Pakar Hukum Curigai Pernyataan Ketua MPR soal Amandeman UUD 1945

Ilustrasi Sidang MPR
Sumber :
  • VIVAnews/ Lilis Khalisotussurur.

VIVA – Pakar hukum tata negara pada Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan, mengkritik pernyataan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo mengenai amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dalam acara peringatan Hari Konstitusi dan Ulang Tahun MPR.

Asep Warlan menilai, amandeman belum diperlukan karena tiga alasan. Pertama, tidak ada urgensi atau kondisi darurat yang mengharuskan UUD 1945 diamandemen. Bahkan, katanya, tak ada alasan mendesak untuk mengamandemen UUD 1945.

“[berdasarkan alasan] mendesak pun memang dipertanyakan. Itu juga dipertanyakan orang: apa sih urgensinya kita harus mengubah Undang-Undang Dasar,” ujar Asep, Sabtu, 21 Agustus 2021.

Menurutnya, masalah penting yang yang mendesak diselesaikan sekarang adalah mengatasi kondisi ekonomi dan kesehatan yang tengah terpuruk akibat pandemi COVID-19. Upaya untuk keluar dari krisis akibat pandemi, katanya, memerlukan kerja sama semua lembaga negara.

Alasan kedua, kata Asep, pembahasan amandemen UUD 1945 bisa menjadi pintu masuk wacana tentang penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode 

“Jangan-jangan ini pintu masuk mereka untuk nanti melebar juga ke sana. Tidak ada jaminan kita ‘makan bersama hari ini, besok jadi lawan dalam politik’. Jadi, hari ini mengatakan bahwa ini yang diubah itu TAP MPR, besok lusa di MPR berubah: sekalian saja dengan masa jabatan presiden jadi tiga periode,” katanya.

Ketiga, upaya amandemen bisa melemahkan sistem presidensial. Wacana pembahasan amandemen UUD 1945 untuk memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dinilai melemahkan posisi presiden karena adanya haluan negara yang ditetapkan di pundak presiden tapi dikontrol ketat oleh Parlemen. 

“Kalau seandainya dia masih tidak berubah strukturnya, bisa menjadi melemahkan presidensial. Hal ini bisa melemahkan sisi presidensial, atau paling tidak akan mengubah kriteria karateristik presidensial yang kita anut dalam Undang-Undang Dasar,” katanya. 

Mengenai pembahasan PPHN, Asep menyarankan apabila Ketua MPR bersikeras ingin memasukan haluan negara, sebaiknya tetap menggunakan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Menurutnya, jika UU itu masih memiliki kekurangan, sebaiknya dikoreksi dan disempurnakan.

Dahulu, ketika masih ada GBHN dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kata Asep, presiden merupakan mandataris MPR, dan karena itu, MPR menjadi lembaga tertinggi. Sedangkan dalam gagasan PPHN, MPR dan Pemerintah dirancang sederajat, meski sebenarnya multifungsi.

“Tapi orang lihat kan akan dipersoalkan rujukan hukumnya ketika dia membuat PPHN itu yang dilaksanakan oleh Presiden. Apa bedanya dengan undang-undang kalau begitu," ujarnya.

Dia menyarankan, MPR cukup menyiapkan dahulu konsep amandemen, namun waktunya disesuaikan kalau situasi sudah memungkinkan, terutama setelah pandemi COVID-19 mereda. “Misalnya, pada saat pemilu berikutnya diserahkan kepada MPR yang akan datang, mudah-mudahan suasananya lebih tenang, lebih kondusif. Jangan sekarang,” ujarnya.

Bambang Soesatyo sebelumnya menyatakan bahwa UUD 1945 bukan kitab suci. "Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 memang bukanlah kitab suci, karenanya tak boleh dianggap tabu jika ada kehendak melakukan penyempurnaan," katanya.

Bamsoet mengatakan konstitusi secara alamiah akan terus berkembang sesuai dinamika masyarakat. Pada masa sebelum Reformasi, kata dia, UUD 1945 sangat dimuliakan secara berlebihan, sebagaimana terlihat dari tekad MPR untuk melaksanakannya secara murni dan konsekuen dan tak berkehendak membuat perubahan.

Jika ada keinginan untuk mengubah konstitusi, katanya, hal itu harus dilakukan melalui referendum, sebagaimana ditegaskan dalam Ketetapan MPR Nomor 4 Tahun 1983 tentang Referendum.