11 Siswa SMP di Bone Bolango Menikah akibat Kelamaan Tak Sekolah

Bupati Bone Bolango Hamim Pou.
Sumber :
  • ANTARA/Adiwinata Solihin

VIVA – Bupati Bone Bolango Provinsi Gorontalo Hamim Pou menyebutkan bahwa 11 pelajar sekolah menengah pertama (SMP) di daerah itu memutuskan menikah muda saat pandemi COVID-19 karena sudah terlalu lama tidak ada pembelajaran di sekolah.

"Kita menemukan di banyak tempat, karena terlalu lama tidak ada pembelajaran di sekolah membuat banyak kejadian yang memilukan," ujar Hamim Pou di Bone Bolango, Rabu, 7 April 2021.

Hamim Pou mengaku terkejut ada 11 siswa di wilayahnya yang nikah muda. "Mereka kawin muda, padahal tidak boleh itu. Ada 11 siswa SMP di Bone Bolango ini sudah kawin," katanya.

Padahal, katanya, menurut Undang-undang Perkawinan, usia pernikahan itu sudah diatur dan ditentukan batas minimal umur perempuan dan laki-laki berapa tahun. "Kalau menikah di usia atau umuran SMP, tentu ini melanggar UU Perkawinan tersebut.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan bahwa batas minimal usia untuk melakukan perkawinan bagi wanita dan pria ialah 19 tahun.

Turunkan kualitas SDM

Hamim pun merasa khawatir kalau pembelajaran secara tatap muka di sekolah tidak kunjung dibuka, maka akan banyak terjadi siswa-siswi yang kawin muda atau tidak kawin tapi ada perempuan-perempuan yang melahirkan dan tidak diketahui siapa ayahnya.

Ia menuturkan di dunia, khususnya di Asia, Indonesia salah satu negara yang hingga kini belum melakukan pembelajaran secara tatap muka.

Maka ia mendorong pembelajaran secara tatap muka ini cepat-cepat dilakukan, karena sudah terlalu lama dan dikhawatirkan makin menurunkan kualitas sumber daya manusia (SDM).

"Makanya saya ingin kita di sini bisa berembuk dan bagaimana sikap Pemda terkait rencana pembukaan pembelajaran tatap muka di tengah pandemi COVID-19 ini. Tentu yang utama adalah tetap mengedepankan dan memperhatikan protokol kesehatan," ujarnya.

Vaksinasi

Hamim menambahkan di tengah kondisi pandemi COVID-19 seperti itu, akan timbul pertanyaan besar: kalau pembelajaran secara tatap muka dibuka, bagaimana dengan ketersediaan vaksinnya; seberapa banyak vaksin untuk pendidik dan tenaga kependidikan.

"Jadi harus kita ketahui berapa banyak datanya, sudah berapa banyak yang divaksin. Ini yang harus kita ketahui, kemudian bagaimana pembelajaran di tengah pandemi ini, dan bagaimana kesiapan institusi pendidikan," kata Hamim. (ant)