PKS Nilai SKB 3 Menteri soal Seragam Tak Sejalan dengan Ruh Konstitusi

Ilustrasi seragam sekolah.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto

VIVA – Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sekaligus Wakil Ketua DPRD Sumatra Barat Ustad Irsyad Safar menilai, jika ruh dari Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pemerintah daerah dan sekolah Negeri soal seragam beratribut agama yang dikeluarkan pasca kasus Jilbab non Muslim di SMK Negeri 2 Padang itu, tidak sejalan dengan ruhnya konstitusi dalam hal ini Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 3 dan 5. Apalagi jelas dalam SKB Tiga Menteri itu, ada sanksi diberikan kepada pihak yang melanggar.

Menurut Irsyad Safar, kalau kita mnerujuk kepada konstitusi, ruh nya konstitusi terutama pada pasal 31 ayat 3 dan 5 UUD 1945, pada ayat 3 itu jelas menyebutkan bahwa Negara berusaha, mengusahakan dan melaksanakan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia. Sementara di ayat 5 nya, dalam hal ini Negara menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Jadi, ruh nya, logikanya konstitusi ini adalah aspiratif dan proaktif terhadap nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan. Bukan sebaliknya netral.

“Jadi, tidak melarang dan mewajibkan, itu kesannhya tidak netral, itu yang keluar di SKB Tiga Menteri kan?. Dalam konstitusi itu kan jelas, tidak ada sikap netral. Pada ayat 3 jelas ada kata berusaha, mengusahakan dan melaksanakan. Jadi, saya menilai ruh nya konstitusi tidak ada dalam SKB Tiga Menteri itu. Jika dicermati, SKB Tiga Menteri itu, malah tidak netral. Justru yang meningkatkan keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia itu, akan kena punishment atau kena sanksi. Padahal dalam konstitusi jelas netral saja tidak boleh. Maka demikian, ruh nya konstitusi tidak ada pada SKB Tiga Menteri itu,”kata Irsyad Safar, Sabtu 13 Februari 2021.

Irsyad berpendapat jika keputusan Tiga Menteri yang mengeluarkan SKB itu, terlalu berlebihan. Bahkan terkesan kebablasan. Hal sesuatu yang seharusnya bisa diselesaikan di sekolah, kenapa kemudian harus Tiga Menteri yang turun tangan. Urusan pendidikan ini, adalah urusan konkuren. Untuk Perguruan Tinggi urusannya di pusat, SLTA di Provinsi dan SD serta SMP itu di tingkat Kabupaten dan Kota. Ada aturan-aturan di sekolah.

“Nah, menyimak perkembangan yang terjadi pasca kasus SMK Negeri 2 ini, ada kecemasan dan lahirlah SKB itu. Padahal dua tahun lalu, terjadi pelarangan Jilbab di Provinsi lain, tidak ada penyikapan. Sementara disini, ada jilbab non Muslim langsung ada penyikapan. Langsung turun Tiga Menteri, tentu suasana itu terasa ya. Di Sumbar, sudah 15 tahun tidak ada apa-apa. Tiba-tiba, tidak ada angin, tidak ada hujan, segitunya bukan?. Apakah ada disintegrasi di Sumbar ini sehingga harus Tiga Menteri yang turun. Urusan sekolah itu, harusnya diselesaikan dengan ruang kebijakan tadi (konkuren). Kita menangkap, ini sesuatu yang berlebihan,” ujar Irsyad.

Selain itu, Irsyad dengan tegas menolak jika kasus ini dikaitkan dengan istilah toleran atau intoleran. Kasus di SMK Negeri 2 Padang itu, tentu ada takarannya. Kalau sedikit-sedikit dijadikan intoleransi, maka sejatinya Bhineka Tunggal Ika ini tidak jalan. Keberagaman itu, tidak bisa kita tolak. Tetapi, bahwa kita saling memahami, itulah budaya hidup kita yang hidup berbangsa dan bernegara. Rakyat Indonesia ini, cukup toleran secara umum.

“Saya tidak setuju ya kita mengumbar istilah intoleransi ini. Saya kira rakyat Indonesia ini cukup toleran secara umum. Kasus di sekolah itu, ada takarannya. Tapi, sedikit-sedikit kasus seperti ini, begitu cepat kalimat intoleransi. Jadi saya tidak sepakat. Tapi tentu, terkesanlah seperti itu. Baru jaraknya beberapa hari, kasus SMK Negeri 2 Padang, responya sampai ke pusat. Ini berlebihan,” kata Irsyad Safar.

Baca juga: MUI Desak Pemerintah Revisi SKB 3 Menteri soal Seragam Sekolah