Potret Kerukunan di Surabaya, 6 Tempat Ibadah Berdampingan

Enam tempat ibadah yang berdiri berdampingan di Surabaya
Sumber :
  • VIVA/Nur Faishal

VIVA – Sejumlah orang berkumpul di halaman belakang Gereja Kristen Indonesia (GKI) Wiyung Royal Residence pada Rabu siang, 24 November 2021. Sepertinya mereka tengah melakukan sebuah kegiatan pengamatan atau penelitian entah untuk kepentingan apa.

Tepat di samping GKI, berdiri tempat ibadah umat Hindu, yaitu Pura Sakti Raden Wijaya. Di bagian depan sisi kanan dan kiri pura, berdiri sebuah gazebo yang arsitekturnya senada dengan bangunan pura. Di sebelahnya lagi, berdiri sebuah Kelenteng Ba De Miao, tempat ibadah umat Konghucu. Patung-patung naga menghiasi bagian atap dan tiang-tiang bangunan tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa itu.

Di samping kelenteng, berdiri Gereja Katolik Kapel Santo Yustinus. Bentuk dan warna bangunannya agak mirip dengan bangunan GKI Wiyung Royal Residence, kotak tegas. Di sebelah Gereja Katolik Kapel Santo Yustinus, berdiri bangunan tempat ibadah bagi umat Buddha, Vihara Budhayana Royal Residence. Paling ujung berdiri Masjid Muhajirin.

Enam tempat ibadah yang berdiri berdampingan itu berada di kompleks Perumahan Royal Residence yang berada di Kecamatan Wiyung, Kota Surabaya, Jawa Timur. Di perumahan elit itu, keenam tempat ibadah itu berada di sebuah lahan lapang seluas kira-kira satu lapangan bola di bagian belakang kompleks. Sekira 200 meter dari sana, deretan rumah toko berdiri.

Ketika VIVA ke sana, suasana tampak lengang di masing-masing tempat ibadah. Tak banyak orang dijumpai untuk beribadah karena memang hari aktif. Seorang petugas keamanan atau satpam duduk di gazebo yang berada di depan pura. Begitu disapa dan menjelaskan keperluan, ia kemudian mengarahkan untuk menemui petugas bagian administrasi yang ada di GKI Wiyung Royal Residence.

Oleh petugas gereja, kami kemudian diminta untuk menghubungi Philip Soetojo. “Silakan Bapak menghubungi Pak Philip, humasnya FKRI,” kata petugas perempuan itu.

Berawal dari Komunitas Cangkrukan

Philip menjelaskan, enam tempat ibadah yang berdiri berdampingan itu adalah fasilitas umum yang didirikan pengembang Royal Residence. Sebelum enam tempat ibadah itu berdiri, ia dan beberapa warga di kompleks tersebut biasa kumpul-kumpul atau cangkrukan. Karena itu sejak awal warga di sana sudah guyub.

“Sebelum enam tempat ibadah itu berdiri, kita di kompleks Royal Residence ini ada beberapa kelompok orang yang kalau malam sering cangkrukan. Dan yang cangkruk di sana itu multi etnis, multi agama. Ada orang China, Jawa, Arab, Bali, semuanya kumpul,” kata Philip dihubungi melalui sambungan telepon genggam.

Nah, begitu ada inisiatif pengembang untuk membangun tempat ibadah bagi semua penganut agama yang diakui oleh negara, maka warga menyambut baik itu. Philip menjelaskan, enam tempat ibadah itu tidak dibangun dan selesai dalam waktu bersamaan. “Yang buka (tempat ibadah duluan) muslim, lalu GKI (Kristen),” katanya.

Enam tempat ibadah yang berdiri berdampingan di Surabaya

Photo :
  • VIVA/Nur Faishal

Setelah itu dibangun pula Kapel, tempat ibadah umat Katolik. Baru setelah itu berdiri pula vihara, pura dan kelenteng. Kenapa tidak bersamaan, karena pembangunan enam tempat ibadah itu tidak murni anggaran dari pengembang. Tapi juga donasi dari warga dan jemaah masing-masing tempat ibadah. “Yang cepat itu pembangunannya masjid,” ujarnya.

