Kasus Dihentikan, Ini Pengakuan 4 Nakes yang Dituduh Menista Agama

Tenaga kesehatan menggunakan alat pelindung diri (APD) atau hazmat. (Foto ilustrasi)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

VIVA – Kuasa hukum empat petugas pemulasaran jenazah COVID-19 di-instalasi forensik RSUD Djasemen Saragih, Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara, menegaskan empat kliennya itu telah mematuhi standar operasi prosedur (SOP) rumah sakit dalam hal pemulasaran jenazah.

Keempat nakes itu juga, terang kuasa hukum, tidak memandikan jenazah wanita. 

"Mereka melakukan proses penyemprotan disinfektan sesuai dengan SOP yang ada disana. Jadi tidak dimandikan hanya dilakukan semprotan disinfektan," kata Kuasa hukum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Jasmean Nadeak di tvOne, Kamis, 24 Februari 2021.

Jasmean mengakui jika empat kliennya itu tidak mengetahui adanya fatwa MUI tentang ketentuan pemulasaran jenazah COVID-19 bagi yang beragama Islam. "Jadi waktu di-BAP mereka tidak tahu soal fatwa MUI, jadi mereka bekerja berdasarkan standar yang ada di rumah sakit selama ini," ujarnya.

Menurut para kliennya, jenazah ketika dibawa dari ruang isolasi sudah ditutup kain dan didisinfektan. Sesuai SOP, setibanya di instalasi forensik maka jenazah juga didisinfektan kembali sebelum dikafani dan dimasukkan ke dalam peti jenazah.

"Ketika waktu dibuka kain penutupnya, mohon maaf, masih terlihat jenazah menggunakan pampers. Ini yang kemudian oleh kawan-kawan dilakukan pembersihan, disemprot disinfektan, dikafani kemudian dimasukan peti jenazah yang juga dilakukan proses disinfektan," terang Jasmean.

Pihak kuasa hukum belum mengetahui detil apakah jenazah menggunakan pakaian lain selain selimut dan pampers yang dikenakan saat tiba di instalasi forensik. "Tapi sekilas dari kronologi yang mereka sampaikan posisinya masih memakai pampers dan dibungkus sprei dari ruang isolasi," ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholis Nafis mengatakan MUI telah mengeluarkan fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 tentang dengan pengurusan jenazah muslim yang terinfeksi COVID-19.

Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa dalam hal memandikan jenazah COVID-19 dimandikan tanpa harus dibuka pakaiannya, dan petugas wajib berjenis kelamin yang sama dengan jenazah yang dimandikan dan dikafani.

Adapun jika petugas yang memandikan tidak ada yang berjenis kelamin sama, maka setelah diupayakan boleh dilakukan oleh petugas yang ada, dengan syarat jenazah tetap memakai pakaian, petugas yang memandikan tidak melihat aurat dan jika tidak bisa dimandikan bisa ditayamumkan.

"Sebenarnya jenis kelamin berbeda dalam menyiapkan jenazah itu jangan sampai melihat auratnya. Jangan sampai melihat hal-hal yang tidak pantas dilihat, oleh karena itu bajunya tidak perlu dibuka asalkan kotorannya dibuang lebih dulu, najisnya dibersihkan dulu," ujar Cholil Nafis di tvOne.

Sementara itu, soal dalih para nakes yang tidak mengetahui soal fatwa MUI, Cholis berharap awalnya fatwa MUI soal pengurusan jenazah muslim yang terinfeksi COVID-19 ini bisa disosialisasikan kepada tenaga medis. 

Lebih jauh, seandainya para tenaga medis itu saking sibuknya dan tidak sempat membaca fatwa MUI, sebaiknya dijadikan SOP. "Jadi apapun yang dilakukan itu atas nama SOP yang sesuai dengan fatwa," ungkapnya.

"Umpamanya soal pampers itu dibersihkan dulu sebelum dimandikan. Jadi harus dicek dulu soal kebersihan, kesucian dari jenazah itu baru dimandikan. Bukan setelah dimandikan baru dibuka pampersnya," imbuh Cholil.

Cholil berharap agar kedepannya kasus ini tidak terulang, maka fatwa MUI bisa dimasukan ke dalam SOP para tenaga medis, sehingga mereka melakukan tugasnya atas nama SOP yang sesuai dengan fatwa MUI. 

"Sehingga sesuai ajaran Islam, sesuai dengan fatwa, sehingga keluarga yang sedih ditinggalkan orang yang dicintainya, dan merasa puas dengan pelayanan rumah sakit, puas mengikuti ajaran agama yang dipeluknya," katanya.

Sebelumnya, Kejaksaan Negeri (Kejari) Pematang Siantar menghentikan penuntutan terhadap empat petugas pria di RSUD Djasamen Saragih, Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara. 

Keempat tenaga kesehatan di Instalasi Forensi RSUD Pematang Siantar itu dijerat pasal penistaan agama gara-gara memandikan jenazah pasien wanita yang bukan mahram.

Menurut Kepala Kejari Pematang Siantar, Agustinus Wijono, penghentian penuntutan karena ada kekeliruan terhadap sangkaan penanganan kasus keempat petugas rumah sakit. Surat penetapan penghentian penuntutan perkara dikeluarkan pada Rabu 24 Februari 2021. 

Keempat petugas yang memandikan jenazah itu masing-masing sebelumnya dijerat Pasal 156 a KUHP tentang tindak pidana penistaan agama dan tidak memberikan pelayanan medis sesuai standar prosedur operasional dijelaskan dalam Pasal 79 Jo Pasal 51 Undang-Undang Nomor 79 tahun 2014 tentang Praktik Kedokteran.