Indonesia Bahas 5 Poin Krusial untuk Disepakati di COP26 Glasgow
- BNPB.
VIVA – UN Climate Change Conference of the Parties ke-26 (COP26) akan digelar pada 1-12 November 2021 di Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya. Konferensi tersebut merupakan perhelatan akbar yang menemukan berbagai pemangku kepentingan untuk menangani krisis lingkungan dan pemanasan global.
Indonesia diwakili Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya memberikan pandangan materi-materi krusial COP26 Glasgow pada pertemuan “The July Ministerial Meeting COP26 UNFCCC”, Minggu-Senin (25-26 Juli) 2020.
Pertemuan yang diselenggarakan secara hybrid oleh Pemerintah Inggris selaku Tuan Rumah COP26 UNFCCC ini, bertujuan memberikan kesempatan kepada para Menteri Lingkungan Hidup dari negara-negara pihak UNFCCC, untuk berkumpul dan membahas penyelesaian poin-poin krusial untuk disepakati dalam COP26 yang dijadwalkan digelar bulan November nanti di Glasgow.
Agenda pertemuan dibagi menjadi lima sesi, sesuai dengan topik-topik utama yang dibahas COP26 UNFCCC. Kelima topik tersebut meliputi: Scaling-up Adaption; Keeping 1.5° C alive; Loss and Damage; Finalising the Paris Rulebook – Article 6; dan Mobilising Finance.
Pada Sesi I dengan topik “Scaling – up Adaption”, Menteri Siti Nurbaya menyampaikan Indonesia menempatkan agenda adaptasi sama pentingnya dengan mitigasi dalam aksi-aksi pengendalian perubahan iklim.
Indonesia juga telah menetapkan Peta Jalan/Road Map Adaptasi Perubahan Iklim hingga Tahun 2030, yang dituangkan dalam Updated NDC (Nationally Determined Contribution), demikian keterangan tertulis dari Kementerian LHK.
“Dalam implementasinya, kami juga melibatkan peran aktif masyarakat diantaranya melalui Program Kampung Iklim (ProKlim), Ekoriparian, restorasi ekosistem mangrove dan agroforestry perhutanan sosial sebagai langkah kerja adaptasi iklim. Kami juga melibatkan dan mengintegrasikan program kerja kementerian/lembaga dan subjek sektoral ke dalam program ini, termasuk bekerja sama dengan pemerintah daerah, sektor swasta, tokoh lokal dan masyarakat di tingkat tapak,” kata Menteri Siti.
Indonesia mempunyai komitmen yang sangat tinggi terhadap adaptasi perubahan iklim. Beberapa hal terkait kebijakan, program, guidelines, tools dan aksi-aksi yang telah dilakukan dalam hal adaptasi perubahan iklim, disampaikan untuk menunjukkan bahwa Indonesia led by example.
Siti menjelaskan, Indonesia mengharapkan bahwa outcome COP26 adalah adanya kesepakatan negara-negara dalam hal tujuan dari Global Goal Adaptation (GGA). Dalam pertemuan ini, Indonesia menyampaikan harapannya terkait apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kuantitas, kualitas, dan prediktabilitas pendanaan untuk adaptasi.
Hal ini juga termasuk meningkatkan aksesibilitas pendanaan untuk aksi lokal. Sebagai negara berkembang yang besar, dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, tentunya Indonesia membutuhkan sumber daya yang besar.
“Saya ingin menggarisbawahi bahwa Climate Actions memerlukan kebijakan strategis dan kerjasama pembiayaan antar pemangku kepentingan di tingkat nasional dan global. Oleh karena itu, kami terus mendorong agar mendapat dukungan yang kondusif untuk meningkatkan pendanaan iklim, termasuk melalui Kebijakan Fiskal dan Meningkatkan Akses ke Keuangan Global,” tutur Menteri Siti.
Kenaikan suhu global
Lebih lanjut, Menteri Siti menyampaikan saat membahas topik yang kedua “Keeping 1.5° C”, bahwa salah satu tujuan Perjanjian Paris adalah membatasi kenaikan suhu global sampai 1.5 °C. Harapan terhadap Outcome COP26 serta identifikasi langkah diperlukan untuk mensukseskan COP26 dalam kaitannya dengan issue 1.5 °C.
Hal ini akan secara signifikan mengurangi risiko dan dampak perubahan iklim. Dalam aksi pengendalian perubahan iklim, Ia menyampaikan keseriusan Indonesia, antara lain melalui inisiatif "Indonesia FoLU Net-sink 2030". Target ambisius ini akan dilengkapi manual operasionalisasi, yang ditargetkan selesai akhir tahun 2021, dengan tujuan supervisi dan kontrol.
Aksi perubahan iklim pada sektor non-FOLU, khususnya sektor energi, dilakukan melalui penerapan EBT dengan kerjasama dunia usaha misalnya pengembangan green industrial park di Kalimantan Utara.
