dan pimpinan kepolisian serta militer mengabarkan kepada pihak gereja bahwa masyarakat bisa kembali ke rumah. Namun tidak semua warga langsung meninggalkan pengungsian.
Meski begitu, Kepala Polres Intan Jaya, Ajun Komisaris Besar Sandi Sultan meminta BBC News Indonesia tidak menggunakan istilah `mengungsi` untuk mendeskripsikan rentetan peristiwa ini.
Sandi juga mengatakan hal yang sama saat warga sipil berbondong-bondong menuju gereja saat eskalasi kontak tembak di Intan Jaya meningkat, Februari lalu.
"Mereka tidak mengungsi, tapi menyelamatkan diri," ujar Sandi.
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kata `mengungsi` bermakna menyelamatkan diri ke tempat yang dirasa aman.
Bagaimanapun, pertanyaan utama yang muncul dalam hari-hari terakhir, apakah saat ini warga sipil sudah terbebas dari potensi tertembak atau menjadi korban berikutnya dari konflik bersenjata di Intan Jaya?
Dan bagaimana aparat membedakan siapa kombatan dan siapa warga sipil?
"Mereka yang membawa senjata adalah musuh, yang tidak membawa senjata berarti masyarakat," kata Kepala Polres Intan Jaya, Ajun Komisaris Besar Sandi Sultan.
Saat Melpianus tertembak, tak ada satupun anggota keluarganya yang menyimpan senjata. Agustina Ondou juga tak memiliki senjata. Begitu pula Pastor Yeskiel yang nyaris tertembak di halaman gereja.
Pihak ketiga `yang politis` dalam huru-hara Kiwirok
Seorang perawat ditemukan tidak bernyawa di sebuah jurang di Distrik Kiwirok, Pegunungan Bintang, September lalu. Perempuan bernama Gabriela Meilan itu ditemukan usai geger pembakaran puskesmas, sekolah, pasar, dan fasilitas publik lain di kabupaten itu.
Dalam laporan resmi kepada Komnas HAM, orang nomor satu di kabupaten itu, Bupati Spey Yan Bidana, menuduh sejumlah lawan politiknya sebagai dalang di balik amuk tersebut.
Padahal milisi pro-kemerdekaan lebih dulu menyatakan bertanggung jawab atas dua peristiwa itu. Dan seperti pada huru-hara sebelumnya di Papua, aparat juga menuding TPNPB sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Benarkah ada pihak ketiga yang melibatkan diri dalam pertikaian bersenjata di Pegunungan Bintang?
Berkas laporan bupati yang didapatkan BBC News Indonesia terdiri dari 25 halaman. Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, mengonfirmasi lembaganya menerima dokumen itu.
Laporan itu memuat keterangan orang-orang yang dianggap mengetahui secara langsung peristiwa kekerasan tersebut. Mereka adalah Kepala Distrik Kiwirok, seorang pegawai imigrasi, serta dua perawat, masing-masing bernama Patra dan Sem Taplo.
Keterangan Bupati Spey Bidana juga dimasukkan dalam berkas laporan tersebut. Dia menuduh huru-hara di Kiwirok dirancang dalam sebuah rapat di ibu kota kabupaten, Oksibil.
Jarak Kiwirok dan Oksibil terbentang sekitar 90 kilometer. Jalur udara adalah satu-satunya yang menghubungkan dua wilayah ini.
Rapat itu, menurut kesaksian Spey, diikuti sejumlah politikus dan mantan pejabat lokal. Dia menuding para peserta rapat sepakat untuk membakar seluruh fasilitas publik di Kiwirok, yang dibangun pada era kepemimpinan sebelumnya.
Tujuan kesepakatan itu, tulis Spey dalam keterangannya,"agar membuat bupati pusing". Dia juga membuat klaim bahwa huru-hara itu sengaja dimulai di Kiwirok — kampung asalnya.
Spey menuding, salah satu pemicu kesepakatan ini adalah kemarahan sejumlah pihak terhadap kebijakannya, terutama keputusannya mencopot 42 pejabat Februari lalu, tepat lima hari setelah dia dilantik menjadi bupati.
"Aksi di Kiwirok melibatkan mereka yang tidak mendapatkan jabatan kepala distrik, kepala puskesmas, dan jabatan kepala kampung," sebut Spey dalam laporan itu.
