Isi Petisi Buruh untuk Jokowi, Minta Hapus UU Cipta Kerja

Aksi massa buruh di kawasan Patung Kuda.
Sumber :
  • VIVA/Willibrodus

VIVA – Serikat pekerja buruh Indonesia mengajukan petisi kepada Presiden Joko Widodo dalam memperingati Hari Buruh Dunia atau May Day pada Sabtu, 1 Mei 2021. Petisi tersebut mengenai desakan agar Presiden Jokowi menghapus semua pengaturan tentang ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law Nomor 11 Tahun 2021.

“Kami mengajukan petisi kepada Presiden RI untuk membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja atau sekurang-kurangnya menghapus semua pengaturan terkait ketenagakerjaan yang terdapat dalam UU Cipta Kerja dengan cara menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU),” kata Presiden Presiden KSPSI, Andi Gani Nena Wea melalui keterangannya pada Sabtu, 1 Mei 2021.

Setidaknya, ada beberapa poin yang menjadi sorotan serikat pekerja buruh dalam memperingati May Day hari ini. Di antaranya terkait pengaturan upah minimum. Dalam UU Cipta Kerja diatur UMK bersyarat; UMSK dihapus; dan dasar penetapan UMP dan UMK bersifat alternatif, yaitu inflasi atau pertumbuhan ekonomi.

“Pengaturan yang demikian menunjukkan tidak adanya perlindungan dari negara untuk mengupayakan kesejahteraan buruh,” ujarnya.

Untuk mencapai tujuan bernegara, kata dia, dalam pengaturan upah minimum seharusnya ditetapkan UMK tanpa syarat; UMSK tetap diberlakukan; dan dasar penetapan UMP dan UMK bersifat kumulatif.

“Yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dimana setiap 5 tahun sekali dilakukan peninjauan ulang terhadap KHL,” jelas dia.

Selanjutnya, kata Andi Gani, terkait pengaturan pesangon. Menurut dia, dalam UU Cipta Kerja diatur nilai UP, UPMK, dan UPH ditetapkan standarnya; dan nilai UPH 15 persen dihilangkan. Semestinya, untuk mencapai tujuan bernegara, perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh diwujudkan dengan membuat pengaturan.

“Nilai UP, UPMK, dan UPH tidak ditetapkan sesuai ketentuan (nilai standar), melainkan bersifat paling rendah (nilai minimum) agar terbuka peluang bagi perusahaan untuk memberikan nilai lebih kepada buruh; dan nilai UPH 15 persen tidak dihilangkan,” katanya.

Selain itu, Andi Gani mengatakan terkait pengaturan karyawan kontrak (PKWT) juga menjadi sorotan. Dalam UU Cipta Kerja diatur PKWT tidak dibatasi periode, dan batas waktu kontrak.

Aturan tersebut, kata dia, tidak sesuai tujuan bernegara karena dengan pengaturan itu buruh dapat dikontrak dalam jangka pendek, tanpa periode, dan terus menerus atau tanpa batas waktu, sehingga menyebabkan buruh kehilangan kesempatan menjadi karyawan tetap.

“Untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada buruh seharusnya diatur: dibuat pembatasan PKWT 3-7 periode kontrak dengan batas maksimal waktu kontrak 5-7 tahun yang diatur pada tingkat UU. Dengan begitu, buruh memiliki kepastian hukum dan berpeluang menjadi karyawan tetap,” katanya.