Sektor energi juga telah menargetkan phasing out coal power plants secara bertahap, penerapan waste to energy, pengembangan biomass energy, hydropower, floating and rooftop solar PV, geothermal energy, serta konversi pembangkit listrik diesel yang memerlukan biaya tinggi dengan gas dan EBT.
Berkaitan dengan target yang diharapkan dari COP26, Indonesia menyerukan kembali agar negara maju tetap mengambil peran untuk “take a lead”. Mengingat bahwa LTS, yang telah disampaikan Indonesia kepada UNFCCC bersamaan dengan Updated NDC pada Juli 2021, menyediakan guidance terhadap subsequent NDC, maka Indonesia memandang bahwa mandat baru tentang LTS tidak diperlukan untuk dijadikan salah satu outcome COP26.
Menteri Siti mengungkapkan, belajar dari status pengajuan NDC/Updated NDC dan Strategi Jangka Panjang hingga saat ini, dan dari pengalaman dalam mempersiapkan kedua dokumen tersebut, Indonesia berpandangan bahwa kepemimpinan Para Pihak negara maju adalah yang terpenting dalam pengajuan ini.
Begitu pula dalam menyediakan sarana implementasi bagi negara berkembang untuk persiapan dan implementasi NDC dan strategi jangka panjang.
“Langkah-langkah ini harus direfleksikan melalui hasil COP26, menguraikan tindak lanjut Synthesis Report NDC dengan analisis kebutuhan dukungan dan kesenjangan serta mengacu pada rekomendasinya,” tuturnya.
Intervensi Indonesia
Wakil Menteri LHK Alue Dohong pada sesi ketiga "Loss and Damage", menyampaikan pandangan Indonesia terhadap pembentukan the Santiago Network for Loss and Damage (SNLD). Wamen Alue menekankan tiga elemen penting yaitu tujuan, operasionalisasi dan fungsi SNLD khususnya bagi negara berkembang.
"Peran SNLD diharapkan mampu menjadi katalisator dalam memberikan bantuan teknis kepada negara berkembang dalam upaya mencegah, meminimalkan, dan mengatasi kerugian dan kerusakan (loss and damage). Dalam operasionalnya berdasarkan prinsip country-driven dan fungsinya mencerminkan perspektif kebutuhan pemangku kepentingan, terutama negara berkembang," kata Alue.
Agar berjalan cepat dan efektif, operasionalisasi SNLD harus dilakukan melalui pengaturan kelembagaan yang tepat. Hal-hal teknis dan finansial juga harus dibahas secara menyeluruh untuk memastikan SNLD dioperasionalkan secara efektif.
Terkait dukungan baik dari dalam maupun luar UNFCCC terhadap SNLD ini, Indonesia menggarisbawahi empat hal. Pertama, SNLD harus terhubung dengan baik dan terintegrasi dalam pengaturan kelembagaan di bawah Konvensi dan Paris Agreement.
Kemudian, SNLD harus memiliki hubungan yang dinamis dan sinergi dengan para pakar, terutama dalam menentukan cara terbaik untuk memberikan bantuan teknis di lapangan.
"Kami juga mempertimbangkan peran penting Disaster and Risk Reduction dan komunitas kemanusiaan untuk mendukung fungsi SNLD, karena mereka telah membangun kapasitas yang kuat dalam memberikan bantuan teknis di lapangan. Dan terakhir, fungsi SNLD seharusnya tidak hanya menghubungkan aktor dan kebutuhan, tetapi juga koordinasi dan akses terhadap pendampingan dan sarana implementasinya," ujar Wamen Alue.
Sementara pada sesi keempat dengan topik "Finalising the Paris Rulebook - Article 6", Wamen Alue menyampaikan putusan di COP26 Glasgow terhadap pasal 6, harus memuat unsur-unsur yang diperlukan untuk segera mengoperasionalkannya tahun depan. Begitu juga dengan program kerja untuk masalah-masalah yang diperlukan untuk pelaksanaan sepenuhnya pasal ini.
Untuk itu, Indonesia menyampaikan usulan untuk mencari solusi bersama agar Pasal 6 dapat segera di operasionalkan, antara lain:
Pertama, meningkatkan ambisi dan implementasi capaian NDC melalui pendekatan kerja sama dan dukungan pendanaan antar Negara Anggota tersebut harus tetap memastikan tercapainya integritas lingkungan dari aksi mitigasi yang dilakukan, dan mengacu prinsip TACCC (transparan, akurat, lengkap, dapat diperbandingkan dan konsisten) dan sesuai dengan national circumtances (kondisi negara).
Kedua, dalam rangka mengindari double claiming dalam pengurangan emisi apabila kegiatan CDM transisi ke mekanisme Pasal 6.4, dilakukan melalui corresponding adjustment, penggunaan methodology terbaik dalam penyusunan baseline, transparan dalam pelaporan dan berdasarkan national circumtances.