"Pemicunya adalah dendam politik saja," tulisnya.
Spey menyebut huru-hara di Kiwirok didahului pembakaran alat berat milik PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. pada 8 September. Perusahaan milik negara itu mengerjakan jalan trans Papua di Pegunungan Bintang.
"Yang fasilitasi makan, minum, dan bensin untuk pembakaran itu diduga kuat adalah Yohanes Sitokdana," tuduh Spey.
Yohanes adalah Ketua Komisi C DPRD Pegunungan Bintang dari Partai Demokrat. Dia menyangkal tuduhan itu.
Laki-laki berusia 35 tahun itu heran dituding menjadi dalang kejadian tersebut. Menurutnya, tuduhan itu politis karena dia adalah bagian dari oposisi pemerintahan Bupati Spey.
"Saat kejadian saya sedang mengikuti rapat DPRD untuk mengesahkan anggaran belanja tambahan pemerintah daerah," ujarnya.
Nama lain yang dituduh Spey terlibat merancang huru-hara di Kiwirok adalah Ketua DPRD Pegunungan Bintang, Denius Taplo Uopmabin.
Dalam laporan kepada Komnas HAM, Spey menyebut Denius sebagai salah satu peserta rapat di Oksibil.
Seperti Yohanes, Denius menyangkal tuduhan tersebut. "Itu fitnah. Tidak ada dasar dan buktinya," ucapnya.
Kami berulang kali mencoba menghubungi Spey untuk mendalami laporannya kepada Komnas HAM. Namun dia tidak menjawab permintaan wawancara.
Pembakaran fasilitas publik di Kiworok, terjadi pada 13 September. Tak lama setelahnya, Spey mengutarakan hal yang nyaris sama terkait kejadian itu di Okmin TV. Ini adalah stasiun televisi lokal yang didirikan Spey dengan dana dari APBD.
"Semua itu langsung by design dari dalam sini. Saya sudah tahu. Kita kejar kelompok yang memperjuangkan tanah Papua. Tapi itu nanti.
"Ini by design untuk gagalkan program pemerintahan kami oleh kelompok yang sudah kalah. Oknum-oknum itu saya sudah tahu," kata Spey dalam siaran televisi tersebut.
Keterangan Spey lainnya menyebut bahwa milisi TPNPB dimanfaatkan untuk terlibat dalam huru-hara ini.
Sebuah media nasional pertengahan November lalu mengutip pernyataan Jeffrey Bomanak yang mereka sebut sebagai Ketua Umum Organisasi Papua Merdeka. Dalam majalah itu, Jeffrey menyebut TPNPB tidak membakar fasilitas publik di Kiwirok.
Namun Juru Bicara TPNBP, Sebby Sambom, menyebut Jeffrey bukan bagian dari milisi pro-kemerdekaan. Jeffrey tidak tahu-menahu soal operasi TPNPB di lapangan, kata Sebby.
Salah satu pimpinan TPNPB di Pegunungan Bintang, Jenno Taplo, berkata bahwa pihaknya adalah yang membakar alat berat milik PT WIKA serta puskesmas, sekolah, pasar, dan fasilitas lain di Kiwirok.
Kepada Jenno, kami menunjukkan sebuah foto yang terlampir dalam laporan Spey kepada Komnas HAM. Foto itu menunjukkan sekelompok orang yang baru saja merusak dan membakar fasilitas umum dalam huru-hara tersebut.
"Apakah orang-orang ini adalah pasukan Anda?" begitu pertanyaan kami kepadanya. "Ya, mereka TPNPB," kata Jenno.
Kami juga bertanya kepada Kepala Distrik Kiwirok, Abedeus Tepmul, soal kesaksiannya. Dalam laporan Bupati Spey kepada Komnas HAM, Abedeus mengaku mengenali sejumlah orang yang tampak dalam foto dan video aksi pembakaran.
"Saya yakin bahwa konflik di Kiwirok bukan saja gerakan Papua Merdeka, tapi ada kelompok lain yang sakit hati karena kalah politik," begitu pernyataannya dalam berkas laporan itu.
Namun saat dihubungi, Abedeus menyatakan tidak bisa bicara banyak soal kejadian di Kiwirok. "Saat itu saya berada di Jayapura dan hingga kini belum bisa terbang ke sana," ujarnya.
