Negara Maju Hadapi Lonjakan Kasus COVID-19, Dokter: RI Hati-hati
- VIVA/Mohammad Yudha Prasetya
VIVA – Ketua Dokter Indonesia Bersatu, dr. Eva Sri Diana menjelaskan, polymerase chain reaction (PCR) adalah alat diagnostik yang akurasinya lebih tinggi, dibandingkan pemeriksaan menggunakan antigen, rapid test, atau GeNose yang sebelumnya bisa dilakukan untuk prasyarat perjalanan.
Namun, Eva pun mengingatkan untuk berhati-hati dalam menggunakan sebuah alat tes COVID-19, karena alat ini pun sebenarnya hanya menggambarkan kondisi saat seseorang itu diperiksa.
"Bukan menggambarkan (kondisi orang itu) ketika esok harinya atau saat dia keluar dari pemeriksaan, itu sudah tidak tergambarkan," kata Eva dalam diskusi yang digelar di channel YouTube Indonesia Lawyer Club, Jumat 5 November 2021.
Eva pun menjelaskan secara lebih rinci mengenai kondisi faktual saat tes dilakukan kepada seseorang, dan hal-hal yang tidak bisa digambarkan dari tes tersebut terkait aktivitas orang itu setelahnya.
"Misalnya saya habis di-swab, lalu saya bertemu dengan orang COVID-19. Jadi bisa saja begitu saya naik pesawat, saya sudah sebagai penyebar virus," ujarnya.
Intinya, Eva menegaskan bahwa PCR atau antigen itu adalah alat diagnostik yang selayaknya. Hal ini ditegaskan olehnya, seiring penekanan bahwa para dokter dan tenaga kesehatan bukanlah sales PCR atau sales vaksin. "Semua kami lakukan untuk rakyat dan untuk kebaikan masyarakat Indonesia," kata Eva.
Di sisi lain, fenomena itu diakui Eva juga harus selalu dibarengi dengan kewaspadaan bersama akan potensi kembali melonjaknya kasus penularan COVID-19 di masyarakat.
Dia mencontohkan sejumlah negara yang kembali mengalami badai COVID-19 untuk kesekian kalinya, sehingga kewaspadaan masyarakat dan pemerintah Indonesia dalam menjalankan protokol kesehatan juga harus terus digalakkan.
"Jadi siapapun yang berpikir bahwa kasus COVID-19 melandai, sebenarnya harus hati-hati dan tidak boleh euforia. Bisa saja ada kejadian bahwa angka ini akan naik lagi," kata Eva.
"Kita bisa lihat di negara-negara maju seperti Inggris, India, Australia, atau Amerika, dimana akhirnya mereka harus kembali menghadapi lonjakan kasus COVID-19 yang melonjak tinggi lagi," ujarnya.