BMKG: Pantai Selatan Jawa Timur Pernah Gempa dan Tsunami 6 Kali

Ilustrasi - Seismograf, alat pencatat getaran gempa.
Sumber :
  • ANTARA

VIVA – Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono  mengatakan, wilayah Pacitan merupakan salah satu kawasan rawan gempa dan tsunami di selatan Pulau Jawa. Sebab, lokasinya yang berdekatan dengan sumber gempa subduksi lempeng (zona megathrust). 

"Catatan sejarah gempa menunjukkan bahwa di zona megathrust selatan Jawa sudah pernah terjadi gempa besar lebih dari 15 kali," kata Daryono kepada VIVA di Jakarta, Kamis, 29 Juli 2021. 

Sementara dalam konsep ilmu seismologi disebutkan bahwa setiap gempa besar pada masa lalu kejadiannya akan selalu berulang (recurrent period), sehingga setiap gempa besar yang pernah terjadi pada masa lalu akan terjadi lagi di masa yang akan datang, termasuk yang berpotensi tsunami.

Berdasarkan data Katalog Tsunami BMKG, sejak tahun 1818 hingga tahun 1994 wilayah pantai selatan Jawa Timur telah terjadi gempa yang memicu tsunami sebanyak 6 kali. 

"Tsunami terakhir terjadi pada tahun 3 Juni 1994 di pesisir selatan Banyuwangi, menelan korban jiwa lebih dari 215 orang meninggal," katanya. 

Khusus untuk Pacitan, tercatat dalam katalog sejarah gempa Jawa, pada 27 September 1937 terjadi gempa besar dengan dampak kerusakan mencapai skala intensitas VII-IX di Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah hingga menyebabkan 2.200 rumah roboh dan beberapa orang meninggal. Episenter gempa ini terletak di laut pada jarak sekitar 113 km arah Barat Daya Kota Pacitan

Selain sejarah gempa, lanjut dia, sejarah mencatat bahwa tsunami pernah 2 kali melanda pantai Pacitan pada 4 Januari 1840 dan 20 Oktober 1859. Tidak ada laporan pasti terkait ketinggian tsunami yang terjadi pada saat itu, tetapi tsunami ini menyebabkan beberapa orang meninggal. 

Kedua tsunami ini dipicu gempa yang bersumber di zona megathrust yang merupakan bidang kontak antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia, di selatan Pulau Jawa. Berdasarkan hasil kajian pemodelan, pantai selatan Jawa Timur berpotensi terjadi tsunami dengan status “awas” dengan ketinggian di atas 3 meter.

Menurutnya, Jawa Timur sebagai daerah rawan gempa perlu melakukan upaya mitigasi struktural maupun kultural untuk memperkecil risiko gempa dan tsunami. 

"Penerapan building code yang ketat dalam membangun struktur bangunan perlu diimplementasikan guna meminimalisir korban jiwa akibat gempa. Kajian mikrozonasi untuk acuan dan rencana pemanfaatan ruang perlu dilakukan untuk mendukung pembangunan infrastruktur," ujarnya. 

Dia mengemukakan, perlu ada upaya nyata dalam membangun tempat evakuasi tsunami di kawasan pantai wisata yang padat penduduk, dengan struktur bangunan tahan gempa dan tsunami. Selain itu, perlu secepatnya dilakukan perbaikan jalur evakuasi di sepanjang pantai.

Seluruh pantai rawan tsunami mendesak untuk segera dilengkapi rencana dan fasilitas evakuasi, sehingga penting untuk membuat atau merevitalisasi jalur evakuasi bagi masyarakat menuju tempat evakuasi. Selanjutnya ada upaya menambah rambu evakuasi dan penggantian pada rambu yang hilang, rusak, dan salah penempatan menuju tempat evakuasi. 

Kawasan pantai yang memiliki hutan mangrove perlu dilestarikan karena hutan mangrove dapat menjadi peredam tsunami alami, sekaligus sebagai upaya adaptasi perubahan iklim. Selain hutan mangrove, perlu ada gerakan menanam pohon untuk menciptakan hutan pantai di kawasan pantai rawan tsunami.

"Perlu ada upaya nyata dalam melakukan edukasi dan pelatihan bagi seluruh komponen baik pemerintah, masyarakat, dan sekolah guna membudayakan evakuasi mandiri saat terjadi gempa kuat agar terjamin aman tsunami, serta melengkapi rencana kedaruratan wilayah Jawa Timur," katanya.