Laporan Bupati Spey kepada Komnas HAM memunculkan teka-teki baru soal dalang dan motif di balik kisruh di Kiwirok.
Sehari setelah pembakaran di Kiwirok, kejadian serupa juga terjadi di Distrik Okhika—salah satu wilayah setingkat kecamatan lainnya di Pegunungan Bintang.
Dari video yang beredar di media sosial, kejadian di Okhika dilakukan sekumpulan laki-laki. Mereka terlihat merusak kaca-kaca bangunan dengan batu. Sebagian mereka membawa balok-balok kayu.
Sebby Sambom menyebut orang-orang yang berafiliasi dengan TPNPB merupakan pelaku aksi tersebut.
Baca juga:
Komisioner Komnas HAM, Muhammad Choirul Anam, terbang ke Oksibil awal November lalu. Namun dia belum bisa membuat kesimpulan tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Kami mendapatkan banyak sekali informasi, termasuk dari bupati," ujar Anam.
Anam berkata, lembaganya masih akan menyelidiki huru-hara di Kiwirok. Walau demikian, kata dia, hingga saat ini Komnas HAM belum bisa datang ke Kiwirok karena terhambat izin dan keamanan yang tak stabil.
Jauh sebelum huru-hara di Kiwirok, September lalu, situasi politik yang panas selama setahun terakhir sudah merundung Pegunungan Bintang.
Polemiknya berkaitan pilkada tahun 2020. Saling lempar tudingan dilakukan kubu Spey Bidana dan kubu Costan Oktemka. Constan merupakan bupati Pegunungan Bintang periode lalu.
Selain antara dua kubu itu, saat itu polemik juga pecah antara pimpinan KPUD dan Bawaslu setempat yang mempertentangkan legalitas status calon bupati.
Ribut pilkada di kabupaten itu dibawa hingga ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan kubu Costan Oktemka yang mendalilkan bahwa terjadi kecurangan selama proses pilkada pada akhirnya ditolak para hakim konstitusi.
Dalam laporan Spey kepada Komnas HAM, tidak ada pernyataan tegas tentang siapa yang menyebabkan kematian perawat Gabriela Meilan.
Berkas itu mengutip keterangan perawat bernama Patra. Saat huru-hara tanggal 13 September terjadi, dia berada di rumah khusus perawat yang berada dalam satu kompleks dengan puskesmas.
Patra berkata, para perawat sudah mendengar isu rencana penyerangan milisi pro-kemerdekaan sejak tiga hari sebelumnya. Namun Patra yakin dia dan rekan-rekannya tidak akan menjadi sasaran.
Patra berkata, kontak tembak terjadi di sekitar bandara sekitar pukul sembilan pagi. Tak lama berselang, sekelompok orang yang membawa parang, panah, dan senjata sudah berada di rumah mereka.
"Mereka banyak sekali di belakang rumah," kata Patra dalam berkas itu. Dia mengaku melihat rumah dokter dan puskesmas dibakar.
Patra akhirnya memilih kabur dan terjun ke jurang. Di sana Patra tidak melihat sejawatnya yang juga lompat ke jurang.
"Saya dengar teman yang lain berteriak ketika disiksa," begitu keterangan Patra dalam berkas itu. Sempat bermalam di dalam jurang, keesokan subuhnya Patra naik ke bukit dan sampai ke pos TNI.
Saat huru-hara terjadi, Patra terjun ke jurang bersama lima petugas medis lainnya. Mereka adalah Marselinus Ola Atanila, Selo, Emanuel Abi, Kristina Sampe Tonapa, Katrianti Tandila, dan Gabriela Meilan.
Marselinus menuturkan kronologi peristiwa itu kepada pers setelah dievakuasi ke Jayapura, empat hari pasca-kejadian.
Menurut Marselinus, kelompok penyerang turun ke jurang untuk mengejar mereka. Namun, kata dia, orang-orang itu hanya menemukan Kristina, Katrianti, dan Gabriela.
Katrianti dan Kristina pada akhirnya selamat dan turut dievakuasi aparat. Namun Gabriela meninggal. Menurut Marselinus, Gabriela tewas diserang para penyerang.
Lima petugas medis lain selamat dari aksi pembakaran dan pengejaran. Kelimanya adalah Restu Pamanggi, Lukas Luji, Siti Khotijah, Marthinus Deni, Gerard Sokoy.