Ketiga, transisi hasil CDM CER Unit yang dihasilkan sebelum 2020, Indonesia tidak setuju karena akan mengurangi ambisi dan investasi, namun demikian Indonesia setuju kegiatan CDM di transisikan ke mekanisme Pasal 6.4 selama memenuhi kriteria kelayakan mekanisme Pasal 6.4.
Keempat, dalam hal penyediaan dana untuk kegiatan adaptasi dapat dilakukan melalui SoP (Share of Proceed) dalam bentuk Adaptation Fund dalam mekanisme Pasal 6.4. Sedangkan Pasal 6.2 penyedian dana untuk kegiatan adaptasi dapat dilakukan sesuai kesepakatan Kedua belah pihak yang bekerja sama.
Kelima, selain mekanisme pasar dari Pasal 6.2 dan 6.4 dalam implementasi NDC, penting juga untuk mendorong melalui mekanisme non pasar dalam Pasal 6.8 PA. Hal penting adalah bagaimana finalisasi work program melalui kerja sama sukarela melalui Non Pasar untuk implementasi NDC dapat diselesaikan.
Keenam, Indonesia juga mendorong Pasal 6 Kesepakatan Paris dapat di adopsi di COP 26 Glasgow, mengingat peran Pasal 6 sangat penting dalam mendukung peningkatan ambisi dan implementasi NDC untuk mencapai tujuan jangka panjang suhu global dapat ditekan sampai 1.5°C.
"Mari kita bekerja sama dengan hasil yang bermanfaat, dan memberikan arahan politik yang jelas dan konstruktif kepada para negosiator. Dengan begitu, akan tercapai kesepakatan berlandaskan semangat keadilan dan kesetaraan, sehingga kita dapat mengadopsi keputusan yang telah lama tertunda pada Article 6 Paris Agreement," tutur Wamen Alue.
Indonesia desak negara maju
Pada bagian akhir Sesi kelima dengan topik “Mobilising Finance”, Siti Nurbaya menegaskan bahwa Indonesia mendesak negara maju memenuhi komitmen pendanaan untuk mendukung negara-negara berkembang dalam mengimplementasikan NDC.
Selain itu, negara maju juga diamanatkan menyediakan dukungan finansial, teknologi, dan peningkatan kapasitas bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan ambisinya. Terkait pendanaan ini, perlu ada catatan yang jelas, dan terpercaya, baik yang sudah terealisasi maupun jumlah yang tersisa.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Menteri Siti mengungkapkan beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu mempermudah akses terhadap pendanaan iklim bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan ambisi NDC, dan membangun Long Term Strategy mereka. Indonesia juga memiliki pandangan bahwa program kerja Long Term Climate Finance (LTF) harus berlanjut setelah Tahun 2020.
"Kami berharap COP26 dapat meningkatkan ambisi atau upaya dari negara-negara maju. Peningkatan ambisi ini dapat mencakup pemenuhan angka serta meningkatkan kejelasan/kepastian mobilisasi pendanaan iklim dari berbagai sumber, serta mencakup perimbangan pembiayaan antara mitigasi dan adaptasi," ujar Menteri Siti.
COP26 Glasgow juga menjadi awal pembahasan New Collective Quantified Goal (NCQG). Bagi Indonesia, NCQG harus mencerminkan kebutuhan aktual dan memastikan bahwa keuangan benar-benar mengalir ke negara-negara berkembang.
"Kami berharap pada COP26 dapat ditetapkan timeline, indikator, dan milestone yang lebih jelas, termasuk evaluasi pemenuhan NCQG ini. Indikator dan ketentuannya, harus jelas sehingga dapat dipahami oleh para pihak," tuturnya.
Proses pembahasan NCQG dapat dimulai dari perspektif politik dan teknis. Pertemuan multilateral atau bilateral formal dan informal dapat digunakan untuk mendapatkan masukan dan pandangan dari pihak, yang dapat menjadi bagian dari proses. Keseluruhan prosesnya harus berjalan inklusif dan transparan.
NCQG juga harus lebih ambisius, dapat disetujui dan dipahami baik oleh negara maju maupun berkembang, juga lebih seimbang dalam hal pemanfaatan pendanaan iklim untuk mitigasi dan adaptasi.
"Kami menantikan keterlibatan lebih lanjut dalam proses inklusif yang sepenuhnya didorong oleh para pihak, menuju COP26 yang akan datang di Glasgow, termasuk evaluasi pemenuhan NCQG ini. Indikator dan ketentuannya, harus jelas sehingga dapat dipahami oleh para pihak," tuturnya.
Proses pembahasan NCQG dapat dimulai dari perspektif politik dan teknis. Pertemuan multilateral atau bilateral formal dan informal dapat digunakan untuk mendapatkan masukan dan pandangan dari pihak, yang dapat menjadi bagian dari proses. Keseluruhan prosesnya harus berjalan inklusif dan transparan.
NCQG juga harus lebih ambisius, dapat disetujui dan dipahami baik oleh negara maju maupun berkembang, juga lebih seimbang dalam hal pemanfaatan pendanaan iklim untuk mitigasi dan adaptasi.