Menkumham Minta Pers Tak Boleh Kalah dan Mati Hadapi COVID-19

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly mengatakan disrupsi digital dan pandemi COVID-19 telah menekan industri media massa di dunia termasuk di Indonesia. Namun, Yasonna meminta agar dunia pers tidak kalah dan mati menghadapi kondisi yang tak menentu ini.

"Meski vaksin telah ditemukan belum ada tanda-tanda pandemi segera berakhir. Apakah kemudian kita pasrah menghadapinya? Jawabannya pasti tidak. Pers tidak boleh kalah, apalagi mati menghadapi keadaan ini," kata Yasonna saat menjadi pembicara kunci dalam Konvensi Nasional Media Massa'Pers Nasional Bangkit dari Krisis Pandemi COVID-19 dan Tekanan Disrupsi Digital' yang digelar Dewan Pers memperingati HPN 2021, Senin, 8 Februari 2021.

Yasonna menjelaskan, pers harus tetap hidup untuk menyuarakan kebenaran dan mengawal kebenaran, menggaungkan tuntutan masyarakat dari pelosok serta menyuarakan kritisisme secara bertanggung jawab. Yasonna menekankan, hal itu hanya bisa dilakukan oleh pers dan media massa, bukan media sosial.

"Pers adalah bagian esensi dunia demokrasi, bahkan menjadi pilar keempat selain trias politica. Pers harus tetap hidup sebagai jaminan hidupnya demokrasi yang sehat di Indonesia," ujarnya.

Yasonna mengatakan, pandemi COVID-19 tak hanya berdampak signifikan pada kesehatan masyarakat, tetapi juga berdampak pada kesejahteraan sosial dan ekonomi. 

Perusahaan media yang sebagian besar pemasukannya bersumber dari penerimaan iklan atau revenue harus menelan pil pahit lantaran perusahaan saat ini memilih untuk memangkas anggaran iklan atau promosinya untuk dapat bertahan. Tekanan dari dunia digital selama satu dekade terakhir dan tekanan akibat pandemi membuat banyak perusahaan media gulung tikar.

Menghadapi ketatnya persaingan usaha dunia digital dan tekanan akibat pandemi, Yasonna menyatakan pers dan media massa sudah sepatutnya menerapkan integrasi media melalui sebuah platform baru yang disebut konvergensi media. 

Yasonna memastikan, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mendukung konvergensi media. Kemenkumham menyambut baik setiap masukan dari insan pers dan perusahaan media dalam menyusun rancangan regulasi mengenai konvergensi media yang saat ini belum diatur.

"Terkait konvergensi ini, Kamis kemarin, Kementerian Hukum dan HAM telah menyelenggarakan seminar nasional. Konvergensi ini belum ada regulasinya sehingga membuat pers dan perusahaan menjadi gamang. Kemkumham sangat terbuka lebar bagi seluruh stakeholder untuk berdiskusi terkait hal ini agar produk regulasi menguntungkan seluruh pihak, baik pemerintah, insan pers dan perusahaan media demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang cerdas, kritis sejahtera dan berkeadilan," ujarnya.

Di sisi lain, Yasonna meminta media untuk melakukan terobosan inovatif agar media massa dan pers tetap eksis di era disrupsi digital. Menurut Yasonna, masyarakat memilih mencari media alternatif, seperti media sosial, yang tidak memiliki kode etik dan tanggung jawab pemberitaan yang baik dan benar lantaran mulai mengalami kejenuhan dengan media konvensional.

Untuk itu, Yasonna meminta media konvensional mengkreasi program yang inovatif dan menarik serta mengeksplorasi pendekatan baru dalam jurnalisme.

"Intinya adalah media jangan kehilangan nalar kreatif dan produktif saat hidup berdampingan dengan pandemi agar media tetap eksis sebagai corong kebenaran di Tanah Air dan menjadi rujukan kredibel untuk informasi publik," jelasnya.

Bagaimana nalar kreatif dan produktif itu, saudara-saudara yang harus menggalinya sendiri. Ini medan dan domain saudara. Saudaralah yang lebih menguasai. Saya berpesan dalam pencarian strategi dan pendekatan baru, paradigma yang harus dikedepankan adalah paradigma yang diatur dalam kode etik jurnalistik. 

"Pers harus bersikap profesional, menjunjung tinggi kebenaran dan independensi, kritis dengan tetap mengedepankan moral, kepribadian jati diri dan karakter bangsa," ujarnya.