UU Pemilu Tidak Masuk Prolegnas, PKS Ngotot Direvisi

Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Mardani Ali Sera
Sumber :
  • VIVA.co.id/Mardani Ali Sera

VIVA – Pilkada Serentak 2022-2023, kemungkinan besar tetap akan dilaksanakan pada 2024. Setelah DPR tidak memasukan revisi UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2021.

Maka dengan demikian, beberapa daerah yang menggelar Pilkada Serentak 2022 seperti DKI Jakarta, baru berlangsung pada 2024 atau bersamaan dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera, merespon mengenai penarikan UU Pemilu dari prolegnas tersebut. Ia mengatakan, revisi UU Pemilu punya peran besar terhadap perkembangan demokrasi Indonesia.

Baca juga: Di UNS Jokowi Bicara soal Perubahan Kurikulum dan Karakter Dosen 

"Insya Allah PKS akan tetap istiqomah. Karena itu secara sederhana, Fraksi PKS DPR RI masih ingin pembahasan ini dilanjutkan," kata Mardani, yang dikutip Jumat 12 Maret 2021.

Mardani mengatakan, jika tidak ada revisi UU Pemilu, kemudian proses pilkada serentak tetap dilakukan 2024, maka dinilai akan merampas hak rakyat. Sebab kepala daerah yang masa jabatannya habis di tahun 2022 dan 2023 akan ditunjuk secara langsung oleh pemerintah.

Menurut dia, penunjukan langsung oleh pemerintah tersebut sama saja rakyat kehilangan hak menentukan pemimpinnya sampai pelaksanaan di 2024.

"Dari sisi penyelenggaraan, berpotensi tidak demokratis karena adanya 272 pejabat (PJ) kepala daerah akibat tidak ada pilkada tahun 2022 dan 2023. Hak rakyat untuk menentukan kepala daerahnya pun terampas," katanya.

Dengan dipilihnya pejabat kepala daerah sementara oleh pemerintah sampai dengan Pemilu Serentak 2024, maka independensinya dalam menjaga pemilu dan Pilkada Serentak 2024 menjadi diragukan. 

Mardani juga menekankan pentingnya mendengarkan masukan KPU dan Bawaslu yang menilai apabila pemilu dan pilkada dilakukan serentak di 2024, maka akan sangat berat.

"Tidak bisa meninggalkan begitu saja pembahasan RUU Pemilu. Begitu banyak yang mesti ditindak lanjuti seperti 6 opsi keserentakan dari MK termasuk payung bagi implementasi IT dalam pemilu kita," ujarnya

Untuk itu menurutnya, revisi UU Pemilu harusnya menjadi program yang mendesak untuk dilakukan. Sebab akan ada perbaikan demokrasi.

"Revisi UU Pemilu mendesak karena sebagai pintu masuk untuk memulai perbaikan sistem politik dan demokrasi di negeri ini. Revisi perlu didasarkan pada kepentingan publik jangka panjang," ujarnya.