Enam tempat ibadah itu lengkap berdiri sekira tahun 2018-2019, sebelum pandemi COVID-19. Nah, setelah itu lah warga di kompleks Royal Residence kemudian membuat Forum Komunikasi antar Rumah Ibadah (FKRI) yang diketuai Indra Prasetyo yang anggotanya mewakili umat masing-masing tempat ibadah itu. “Pak Indra itu mewakili muslim, saya mewakili Kristen, GKI,” tandas Philip.

Memupuk Kerukunan

Philip menerangkan, bibit FKRI sendiri sebetulnya sudah ada sebelum enam tempat ibadah itu lengkap berdiri. Awalnya, ya, dari cangkrukan warga kompleks multietnis dan latar belakang agama. Karena itu dia mengatakan bahwa sebetulnya kerukunan antarumat beragama sudah tumbuh di lingkungan Royal Residence sejak awal.

Warga kemudian sepakat untuk membikin FKRI atas inisiatif sendiri, bukan usulan pemimpin agama di masing-masing tempat ibadah tersebut. Philip mengatakan, karena inisiatif sendiri, keuntungannya adalah kesadaran kerukunan antarumat beragama tersemai sejak awal tanpa arahan apalagi paksaan dari para pemuka agama di lingkungan Royal Residence.

FKRI sendiri dibuat memang untuk keperluan menjaga dan menambah kuat kerukunan antarumat beragama di sana. Sebab, lanjut Philip, warga sadar bila tidak diikat dengan kesadaran dan pemahaman yang sama, maka potensi konflik bisa saja terjadi. “Yang pertama (potensi konflik) itu kami berpikir soal parkir,” ujarnya.

Kegiatan rutin, kata dia, rutin digelar di FKRI. Tapi setelah pandemi COVID-19 untuk sementara acara rutin dihentikan. Namun demikian, komunikasi tetap dijalin secara intensif dan guyub di grup WhatsApp yang mereka bikin. Grup WA itu jadi salah satu ruang warga memupuk kerukunan agar tetap terjaga. Kadang pula anggota FKRI diundang hadir di acara-acara di tempat ibadah yang tidak berkaitan dengan ritual keagamaan.

Selama ini, papar Philip, belum pernah terjadi gesekan di lingkungan Royal Residence karena sentimen agama yang dipicu kegiatan di enam tempat ibadah tersebut. Selain karena kerukunan umat beragama sudah tercipta, kegiatan keagamaan di masing-masing tempat ibadah itu jadwalnya berbeda-beda. “Selama ini kerukunan tetap terjalin di sini,” ucapnya.

Masing-masing pengurus tempat ibadah juga saling menjaga perasaan satu sama lain. Misalnya, Masjid Muhajirin hanya menggunakan pengeras suara saat azan saja. Sementara untuk kegiatan keagamaan lain menggunakan pengeras suara yang hanya terdengar oleh jemaah di dalam masjid. “Anda lihat juga gereja kami tidak ada loncengnya,” tandasnya.

Philip mengatakan, dengan kondisi seperti itu, kehidupan sosial di kompleks Royal Residence terasa damai. Ia mengaku senang karena masing-masing umat bisa menunaikan hak beribadahnya dengan tenang dan tanpa ancaman. Dia berharap suasana kerukunan seperti itu tetap terjaga dengan baik tahun-tahun ke depan.

“Saya harapkan dengan seperti ini bisa dicontoh oleh yang lain, pertama, dari antarwarga. Antarwarga itu kalau sudah cangkruk dia tidak lihat etnis, tidak lihat agama, misuh, ya, misuh bareng, guyon, ya, guyon bareng. Kalau sudah terjalin seperti itu mau ribut, kan, sungkan,” kata Philip.

“Pemerintah juga diharapkan fair, supaya terjalin kerukunan ini, izin-izinnya jangan dipersulit. Sehingga kehidupan damai dan beribadah tenang. Kan, lebih enak seperti itu,” kata Philip.

Baca juga: Puncak Toleransi Warga Tengger, Berbeda Agama tapi Satu Adat