Berkas laporan Bupati Spey Bidana kepada Komnas HAM memuat foto Katrianti dan Kristina. Mereka tampak tidak berbusana.
Laporan itu juga melampirkan foto Gabriela Meilan dalam kondisi yang tidak berpakaian.
`Hujan mortir` buatan Serbia di Kiwirok
Seorang laki-laki berlindung di balik semak belukar. Nafasnya terengah-engah. Awan bergantung rendah di hadapannya.
Dari kejauhan terdengar suara desing senapan api. Mata laki-laki itu mengarah ke langit. Dia mengawasi sebuah helikopter yang terbang di atas pegunungan Distrik Kiwirok.
Peristiwa itu terlihat dalam satu dari sekian video yang dikirimkan pimpinan TPNPB kawasan Pegunungan Bintang, Jenno Taplo, kepada BBC News Indonesia.
Dalam video lain, dua anggota milisi pro-kemerdekaan juga terlihat bersembunyi di balik batang pohon di sebuah gunung di Kiwirok. Dua suara letupan lalu terdengar di kejauhan.
Jenno Taplo mengirim sejumlah video untuk membuktikan klaim kelompoknya bahwa aparat menjatuhkan mortir dari helikopter.
Dokumentasi yang dikumpulkan TPNPB menunjukkan sejumlah mortir yang gagal meledak. Namun ada pula mortir yang meledak dan membakar rumah dan sebidang lahan.
Kiwirok dihujani mortir nyaris setiap hari sejak tanggal 10 Oktober, menurut kesaksian Kalaka Benny, warga Distrik Okhika yang mengungsi sejak huru-hara tanggal 13 September meletus.
Kalaka yakin, konflik bersenjata yang kini melibatkan penggunaan artileri ini merupakan lanjutan dari aksi pembakaran, penyerangan tenaga medis, dan kontak senjata satu bulan sebelumnya.
"Dengan biji mata kepala saya sendiri, saya melihat tiga helikopter yang beredar di Kiwirok. Helikopter terbang mulai hari itu. Setiap hari mereka turunkan bom," ujarnya.
"Dari pagi sampai jam sore, setiap hari mereka turunkan bom. Malam tidak. Ada bom yang merusak rumah, tapi rumah itu tidak ditinggali. Semua warga ada di hutan," kata Kalaka.
Kesaksian Kalaka senada dengan klaim milisi pro-kemerdekaan. Meski begitu, BBC News Indonesia hingga saat ini belum dapat memverifikasi kebenaran informasi itu karena ketiadaan akses meliput di kawasan konflik itu.
Sejumlah dokumentasi juga tidak secara terang memperlihatkan mortir yang ditemukan TPNPB diluncurkan dari helikopter atau drone milik TNI.
Yang tampak jelas adalah kesamaan jenis mortir yang ditemukan milisi pro-kemerdekaan itu. Berbagai mortir itu berkaliber 81 milimeter, bercat hijau tua dan bertuliskan KV Lot 01/20.
Dalam industri persenjataan global, inisial KV merujuk produk buatan perusahaan asal Serbia, Krusik. Huruf K merupakan singkatan dari Krusik, sedangkan V menandakan Valjevo, kota tempat pabrik Kursik berada.
Sementara identitas Lot 01/20 yang tertera pada mortir itu merujuk kelompok produksi pertama tahun 2020.
Pakar keamanan dari BBC High Risk Team, menyebut mortir seperti ini hampir mustahil ditembakkan dari udara.
"Mortir ini hanya dapat ditembakkan dengan memasukkannya ke dalam tabung pelontar," katanya.
"Sangat tidak mungkin mortir seperti ini ditembakkan dari pesawat. Mortir dapat diledakkan jika mendapat tekanan dan dorongan dari tabung pelontar," ucapnya.
Saat keluar dari tabung pelontar, mortir akan terbang ke udara dan bergerak dalam lengkungan parabola. Di lokasi yang menjadi sasaran, mortir akan jatuh dari udara.
Menurutnya, terdapat ragam alasan yang menyebabkan sejumlah mortir yang ditemukan milisi TPNPB tidak meledak.
"Mortir kaliber 81 milimeter perlu dipersiapkan sebelum diluncurkan. Jika pelatuk (firing pin) tidak dinyalakan, mortir tetap dapat ditembakkan tapi tanpa benar-benar meledak," tuturnya.
