RUU KUHP: Memaksa Istri Berhubungan Badan, Suami Bisa Dibui 12 Tahun

Ilustrasi Pengadilan.
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVA – Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) memberikan perluasan definisi perkosaan, termasuk dalam hal perkosaan suami terhadap istrinya atau yang dikenal marital rape.

Sejatinya, ketentuan mengenai marital rape tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), walaupun memang tidak secara eksplisit menyebut siapa pelaku dan korbannya, karena Pasal 8 huruf a hanya menyebut dengan “Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga'”

Ketentuan soal kekerasan seksual ini kemudian diatur lagi dalam pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”. 

Kemudian di pasal 53
“Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan”

Namun dalam RUU KUHP pasal 479, tindak perkosaan suami kepada istri dipertegas kembali, bahkan secara konkret menjelaskan siapa pelaku dan korban tindak pidana perkosaan. 

(1) Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

(2) Termasuk Tindak Pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) meliputi perbuatan:
a. persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah;
b. persetubuhan dengan Anak; atau
c. persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya

Lebih jauh, dalam RUU KUHP pengertian perkosaan bahkan diperluas termasuk ayat (3) 'Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan perbuatan cabul berupa:
a. memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain; 
b. memasukkan alat kelamin orang lain ke dalam anus atau mulutnya sendiri; atau
c. memasukkan bagian tubuhnya yang bukan alat kelamin atau suatu benda ke dalam alat kelamin atau anus orang lain.

Komnas Perempuan menyebut ada 100 laporan kasus marital rape pada tahun 2020. Jumlahnya pelaporan kasus menurun dibanding data kasus tahun 2019 yang mencapai 192 kasus yang dilaporkan.

Perhatian dan keberanian melaporkan kasus perkosaan dalam perkawinan menunjukkan kesadaran korban bahwa pemaksaaan hubungan seksual dalam perkawinan adalah perkosaan yang bisa ditindaklanjuti ke proses hukum.

Meski demikian, banyaknya kasus marital rape yang terlapor belum dibarengi regulasi hukum yang memberikan pidana secara tepat kepada pelaku perkosaan dalam rumah tangga. Seperti pada UU PKDRT yang tidak dilengkapi dengan spesifikasi korban serta hukuman yang dijatuhkan.
 
Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan pemerintah masih menyosialisasikan RUU KUHP kepada masyarakat.

Yasonna mengklaim masyarakat memberikan respons positif walaupun ada pro dan kontra yang timbul di tengah masyarakat terkait draf RKUHP yang disosialisasikan oleh Pemerintah.

"Saat ini sudah diadakan roadshow ke beberapa daerah, 11 daerah, terakhir di Jakarta, tentang RUU KUH Pidana dan mendapat respons positif bagi masyarakat," kata Yasonna dalam rapat dengan Komisi III DPR di Jakarta, Rabu.