Pukat UGM: Harusnya Lili Pintauli Mundur

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar (tengah), bersama Jubir KPK Ali Fikri
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

VIVA – Majelis Etik Dewan Pengawas KPK memvonis Wakil Ketua KPK Lili Pintauli telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku. Lili pun dijatuhi sanksi pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan usai terbukti melanggar kode etik KPK, yaitu berhubungan dengan pihak yang berperkara. 

Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) menilai putusan Dewas KPK terhadap pelanggaran kode etik yang dilakukan Lili Pintauli sangat ringan.

Menurut peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman, sanksi berupa pemotongan gaji pokok ini sangatlah ringan. Gaji pokok wakil ketua KPK, katanya, hanya bagian kecil dari total penghasilan yang diterima per bulan. 

Zaenur merinci gaji pokok Wakil Ketua KPK berkisar Rp4,6 juta sementara untuk THP sekitar Rp89 juta per bulan. Dia menilai pemotongan gaji pokok tidak banyak berpengaruh terhadap pengahasilan bulanan Lili. 

Semestinya, katanya, sanksi yang layak dan tepat dijatuhkan kepada Lili adalah diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat 4 huruf b Perdewas 02/2020.

"Lili tidak pantas lagi menjabat sebagai pimpinan KPK karena telah menyalahgunakan kewenangan, yakni berhubungan dengan pihak berperkara," kata Zaenur dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 31 Agustus 2021. 

Zaenur menegaskan, Lili tak cuma melanggar kode etik tetapi perbuatannya merupakan tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 36 UU Nomor 30 Tahun 2002 jo UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. 

Pasal itu, kata Zaenur, melarang pimpinan KPK berhubungan dengan pihak berperkara dengan alasan apa pun. Berdasarkan Pasal 65 UU KPK, pelanggaran atas ketentuan itu diancam pidana penjara maksimal 5 tahun. 

"Mengapa berhubungan dengan pihak berperkara menjadi perbuatan terlarang di KPK? Karena dapat menjadi pintu masuk jual beli perkara atau pemerasan oleh insan KPK. Misalnya, yang pernah dilakukan eks penyidik KPK Suparman atau eks penyidik KPK Robin. Perkara juga menjadi rawan bocor kepada pihak luar jika ada hubungan antara insan KPK dengan pihak berperkara," kata Zaenur. 

Zaenur menjelaskan imbasnya, KPK akan kesulitan menangani perkara itu dan bahkan perkara bisa berujung gagal diusut. 

"Putusan lembek oleh Dewas ini bisa berakibat buruk bagi KPK. Pertama, akan semakin menggerus kepercayaan publik terhadap KPK," ujarnya. 

Dia beranggapan bahwa nama-nama besar yang didapuk menjabat Dewas tidak menjamin akan menerapkan prinsip zero tolerance terhadap pelanggaran di internal KPK. 

"Putusan lembek oleh Dewas ini menunjukkan sikap permisif dan toleran di internal KPK. Ke depan insan KPK tidak akan terlalu takut lagi melakukan pelanggaran, karena Dewas tidak keras terhadap pelanggaran," katanya.