Senjata ini biasa digunakan dalam pertempuran di kawasan hutan, katanya. Alasannya, mortir ini berdaya ledak besar dan dapat ditembakkan ke sasaran yang posisinya tidak jelas.
BBC News Indonesia sudah berulang kali berusaha melakukan konfirmasi kepada pimpinan Kodam Cenderawasih terkait penggunaan mortir yang dituduhkan kepada mereka.
Namun hingga liputan ini dipublikasikan, permintaan wawancara itu tidak ditanggapi.
Kepada Majalah Tempo, Panglima Kodam Cenderawasih, Mayjen Ignatius Yogo Triyono, membenarkan bahwa pasukannya menembakkan mortir di Kiwirok.
Yogo berkata, pasukannya membutuhkan mortir karena medan Pegunungan Bintang yang terjal. Ledakan mortir, kata Yogo, dapat membuat efek kejut pada kelompok TPNPB.
Tulisan yang tertera pada mortir yang ditemukan di Kiwirok merujuk pada perusahaan pelat merah Serbia, Krusik. Mortir Krusik kaliber 81 milimeter pernah dipamerkan ISIS dalam video yang mereka rilis, November 2019.
Merujuk laporan lembaga pemantau berbasis di Bulgaria, Arms Watch, persenjataan yang diproduksi Krusik digunakan milisi ISIS di Suriah dan Yaman.
Militer Ukraina juga menggunakan persenjataan Krusik saat berkonflik dengan milisi pro-Rusia.
Merujuk brosur yang dikeluarkan Krusik, mortir 81 milimeter itu memiliki daya jangkau hingga 6,5 kilometer dan bersifat mematikan terhadap target yang berada dalam radius 18 meter dari titik ledaknya.
Krusik saat ini tengah menjadi sorotan, termasuk oleh Parlemen Eropa, atas dugaan korupsi pimpinan mereka dan pejabat tinggi Serbia. Krusik dituding melakukan kongkalikong dengan sejumlah pemasok senjata swasta, salah satunya yang berbasis di Arab Saudi.
Indonesia adalah negara tujuan ekspor persenjataan terbesar Serbia pada tahun 2019. Fakta ini merujuk dokumen Kementerian Perdagangan Serbia.
Pemerintah dan DPR membuat aturan khusus berupa UU 3/2019 tentang kerja sama bidang pertahanan antara Indonesia dan Serbia. Salah satu poin dalam beleid itu adalah kerja sama pengadaan alat pertahanan.
Anggota Komisi I DPR dari Dapil Papua, Yan Permenas Mandenas, dalam akun Instagram miliknya, memamerkan salah satu persenjataan TNI yang dibeli dari Serbia.
https://www.instagram.com/p/CVctqytBiK8/
Nilai ekspor persenjataan dari Serbia ke Indonesia mencapai 84,9 juta euro atau sekitar Rp1,4 triliun pada tahun tersebut. Nilai ekspor persenjataan dari Serbia ke Indonesia lebih besar daripada ke Amerika Serikat, berselisih sekitar Rp400 miliar.
Pada 2020, total impor persenjataan seperti mortar, howitzer, dan senjata api dari Serbia ke Indonesia mencapai US$1,8 juta atau sekitar Rp25,7 miliar, menurut laporan Badan Pusat Statistik.
Mantan jenderal bintang tiga TNI Angkatan Darat yang kini menjadi Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Agus Widjojo, ragu militer melakukan serangan udara untuk menghadapi kelompok pro-kemerdekaan di Kiwirok dan wilayah lain di Papua.
"Itu bukan cara untuk menghadapi pemberontakan, tapi cara-cara dalam perang konvensional," kata Agus.
"Operasi di Timor Timur dulu masuk kategori insurgency plus sehingga militer menggunakan bantuan tembakan taktis dari udara, walau tidak secara besar-besaran," tuturnya.
Dari perspektif militer, menurut Agus, serangan udara untuk menghadapi TPNPB tidak efisien. Ia merujuk pesebaran milisi pro-kemerdekaan yang tidak terpusat dan jumlahnya yang tidak masif.
Bagaimanapun, Agus menyebut mortir adalah persenjataan militer. Penggunaannya, kata dia, harus didasarkan pada dasar hukum yang jelas.
