Guru Besar FH Unpad Bilang Amandemen UUD 1945 Belum Mendesak

Gedung DPR/MPR.
Sumber :
  • vivanews/Andry Daud

VIVA – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Profesor Susi Dwi Harijanti, menyatakan tidak ada urgensinya jika Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) melakukan amandemen UUD 1945. Apalagi, jika hanya sifatnya terbatas, menurut dia, saat ini belum mendesak. 

Hal tersebut disampaikan dalam diskusi daring berjudul 'Menakar Urgensi Amandemen UUD 1945 yang diadakan oleh Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yang bekerja sama dengan Perkumpulan Indonesia Muda (PIM).

"Secara pribadi saya mengatakan tidak ada urgensi (melakukan amandemen UUD 1945)," kata Susi dalam keterangannya, Jumat 17 September 2021.

Prof Susi mengatakan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Kebijakan Negara, disebutkan bahwa seyogianya, Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 sudah ada haluan negara. Kalaupun mengambil contoh lain, seperti di negara Brasil, amandemen konstitusi dilakukan oleh pemerintah atau diserahkan oleh Presiden. Sebab negara itu, menganut sistem presidensial dan amandemen bukan pada undang-undang dasar negara.

"Bahwa haluan-haluan negara itu pada dasarnya sudah ada di Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945," tegas Susi.

"Ketika Presiden, seseorang itu mencalonkan diri sebagai Presiden maka dia harus membuat sedemikian rupa rencana-rencana itu sesuai dengan haluan yang sudah ada di konstitusi Brasil. Jadi acuannya tetap Brasil," sambung Susi.

Dalam acara turut hadir Ketua MPR Bambang Soesatyo, Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte, dan Ketua IKA Fakultas Hukum Unpad Yudhi Wibhisana. Yudhi meminta di forum tersebut, supaya Majelis lebih berhati-hati dalam menentukan amandemen UUD 1945 karena merupakan isu sensitif. 

"Mana yang lebih penting? amandemen atau penguatan lembaga-lembaga negara, lembaga-lembaga politik seperti KPU, KPK, atau parpol untuk bisa melahirkan sistem kenegaraan yang lebih menguatkan bangsa kita ini. Apakah kita semua mempunyai keyakinan, bahwa amandemen akan membawa perbaikan pada demokrasi?," kata dia.

Yudhi berharap, para perumus bisa lebih peka terhadap amandemen UUD 1945, bukan hanya sekedar perubahan pasal dan bab semata. Hindari agenda kepentingan kelompok dan ego sektoral karena toh wacana amandemen telah menuai pro-kontra. 

"Problem hukum dan politik yang lebih besar harus dipikirkan juga oleh perumus, baik di eksekutif, legislatif maupun di yudikatif. Lembaga-lembaga tersebut harus mempunyai ratio legis yang dapat diterima masyarakat Indonesia, memegang teguh itikad baik, dan melepaskan vested interest, mengapa diperlukan atau tidak diperlukannya Amandemen UUD 1945," ujarnya.