Dukung Revisi UU ITE, Pasal Karet Ini yang Diusulkan Dihapus
- VIVA/Eduward Ambarita
VIVA – Keinginan Presiden Joko Widodo untuk melakukan revisi terhadap UU ITE yakni UU Nomor 19 tahun 2016, mendapat respon positif dari sejumlah anggota DPR.
Anggota komisi III (membidangi masalah hukum) Taufik Basari setuju agar UU itu direvisi. Menurutnya, penerapan UU ITE selama ini seringkali bermasalah sehingga banyak memakan korban. Beberapa pasal menurutnya terlalu multitafsir.
"Sejak dulu saya berharap ada revisi terhadap UU ITE ini. Karena hemat saya, dalam penerapannya cenderung multitafsir. Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE misalnya, pasal ini menjadi pasal yang bisa multitafsir. Siapa saja bisa dikriminalisasi, bisa saling lapor. Masyarakat biasa, tokoh hingga jurnalis juga ikut terjerat" kata Taufik kepada wartawan, Rabu 17 Februari 2021.
Taufik menilai, pendangan Presiden Jokowi untuk membuka peluang revisi UU ITE sudah didasarkan pada fakta di lapangan yang menjadi perhatian publik. Politikus Nasdem ini juga mengutip data yang dihimpun oleh ICJR.
Dimana sejak 2016 sampai dengan Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 744 perkara dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88 persen atau 676 perkara.
Dalam Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) lanjut Taufik, pada praktiknya juga dikhawatirkan bisa digunakan untuk membungkam suara-suara kritis.
Sebagaimana bunyi Pasal 27 ayat (3) menyebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Sementara pada pasal 28 ayat (2) berbunyi: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
"Muatan penghinaan, pencemaran nama baik termasuk kalimat menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan dalam Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 ini yang tafsirnya bisa luas. Kritikan bisa dianggap menghina, bahkan bisa dianggap menyebar informasi dengan tujuan menimbulkan rasa kebencian" jelas Taufik.
Pasal-pasal karet yang kerap dijadikan alat untuk melakukan kriminalisasi dan membungkam kebebasan berekspresi seperti dalam UU ITE, pada akhirnya bisa menciptakan ketakutan di masyarakat dalam menyampaikan kritik. Karena itu Taufik menyarankan, pasal karet yang ada dapat dihapus.
"Sebaiknya pasal yang potensial menjadi pasal karet dihapus atau dicabut saja. Selanjutnya perlu dipikirkan agar masyarakat diberi pengetahuan yang cukup tentang literasi digital khususnya dalam memproduksi konten digital," ujarnya
Dia menambahkan, "Masyarakat harus diedukasi seperti apa batasan-batasan dalam menggunakan teknologi informasi terutama di media sosial, sehingga penggunaan teknologi tetap berjalan sesuai dengan fungsi positifnya" katanya.