"Sepatutnya ada akuntabilitas. Sebetulnya transparansi ini bisa terwujud dengan dorongan elemen lain. DPR, misalnya, bisa bertanya apa payung hukum operasi di Papua," kata Agus.
"Kalau dorongan itu tidak kuat, TNI dan aparat keamanan bisa merasa tidak diingatkan, apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang benar dan yang belum benar.
"Indonesia punya pengalaman menetapkan status darurat militer di Aceh dan Timor Timur serta mengatasi berbagai pemberontakan.
"Generasi masa lalu lebih sadar soal supremasi hukum dan perbedaan kewenangan dalam tingkat kondisi darurat daripada kondisi kontemporer yang seolah-olah bebas menggunakan metode apapun," ujar Agus.
Yan Permenas, anggota DPR dari Papua, mengaku akan berupaya meminta aparat bertanggung jawab atas operasi melawan milisi pro-kemerdekaan, terutama yang memunculkan korban dari warga sipil.
Sejak masuk DPR pada 2019, Yan duduk di Komisi I DPR, institusi yang mengawasi bidang kerja TNI.
"Ini sudah kami lakukan. Tidak semua pekerjaan Komisi I kami publikasikan karena ini sesuatu yang harus dikonsumsi secara terbatas," kata Yan.
"Tapi kami berkomitmen mengawal kasus hukum dan perbaikan kebijakan sehingga bisa memberi hasil signifikan dalam penyelesaian konflik di tanah Papua," ujarnya.
Menurut pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada, Profesor Sigit Riyanto, pertempuran antara TNI/Polri dan TPNPB di Papua terikat pada hukum humaniter internasional. Bukan hanya soal cara berperang tapi juga sarana yang digunakan oleh dua pihak itu, kata Sigit.
"Kalau hukum humaniter tidak dikenakan, maka yang berlaku adalah ketentuan pidana nasional," ucapnya.
"Tapi di seluruh negara, termasuk di Indonesia, masalahnya bukan apa yang boleh dan tidak diizinkan, tapi persoalan mendasarnya adalah menegakkan hukum ketika terjadi pelanggaran.
"Ini soal politik yang relatif rumit. Dari waktu ke waktu sulit menegakkan hukum humaniter. Faktor utamanya adalah kemauan politik," ujar Sigit.
Dalam wawancara khusus dengan BBC News, Presiden Joko Widodo menyebut pemerintahannya tak ingin terlibat dalam konflik bersenjata dengan siapapun. Dia mengklaim telah mengupayakan penyelesaian dialogis untuk beragam persoalan Papua.
"Saya sudah mengajak mereka untuk berbicara bagaimana membangun Papua bersama, mensejahterakan masyarakat dan mengejar ketertinggalan agar bisa sejajar dengan yang lainnya," kata Jokowi.
"Saya ingin Indonesia damai, Papua damai. Saya tidak ingin berkonflik dengan siapapun. Semua yang berada di teritorial Indonesia adalah rakyat Indonesia. NKRI harus dibangun bersama," ujarnya.
Namun pertikaian bersenjata antara aparat dan kelompok pro-kemerdekaan masih terus berlangsung di Papua, termasuk Kiwirok dan Intan Jaya.
Jumlah masyarakat sipil yang tewas dan tertembak masih terus bertambah. Salah satunya Bernadus Bagau, laki-laki Intan Jaya berumur 45 tahun yang ditemukan meninggal pertengahan November lalu. Saat itu dia sudah tiga pekan menghilang.
Di tubuh Bernadus terdapat luka tembak, kata Pastor Yance Yogi, imam Katolik yang memakamkan jenazah Bernadus. "Dia masyarakat biasa," kata Pastor Yance.
Dan di Distrik Kiwirok, tidak sedikit anak-anak, perempuan-laki laki dewasa hingga orang lanjut usia hingga yang saat ini masih mengungsi hutan di perbukitan. Jumlah mereka tidak dapat diverifikasi, bisa ratusan atau ribuan.
"Kami tidak ada tenda, kami pakai daun, kayu dan apapun yang bisa kami pakai untuk bangun tempat tinggal sementara," kata Kalaka Benny.
---
Yamoye Abeth, wartawan di Timika, berkontribusi untuk laporan ini.
Tulisan ini merupakan bagian dari Liputan Khusus: Tantangan Papua dengan Status Istimewa di situs BBC News Indonesia.