Sekjen PDIP: Jokowi Punya Kewenangan Penuh Reshuffle Pembantunya
- Istimewa
VIVA – Isu reshuffle kabinet di pemerintahan Presiden Joko Widodo, masih tetap menjadi perhatian. Apalagi setelah DPR menyetujui keinginan Presiden untuk menggabungkan Kemendikbud dan Kemenristek serta pembentukan Kementerian Investasi.
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto disela-sela acara Gowes Bareng PDIP kemarin, memastikan, bahwa reshuffle kabinet sepenuhnya adalah hak Presiden Jokowi. Walau partai tersebut adalah pendukung utama pemerintahan saat ini.
"PDI Perjuangan oleh Ibu Megawati itu diajarkan berpolitik dengan taat pada aturan main, tata pemerintahan yang baik. Terkait dengan reshuffle itu kan yang memiliki hak prerogatif adalah Presiden," ujar Hasto, Minggu 11 April 2021.
Baca juga: 3 Lapas Baru di Nusakambangan Bakal Dibangun untuk Napi Teroris
Bagaimana kinerja para menteri di Kabinet Indonesia Maju 2019-2024, menurutnya menjadi hak Presiden Jokowi untuk menilainya. Apakah kemudian ke depannya ada perombakan lagi atau tidak, Hasto mengatakan partainya patuh.
"Presiden punya kewenangan untuk melakukan evaluasi kinerja dari seluruh jajaran kabinetnya. Dan untuk itu, reshuffle hanya bisa dilakukan atas kehendak dari Presiden. Itu sikap dari partai," katanya.
Menyinggung pertemuan Presiden Jokowi dengan Ketum Megawati Soekarnoputri beberapa waktu lalu, Hasto mengatakan itu pertemuan rutin. Keduanya berdialog tentang bangsa dan negara dan berbagai persoalan-persoalan yang sifatnya fundamental dan strategis.
"Tetapi sekali lagi terkait dengan reshuffle itu sepenuhnya hak prerogatif dari presiden," tutur Hasto.
Lebih lanjut soal keberedaan badan otonom baru BRIN, dan peleburan Kemenristek ke Kemendibud, kata Hasto sejalan dengan apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa.
Fokus mengenai riset, ilmu pengetahuan, inovasi dan teknologi, lanjutnya, juga sering dibahas dan tercatat pada forum resmi partai seperti rakernas hingga kongres.
"Maka BRIN ini sangat penting di dalam membangun spirit kita. Melalui penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Tidak ada bangsa yang maju kalau kita belajar dari sejarah tanpa proses penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi," kata alumnus Universitas Gadjah Mada itu.