DPR Minta BPOM Lebih Progresif Terkait Obat Terapi COVID-19
- Istimewa
VIVA – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diminta bisa lebih progresif dengan memberikan ruang terkait penggunaan obat-obatan yang bisa dipakai untuk pasien COVID-19. Permintaan ini mengingat pandemi masih berlanjut dan belum berakhir.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena. Menurut dia, perlunya BPOM lebih progresif karena kondisi pandemi saat ini masih darurat berbeda dengan situasi normal.
"Pola penanganan penggunaan obat-obatan yang dilakukan BPOM sekarang ini harus progresif," kata Melki, dalam keterangannya, Selasa, 31 Agustus 2021.
Melki menjelaskan kaidah keilmuan dan ketentuan mesti tetap dipakai dengan disertai pemberian ruang lebih terbuka bagi penggunaan obat-obatan seperti Ivermectin hingga Favipiravir
Dia menekankan DPR mendorong hubungan BPOM dengan perusahaan farmasi dalam negeri baik BUMN ataupun swasta. Bagi Melki, BPOM harus jadi bagian pelaksanaan Inpres Nomor 6 tahun 2016. Ia bilang Inpres tersebut diterbitkan Presiden Jokowi sebagai salah satu cara mempercepat produksi obat dan alat kesehatan dalam negeri.
"Dan, dalam kaitan dengan obat, kita mendorong BPOM agar betul-betul membantu, mendampingi, memfasilitasi agar obat-obatan dalam negeri bisa dihasilkan terutama dalam masa pandemi saat ini," jelas politikus Golkar tersebut.
Kemudian, ia mengingatkan dengan peran optimal BPOM yang progresif maka praktiknya nanti bisa mendampingi produk-produk obat dalam negeri yang bermutu, berkhasiat, dan aman. Ia berharap industri farmasi dalam negeri ke depan bisa jadi tuan rumah di Tanah Air. Dengan harapan itu agar industri farmasi di dalam negeri tak mengandalkan produk obat impor.
"Industri obat dalam negeri harus kita dorong kuat sehingga kita tidak selalu bergantung pada obat-obatan impor. Ini tentu membantu kita dalam kemandirian di sektor kesehatan terutama di sektor farmasi," ujar Melki.
Terkait itu, dalam pengobatan pasien COVID-19, beberapa obat saat ini sudah digunakan seperti Ivermectin, Favipiravir, hingga Remdesivir. Meski sudah digunakan untuk mengobati COVID-19, beberapa obat itu diketahui juga memiliki efek samping. Berikut ini efek samping dari masing-masing obat yang dirangkum dari berbagai sumber:
1. Ivermectin
Obat ini pertama kali ditemukan akhir 1970, turunan dihidro dari Avermectin. Berasal hanya dari satu mikroorganisme yang diisolasi di Kitasato Institute, Tokyo, Jepang.
Dalam perkembangannya obat ini juga telah digunakan dan berhasil mengatasi beberapa penyakit. Andi Crump dan Satoshi Mura mengulas makalah berjudul ‘Ivermectin, Obat Ajaib dari Jepang dengan Perspektif Penggunaan pada Manusia’.
Cara kerja obat ini pada pemberian secara oral, Ivermectin dapat mencapai konsentrasi plasma proporsional terhadap dosis. Konsentrasi puncak Ivermectin adalah sebesar 30 - 46 ng/ml dan tercapai 4 jam setelah pemberian, kemudian menurun secara perlahan setelahnya.
2. Favipiravir
Favipirafir merupakan obat antivirus yang dikembangkan Toyama Chemical. Favipiravir per-oral diabsorpsi melalui mukosa usus dan mencapai konsentrasi puncak di plasma dalam waktu 2 jam, kadarnya menurun secara cepat dengan paruh waktu 2-5,5 jam.
Favipiravir dimetabolisme di hati dengan bantuan enzim aldehid dan diekskresikan di ginjal. Efek samping Favipirafir antara lain peningkatan nilai SGPT, SGOT, kadar asam urat meningkat, gangguan saluran cerna, hingga penurunan produksi sel darah 1 persen.