Makassar New Port Sengsarakan Nelayan, Walhi Beberkan Buktinya
- VIVA/Irfan
VIVA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan (Sulsel) menyatakan bahwa proyek reklamasi pelabuhan Makassar New Port (MNP) telah menyengsarakan nelayan. Proyek itu sekaligus merusak ekosistem laut di perairan Makassar khususnya di perairan Spermonde yang menjadi wilayah tangkap nelayan pulau Kodingareng.
Menurut Direktur Walhi Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amin, sejak Kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis menambang pasir di kepulauan Spermonde pada Februari-Agustus 2020, dampak perekonomian masyarakat nelayan di pulau Kodingareng bak lumpuh.
“Hasil penelusuran Koalisi Save Spermonde mengidentifikasi kerusakan yang ditimbulkan oleh tambang pasir PT Boskalis yang berdampak langsung pada hasil tangkapan nelayan Kodingareng yang menurun drastis,” kata Amin dalam webinar yang berlangsung pada Selasa, 9 Maret 2021.
Dia menyebut, aktivitas penambangan menyebabkan keruhnya air laut akibat sebaran sedimen hasil kerukan pasir yang berdampak pada terumbu karang sebagai habitat berbagai organisme laut, rusaknya terumbu karang dapat melumpuhkan ekosistem perairan Spermonde.
“Sejak Agustus hingga Desember 2020, kami melakukan riset di pulau Kodingareng. Di mana hasilnya menunjukkan bahwa kegiatan penambangan pasir laut telah merusak ekosistem laut yang berakibat pada menurunnya hasil tangkapan nelayan. Bahkan hingga saat ini nelayan dan keluarganya mengalami krisis keuangan tidak mampu membeli kebutuhan pokok,” ujar Amin.
Dia menjelaskan, tambang pasir laut di perairan Spermonde juga telah menyebabkan perubahan yang signifikan di dasar laut, sehingga pola arus dan gelombang menjadi lebih besar. Kondisi itu mendorong terjadinya abrasi di daerah pantai nelayan, juga peningkatan sedimen tersuspensi telah merusak ekosistem terumbu karang sehingga menurunkan populasi ikan di sekitar perairan Spermonde.
“Saat penambangan beroperasi, bahkan hingga saat ini, populasi ikan di perairan Spermonde terutama di wilayah Copong telah menurun drastis. Padahal wilayah tersebut merupakan zona tangkap utama bagi ribuan nelayan, tidak hanya yang di pulau Kodingareng tapi juga nelayan di pulau-pulau kecil lainnya,” kata dia.
Kalangan nelayan di pulau Kodingareng mengamini fakta yang disampaikan Walhi Sulawesi Selatan.
Aswin, salah seorang nelayan, dalam pengakuannya di webinar yang dihadiri sejumlah kalangan aktivis media dan lingkungan itu mengatakan, sejak dilakukan aktivitas penambangan pasir laut, nelayan sangat kesulitan melaut. Hasil tangkapan para nelayan juga belum kembali normal seperti sebelum adanya penambangan.
“Sekarang ini kondisi di Copong itu telah berubah sejak kapal pengeruk pasir beroperasi di perairan Spermonde. Daerah tangkapan ikan sekitar Copong selalu keruh seperti air cucian beras. Para nelayan pun sangat sulit mendapatkan hasil tangkapan seperti dulu” ungkap Aswin.
Selama kurang lebih 257 hari sejak Kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis beraktivitas di perairan Spermonde dan melakukan penambangan pasir laut, Walhi Sulsel mencatat total kerugian nelayan pulau Kodingareng mencapai Rp80,4 miliar.
“Dari diskusi yang kami lakukan bersama dengan para nelayan di pulau Kodingareng, kami mencatat bahwa selama penambangan pasir laut beroperasi di wilayah tangkap nelayan di perairan Spermonde. Rata-rata kerugian nelayan pancing mencapai Rp200.000/hari, nelayan panah sebesar Rp350.000/hari, nelayan jaring Rp1.400.000/hari dan nelayan bagan sebesar Rp2.000.000/hari,” kata Amin lagi.