Hamdan Zoelva Kritik Rencana Amandemen UUD 1945
- VIVAnews/ Syaefullah
VIVA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva mengkritik wacana amandemen UUD 1945 yang disuarakan MPR. Terlebih, hampir dua tahun belakangan, negara tengah dilanda pandemi COVID-19.
“Masalah besar paling nyata adalah pandemi, kemudian akibat pandemi terjadi masalah ekonomi, masalah akan bertambahnya penduduk yang miskin dan masalaah sosial lainnya. Pertanyaannya apakah masalah itu karena persoalan UUD? Apakah karena tidak adanya GBHN atau PPHN?” kata Hamdan dalam sebuah pernyataan di Youtube, dikutip pada Jumat, 20 Agustus 2021.
Hamdan memahami maksud dan tujuan MPR yang mau menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau yang kini disebut Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Tapi, dia mengingatkan GBHN sudah tidak relevan diterapkan dalam sistem ketatanegaraan saat ini karena UUD 1945 sudah berubah.
Lagi pula, menurutnya, persoalan bukan pada pembangunan yang tidak konstan akibat belum memiliki PPHN.
“Mungkin boleh kita tanya, gara-gara konstitusi atau gara-gara politisi yang berubah-ubah? Saya sih berkesimpulan politisinya yang memandang persoalan dari sisi lima tahunan," kata dia.
Baca juga: PD: Mengubah UUD Saat Pandemi Sungguh Tidak Bijaksana
Hamdan mengatakan konstitusi dibuat untuk jangka panjang. Tapi jika difungsikan untuk 5 tahunan, pasti akan berubah-ubah.
"Tidak mungkin konstan seterusnya,” kata Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Syarikat Islam (SI) tersebut.
Hamdan melanjutkan dalam kontens pembangunan jangka panjang, persoalan yang terjadi juga bukan karena konstitusi. Tapi konsistensi para politisi.
Sebab, soal pembangunan, Indonesia sudah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang disusun untuk 25 tahun.
“Ini tidak pernah dilihat, tidak konsisten, lalu pertanyaannya, tidak konsistennya apa, apa sumbernya konstitusi atau tidak? Dari hasil riset kita, tidak konsisten pengambilan kebijakan politik, bukan bersumber dari konstitusi,” kata Hamdan.
GBHN Era Dahulu
Lebih lanjut, Hamdan menyingung GBHN era Soekarno dan Soeharto. Menurut dia, pada tahun 1960 sampai 1967, GBHN disusun berdasarkan pidato Soekarno yang ditetapkan dalam TAP MPR.
Kemudian era Soeharto, GBHN dibuat melalui Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) yang ditetapkan oleh MPR menjadi GBHN. Seluruh perencanaan pembangunan dibuat oleh eksekutif dalam hal ini presiden.
“Sekarang GBHN siapa yang buat? Kalau dilihat Ketetapan MPR, (berarti) MPR yang buat. Kalau MPR yang buat apa melibatkan presiden? Ini jadi soal. Jadi MPR nyusun sendiri, presiden punya sendiri, kan jadi soal dalam implementasi,” katanya.
Hamdan menuturkan dulu MPR lembaga tertinggi negara yang membuat GBHN. Presiden merupakan mandataris dari MPR. Sehingga, apabila presiden tak bisa menjalankan mandat, DPR bisa mengundang MPR. Sidang istimewa digelar.
“Kalau dianggap tidak mampu maka presiden bisa diberhentikan oleh MPR,” kata Hamdan.
Hamdan mencontohkan, soal pemberhentian presiden, harus mengubah pasal 7 UUD karena bisa dilakukan jika presiden melanggar hukum. Kemudian pasal 24c juga harus diubah, karena saat ini pemberhentian presiden harus melalui pendapat MK.
Ia pun kembali mempertanyakan, apabila PPHN dalam implementasinya tak bisa memberhentikan presiden, kemudian apa gunanya. Sebab dahulu, GBHN merupakan alat untuk mengontrol kinerja presiden.
“Sekarang siapa tanggung jawab? Dulu presiden, dan MPR meminta pertanggungjawaban. Ini dua hal, pertama dari aspek urgensi, kemudian kedua dari aspek substansi. Keduanya tidak masuk,” katanya.
Hamdan melihat situasi tersebut agak aneh. Oleh karena itu, dia meminta jangan mengubah konstitusi secara parsial, atau tidak melihat sebagai satu sistem yang utuh.
"Rusak negara ini jadinya,” tutur Hamdan.