ICW: Juliari Batubara Pantasnya Dipenjara Seumur Hidup

Mensos Juliari P Batubara
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut, putusan 12 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta terhadap mantan Menteri Sosial Juliari Batubara, tidak masuk akal.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengungkapkan, vonis itu bahkan semakin melukai hati masyarakat selaku korban korupsi bantuan sosial penanganan COVID-19. ICW menilai, Juliari pantasnya dihukum penjara seumur hidup.

"Betapa tidak, melihat dampak korupsi yang dilakukan oleh Juliari, ia sangat pantas dan tepat untuk mendekam seumur hidup di dalam penjara," kata Kurnia kepada awak media, Selasa, 24 Agustus 2021. Kurnia lebih jauh menuturkan, sedikitnya ada empat alasan yang dapat mendukung penilaian hukuman tersebut.

Pertama, kata Kurnia, Juliari melakukan kejahatan saat menduduki posisi sebagai pejabat publik. Sehingga menurut dia, berdasarkan hukuman Juliari harus diperberat berdasarkan Pasal 52 KUHP.

Kedua, praktik suap bansos dilakukan di tengah kondisi pandemi COVID-19. Hal ini menunjukan betapa korupsi yang dilakukan Juliari sangat berdampak, baik dari segi ekonomi maupun kesehatan, terhadap masyarakat.

Ketiga, hingga pembacaan nota pembelaan atau pledoi, Juliari tak juga mengakui perbuatannya. Padahal, dua orang yang berasal dari pihak swasta, Ardian dan Harry, telah terbukti secara sah dan meyakinkan menyuap Juliari.

Keempat, menurut ICW, hukuman berat yang dijatuhkan terdahap Juliari bisa memberikan pesan kuat bagi pejabat publik lain agar tidak melakukan praktik korupsi di tengah situasi pandemi COVID-19.

"Berangkat dari hal ini, maka semakin lengkap kebobrokan penegak hukum, baik KPK maupun pengadilan, dalam menangani perkara korupsi bansos," kata Kurnia.

Bahkan, ICW menganggap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku aparat penegak hukum sejak awal enggan mengembangkan penyidikannya untuk menjerat pihak-pihak lain yang diduga terlibat dalam perkara tersebut.

Indikasi itu, ungkap Kurnia, sudah terlihat sejak proses penyidikan. Misalnya, keterlambatan melakukan penggeledahan dan keengganan memanggil sejumlah politisi sebagai saksi.

Tidak hanya itu, saat penuntutan pun tidak jauh berbeda. Mulai dari menghilangkan nama sejumlah pihak dalam surat dakwaan, ketidakmampuan jaksa untuk memanggil pihak yang diduga menguasai paket pengadaan bansos, dan rendahnya tuntutan terhadap Juliari.

Di luar proses hukum, sambung Kurnia, KPK juga diketahui memberhentikan Kasatgas Penyidikan dan Penyidik perkara bansos melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) serta membangun dalih seolah-olah ingin menyelidiki dugaan kerugian negara.

"Padahal diduga kuat tindakan itu untuk memperlambat dan melokalisir perkara ini agar berhenti hanya terhadap Juliari," kata Kurnia.

Begitu pula, majelis hakim yang menyidangkan perkara ini. Menurut Kurnia, tak hanya putusan yang sangat ringan, tapi isu lain seperti gugatan korban bansos juga ditolak dengan argumentasi yang janggal.